MENGENANG mantan Pater Jenderal Serikat Jesus (Jesuit) alm. RP Peter-Hans Kolvenbach SJ rasanya tidak cukup, kalau hanya melihat kembali kedatangan beliau ke Indonesia tahun 1990-an. Ditemani Provinsial Provindo RP Josephus Darminta SJ dan Asisten Pater Jenderal untuk Regio Asia-Pasifik RP Suradibrata SJ, alm. RP Peter-Hans Kolvenbach melakukan turne mengunjungi beberapa lokasi karya Jesuit di beberapa kota.
Sebuah jamuan sederhana berlangsung di Pastoran Gedangan, Semarang, untuk menampung ratusan Jesuit yang berkumpul bersama Pater Jenderal dan mendengarkan aktualia baik dari alm. Pater Peter-Hans Kolvenbach maupun RP Suradibrata SJ yang waktu itu masih ‘berkantor’ di Kuria SJ di Roma sebagai Asisten Pater Jenderal SJ untuk Wilayah Asia Pasifik.
Sekilas saya mendengar entah dari mana sumbernya bahwa isi koper berisi pakaian Pater Jenderal SJ ini hanya sedikit: beberapa lembar pakaian saja. Tentu di sini, fokus pembicaraannya adalah sosok orang besar di Serikat Jesus, namun berpenampilan sangat sederhana dan bersahaja.
Orang besar bersahaja
Padahal, sejatinya alm. RP Peter-Hans Kolvenbach SJ adalah ‘orang besar’. Tidak hanya di lingkaran dalam di Kuria SJ di Roma dengan jabatannya sebagai superior generalis (pemimpin umum Serikat Jesus) yang di kalangan internal SJ disebut dengan gagah: Pater Jenderal. Orang awam akan dengan mudah menafsirkannya sebagai ‘Jenderal’ dari angkatan bersenjata, lantaran St. Ignatius de Loyola memang dulunya seorang perwira.
Pater Kolvenbach lahir di Druten, Belanda tanggal 30 November 1928 dari pasangan orangtua Belanda keturunan Jerman (pihak ayah) dan ibu keturunan Italia. Kepada penulis Jean Lacouture dalam bukunya Jesuits: A Multibiography, ia dengan berseloroh menyebut diri demikian: “Sekali waktu saya merasa diri sebagai orang Italia, dan di kemudian hari sebagai orang Jerman.”
Usai menyelesaikan sekolah menengah di Canisius College dan tertarik belajar bahasa, Kolvenbach muda di usia 19 tahun memutuskan masuk Serikat Jesus dan memulai pendidikan dasar sebagai novis di Novisiat SJ Mariendaal tanggal 7 September 1948. Salah satu teman novis angkatannya adalah alm. RP J. Hovens SJ. Saat menjadi novis SJ tahun kedua (secundi), Romo Hovens diutus pergi meninggalkan Belanda dan selanjutnya menjadi misionaris ke Tanah Jawa, sementara Pater Kolvenbach baru berangkat menuju tanah misi di Beirut, Timur Tengah, usai menyelesaikan program studi filsafatnya ketika umurnya sudah genap 30 tahun.
Kepada majalah America terbitan Konferensi Provinsi SJ se-AS edisi tahun 2007, Pater Kolvenbach menulis demikian: “I discovered a small booklet, which caught my attention because it contained not only words but sets of horizontal lines. I opened it and read Ignatius’ foundational principle. In all the turmoil and disappointment the war had produced, the vision of Ignatius came like a light.”
Ia menjejakkan kakinya di Beirut di bulan Oktober 1958, ketika di Ibukota Libanon ini masih berkecamuk perang sektarian.
Pater Peter-Hans Kolvenbach menerima tahbisan imamatnya di sebuah gereja katolik ritus timur (Armenia) di Beirut tanggal 29 Juni 1961, pada Pesta Santo Petrus dan Paulus. Sejak itu, kiprahnya lebih banyak terjadi di panggung ilmiah.
Sebagai pakar linguistik, Pater Peter-Hans Kolvenbach banyak melakukan perjalanan berkeliling memberi kuliah selama kurun waktu tahun 1964-1976 di Paris, Den Haag dan Beirut –tempatnya berkarya hingga kemudian diangkat sebagai profesor bidang linguistik di Universitas Saint Joseph di Beirut sembari memegang tampuk kepemimpinan SJ sebagai Provinsial untuk Vice Provinsi Timur Tengah (Mesir, Suriah, Libanon). Jabatan itu dia tinggalkan tahun 1981, ketika dia diangkat menjadi Rektor Oriental Institute di Roma.
