ADA pepatah lama mengatakan, “Harimau meninggalkan belang, gajah meninggalkan gading, manusia meninggalkan nama” dan itu nampaknya akan terus berlaku. Yang masih hidup, apalagi yang sudah meninggal, biasanya dikenal dengan sebutan dan julukan yang melekat.
Amat sering, julukan itu hanya sesaat, dan tentu saja tidak mewakili seluruh kepribadian orang itu. Namanya saja julukan spontan. Untuk banyak orang, kalau mendengar nama Jakob Oetama, langsung menyebut sebagai “orang Kompas”.
Begitu dengar nama Gus Dur, yang diingat banyak orang adalah jargon orang besar ini: “Gitu aja kok repot”. Begitu dengar nama Romo Mangun, teman-teman apalagi masyarakat kecil sekitar Kali Code, segera menyebut sebagai “Bapak Warga Code”.
Untuk teman-teman misdinar zaman dulu yang sering dimarahi sebelum Misa Penguatan, kalau mengingat nama Mgr. Leo Soekoto, yang akan langsung diingat adalah: “Uskup galak”.
Uskup Semarang, Mgr.Rubiyatmoko sekarang lebih terkenal sebagai “Uskup Kumis”, karena kumisnya memang lebih terkenal ketimbang julukan Gembala Agung.
Adik kandung saya, Romo C. Kuntoro Adi SJ, yang mengajar di Universitas Sanata Dharma dan baru saja selesai bertugas di KWI sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Pendidikan KWI, oleh teman-teman Jesuit dan para mahasiswanya, lebih dikenal sebagai Pastor Kopi.
Maklumlah, ia senang bikin ramuan kopi dan memang sekarang ini sudah boleh dibilang level profesional.
Banyak julukan
Romo Lodewijk Bambang Santoso Wiryowardoyo P yang baru saja dipanggil Tuhan oleh umat akan dikenal dengan banyak julukan. Kalau mereka mengingat Romo Bambang atau Romo Wiryo yang amat mereka cintai ini, mungkin banyak orang akan menyebut Romo Bambang sebagai “Romo Akik, Romo Gaul, Romo Srimulat, Romo yang kotbahnya galak, tapi mengena, Romo yang cewawakan, Romo sahabat umat, dan banyak julukan lain.
Di WA Grup Praja Jakarta, semalam ini ada begitu banyak kenangan adik-adik kelas Romo Wiryo yang baik, yang lucu-lucu, yang kadang konyol, dan tentu saja yang mengesankan. Untuk saya sendiri, yang kebetulan pernah mengenal beliau sejak tahun 1976, Romo LBS Wiryowardoyo atau Romo “Mas Bambang” adalah Ikon Praja Jakarta. Mengapa ?
Di WA Grup Praja Jakarta, semalam ini ada begitu banyak kenangan adik-adik kelas Romo Wiryo yang baik, yang lucu-lucu, yang kadang konyol, dan tentu saja yang mengesankan.
Untuk saya sendiri, yang kebetulan pernah mengenal beliau sejak tahun 1976, Romo LBS Wiryowardoyo atau Romo “Mas Bambang” adalah Ikon Praja Jakarta. Mengapa ?
Perjuangan sebagai kader pertama Praja Jakarta
Dengan berpulangnya Romo Bambang, pergi pula salah satu tokoh dan ikon imam Praja pertama KAJ yang dikader oleh Mgr. Leo Soekoto. Pergi pula salah satu tokoh imam praja yang menjadi saksi gaya penggembalaan Uskup yang menahbiskannya.
Ketika Romo Bambang dan Romo Wiyanto ditahbiskan menjadi imam pada Pesta Pertobatan Santo Paulus 25 Januari 1978, KAJ hanya memiliki dua imam praja sebelumnya, yaitu Romo Sutapanitro dan Romo Witdarmono. Dan hanya Romo Bambang dan Romo Wiyanto yang sesudah tahbisan langsung ditugaskan di paroki.
In Memoriam Romo Wiryowardoyo Pr – Pijar Vatikan II: Ikon Praja Jakarta Telah Berpulang (30 A)
Tahun 1980, ketika Romo Bambang baru saja dipindah tugas dari Paroki Slipi ke Katedral, dan sahabatnya Romo Wiyanto dipindah dari Paroki Grogol ke Paroki baru Pulomas, ada pengalaman yang tidak akan saya lupakan.
Tahun 1980 itu, saya menjalani Tahun Orientasi Pastoral sebagai frater di bawah bimbingan Romo Wiyanto. Kami ditugaskan di Paroki Bonaventura Pulomas. Pagi-pagi ketika sarapan, saya ditelpon Mgr. Leo Soekoto.
Bapak Uskup bilang, “Kun, besok Minggu depan sekitar jam 11 saya akan datang ke Kampung Ambon. Saya diundang pertemuan dengan Dewan Paroki di Aula Paroki (waktu itu, Gereja St. Bonaventura Pulomas sedang dibangun dan kami memakai sementara Sekolah Fransiskus Kampung Ambon sebagai tempat ibadat). Karena kehadiran Imam Praja di Paroki Pulomas banyak yang mempertanyakan, bahkan ada beberapa surat protes sampai ke saya, maka saya minta kamu mencatat baik-baik pertemuan nanti. Kamu buat notulensinya. Kalau perlu kamu rekam.”
Serem amat perintah Bapak Uskup ini, pikir saya. (Berlanjut)