RP Peter-Hans Kolvenbach SJ meninggal dunia di Beirut 26 November 2016 pada usia 87 tahun, empat hari sebelum genap berumur 88 tahun, 68 tahun sebagai Jesuit dan 55 tahun sebagai imam, dan setelah menjadi superior generalis SJ kurun waktu tahun 1983-2008.
Ketegangan antara Kuria SJ dan Vatikan
Pada tanggal 7 Agustus 1981, di atas pesawat dalam perjalanan pulang dari Manila menuju Roma, Pater Jenderal SJ waktu itu Pedro Arrupe SJ mengalami stroke. Meski Pater Arrupe masih bertahan hidup selama 10 tahun kemudian, sesampai di Roma dia mengemukakan niatnya untuk mundur sebagai superior generalis.
Sebenarnya, otoritasnya sebagai Jenderal SJ memungkinkan Pater Arrupe bisa menunjuk RP Vincent T. O’Keefe SJ –mantan Rektor Fordham University yang saat itu menjadi staf Kuria di Generalat SJ– sebagai penjabat Pater Jenderal.
Rupanya, penunjukan ini tidak menyenangkan Vatikan, sehingga alm. Paus Johannes Paulus II atas inisiatifnya sendiri lalu menunjuk RP Paolo Dezza SJ –mantan Rektor Universitas Gregoriana– sebagai penjabat superior generalis sampai terpilihnya Pater Jenderal SJ yang baru definitif. Pada saat sama, Paus juga menunjuk Pater Giuseppe Pittau SJ sebagai Asisten Jenderal SJ.
Rupanya, penunjukan Dezza SJ oleh Paus Johannes Paulus II ini menimbulkan ketegangan tersendiri, seakan-akan Vatikan mulai ‘campur tangan’ merasuki urusan internal kepemimpinan SJ. Namun, karena SJ terikat pada kaul khusus taat kepada Sri Paus, maka apa pun keputusan Paus Johannes Paulus yang telah menunjuk Pater Paolo Dezza SJ sebagai delegatus Vatikan untuk SJ akhirnya diterima, walaupun ketegangan itu tetap eksis sampai akhirnya terpilihlah Pater Jenderal SJ yang baru dan definitif: Peter-Hans Kolvenbach SJ.
Beberapa tahun kemudian, Pater Paolo Dezza SJ diangkat menjadi Kardinal dan Pater Giuseppe Pittau sebagai Uskup Agung.
Menjadi superior generalis
Jesuit berdarah Belanda yang menjadi misionaris di Beirut ini terpilih sebagai superior generalis dalam sebuah forum bernama Kongregasi Jenderal ke-33. Di forum tertinggi SJ ini, secara resmi dilakukan pemilihan superior generalis baru. Pada tanggal 13 September 1983, Pater Peter-Hans Kolvenbach SJ terpilih menjadi Pater Jenderal ke-29 Ordo Serikat Jesus.
Kongregasi Jenderal ke-33 waktu itu dihadiri oleh RP Josephus Darminta SJ sebagai Provinsial SJ Provinsi Indonesia, alm. Romo Antonius Soenarja SJ, dan kalau tak salah juga alm. RP F. Danuwinata SJ –kedunya sebagai utusan Provindo mendampingi Provinsial SJ. Sekedar tahu saja, alm. RP Antonius Soenarja SJ (kakak kandung Mgr. Leo Soekoto SJ) adalah Provinsial SJ pribumi pertama menggantikan posisi C. Orie SJ, sementara alm. RP F. Danuwinata SJ menjadi provinsial berikutnya setelah RP Josephus Darminta SJ habis masa jabatannya.
Pada tanggal 2 Februari 2006, Pater Jenderal Peter-Hans Kolvenbach SJ mengutarakan niatnya untuk mengundurkan diri pada tahun 2008, tepat ketika dia akan genap merangkai umur 80 tahun dan ingin menikmati masa pensiunnya dan kembali ke Beirut. Sejatinya, sebagai superior generalis SJ, dia dan para pendahulu sebelumnya bisa memegang jabatan tersebut seumur hidup. Namun, ia menghendaki pensiun agar bisa digantikan oleh Jesuit yang lebih muda.
Pada kesempatan Kongregasi Jenderal ke-35 yang berlangsung di Kuria SJ di Roma mulai tanggal 5 Januari 2008, Pater Adolfo Nicolás terpilih sebagai Pater Jenderal SJ yang baru pada tanggal 14 Januari 2008. Pater Nicolás adalah Rektor International Jesuit College Arrupe House di Manila –tempat dimana para Jesuit muda di Asia Tenggara berkumpul dari beberapa provinsi untuk melakukan studi teologi di Ateneo de Manila. Pada tanggal 14 Oktober 2016, Pater Nicolás resmi digantikan oleh RP Arturo Sosa SJ sebagai superior generalis yang baru dan menjadi Pater jenderal SJ pertama dari Amerika Latin (Venezuela).
Wartawan Gerard O’Connel membandingkan dua karakter sangat berbeda antara mendiang RP Pedro Arrupe dan RP Peter-Hans Kolvenbach. Menurut dia, sosok khas Pater Kolvenbach adalah pribadi yang jarang berkata-kata, namun menampakkan jiwa murah hati dan keramahan luar biasa. Sama seperti pendahulunya Pater Arrupe, Pater Kolvenbach juga menampakkan semangat luar biasa dan komitmen besar Serikat Jesus untuk mempromosikan keadilan sosial dan pelayanan iman.
Black Pope vs White Pope
Sejak Pater Pedro Arrupe menjadi superior generalis Serikat Jesus yang berarti menjadi pemimpin umum tertinggi Jesuit, entah kenapa tiba-tiba semacam gelar ‘lelucon’ lalu menempel pada sosoknya: the Black Pope. Kata ‘black’ mengacu pada jubah warna hitam yang biasa dipakai para Jesuit di Eropa, sementara the White Pope mengacu pada Sri Paus yang selalu memakai jubah warna putih.
Ketegangan antara the Black Pope and the White Pope (baca: Kuria SJ dan Vatikan) terjadi ketika di Amerika Latin tengah gencar dipraktikkannya Teologi Pembebasan oleh para imam katolik, termasuk para Jesuit yang meninggalkan altar dan ikut berpolitik praktis demi melawan tirani kekuasaan.
Vatikan yang waktu itu dipimpin Paus Johannes Paulus II dengan tegas melarang para pastor ikut terjun masuk dalam politik praktis dengan misalnya menjadi pejabat publik atau aktif di partai-partai politik sebagai pihak oposisi menentang kekuasaan tirani yang tengah berkuasa.
Singkat kata, karena banyak Jesuit di Amerika Latin juga mempraktikkan Teologi Pembebasan dan malah ikut berpolitik praktis, Vatikan menekan superior generalis agar melarang para Jesuit masuk politik praktis. Perintahnya jelas dan tegas: silakan berpolitik, tapi harus segera copot jubah dan keluar dari Serikat Jesus.
Ketegangan inilah yang mendera pemerintahan Pater Pedro Arrupe jauh-jauh hari sebelum dia terkena stroke. Ketika hampir dicapai semacam ‘kesepahaman ide’ antara Kuria SJ dan Vatikan soal isu penting ini, tiba-tiba saja Paus Johannes Paulus II ditembak oleh Mehmed Ali Agca di pelataran Saint Peter’s pada tanggal 13 Mei 1981. Tiga bulan kemudian, tepatnya tanggal 7 Agustus 1981, Pater Pedro Arrupe terkena stroke berat sehingga roda pemerintahan SJ atas ‘perintah’ Vatikan terpaksa ‘dialihkan’ ke pihak lain: Pater Paolo Dezza SJ sebagai pemimpin SJ ad interim.
Padre Arrupe sebenarnya telah menunjuk penggantinya sementara yakni Pater Vincent T. O’Keefe –mantan Rektor Universitas Fordham New York yang saat itu juga bertugas di Kuria SJ. Namun, atas pertimbangan tertentu, Paus Johannes Paulus II malah menunjuk Pater Paolo Dezza SJ sebagai penjabat ad interim dan Pater Giussepe Pittau SJ sebagai Asisten Jenderal SJ
Barulah dua tahun kemudian, Kuria SJ mendapatkan superior generalis tetap dan definitif yakni Pater Peter-Hans Kolvenbach.
Demikian keterangan Pater Joseph M. McShane SJ, Rektor Fordham University, kepada Majalah America: “Most (if not all) Jesuits would tell you that his (Fr. Kolvenbach) humility, holiness, integrity and savvy diplomacy were what stabilized the society after one of the roughest periods of our history. Without his serenity and savvy, we would have been very much at sea. We owe him more than we could ever repay.”
Selama memegang tapuk kepemimpinan umum sebagai superior generalis selama 25 tahun, sudah pastilah bahwa jasa terbesar alm. Pater Peter-Hans Kolvenbach dalam sejarah Serikat Jesus adalah keberhasilannya meredakan ketegangan ‘diplomatik’ antara Kuria SJ dan Tahta Suci.
“Father Kolvenbach was the quintessential peacemaker between the papacy and the society. Having entered in the context of John Paul II’s suspicions concerning the order, Father Kolvenbach made his and his confreres’ loyalty evident from the very beginning,” tulis Majalah America.
Sehari setelah terpilih menjadi Pater Jenderal SJ, Pater Peter-Hans Kolvenbach SJ menulis demikian:
“The Lord wishes to make use of our Society to announce to the men and women of today’s world—with a pastoral preference for those who suffer injustices in this world—the Good News of the Kingdom in a way that speaks to their culture and condition of life. He wants us in this way to serve His Church and the vicar of Christ, Pope John Paul II.”
Berkat kepiwaiannya membangun relasi dengan Vatikan inilah, ketegangan yang sempat merenggangkan hubungan Kuria SJ dengan Tahta Suci mulai beringsut mereda sehingga akhirnya SJ menjadi mesra kembali dengan Paus Johannes Paulus II dan penggantinya Paus Benedictus XVI.
Kontroversi Jesuit Belgia
Semasa menjadi superior generalis, masa pemerintahan Pater Jenderal Hans-Peter Kolvenbach juga tidak imun dari ‘kontroversi. Itu terjadi, ketika seorang imam Jesuit dari Belgia bernama Jacques Dupuis tengah ‘dibidik’ oleh Kongregasi Ajaran Iman Vatikan yang saat itu dikepalai oleh Kardinal Joseph Ratzinger (belakangan menjadi Paus Benedictus XVI).
Pater Dupuis SJ tengah dibidik Vatikan karena telah menulis buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism (1997) yang ditengarai oleh Kongregasi Ajaran Iman sedikit ‘nyleneh’ dari tradisi iman katolik. Namun imam Jesuit Belgia dari Wallonie ini dibela oleh Pater Peter-Hans Kolvenbach.
Pater Kolvenbach berani ‘menantang’ Kongregasi Ajaran Iman untuk menunjukkan pada bagian buku Pater Dupuis mana yang dianggap ‘tidak benar’. Meski Vatikan memberi catatan terhadap isi buku tersebut, namun Kuria SJ tetap mendukung kiprah Pater Dupuis untuk terus melakukan kegiatan komunikasi iman dengan golongan agama lainnya.
Para Jesuit Amerika pasti juga ingat, ketika Kongregasi Ajaran Iman Vatikan juga mendesak Pater Thomas Reese SJ agar segera mundur sebagai chief editor di Majalah America, sebuah terbitan berkala Jesuit produksi Konferensi Provinsi SJ di Amerika Serikat.
Terhadap hal itu, kenang Pater Reesse, almahum Pater Peter-Hans Kolvenbach telah melakukan ‘apa saja untuk melindungi dan membela saya.”
Tentang ‘pembelaan’ alm. Pater Kolvenbach atas kasus Pater Thomas Reese, Presiden Konferensi Provinsi SJ di Amerika Pater Timothy P. Kesicki SJ menulis demikian:
“The first time that I met Father Kolvenbach was as a scholastic in the mid ‘80’s. During a question and answer session, a member of the Province went to an open microphone and said, “Fr. General I have a difficult question for you.” Father Kolvenbach responded, “Difficult for me or difficult for you?” He had this uncanny ability to cut to the heart of the matter with extraordinary confidence and wit. He governed the society for a quarter of a century during a critical period in our history. His words and legacy will inspire generations to come.”
Bagi para murid kolese dan mahasiswa di beberapa universitas Jesuit di Amerika, kata-kata yang selalu dikenang dari almarhum Pater Kolvenback adalah ucapannya di tahun 2001 sebagai berikut:
“When the heart is touched by direct experience, the mind may be challenged to change. Personal involvement with innocent suffering, with the injustice others suffer, is the catalyst for solidarity, which then gives rise to intellectual inquiry and moral reflection…[Students] should learn to perceive, think, judge, choose, and act for the rights of others, especially the disadvantaged and the oppressed.”
Hidup sepi
Sejak mundur sebagai superior generalis SJ, almarhum Pater Peter-Hans Kolvenbach benar-benar seperti tercerabut dari dunia publikasi. Ia mundur total dari keramaian dan menghayati tugasnya sebagai asisten pustakawan di rumah Jesuit di Beirut. Ia melakukan hal ini agar jangan sampai ‘merecoki’ pemerintahan penggantinya: Pater Adolfo. Karena itu, ia juga menolak permintaan wawancara atau bentuk publikasi lainnya.
Ia hidup dalam keheningan hingga akhirnya Tuhan berkenan memanggilnya kembali ke pangkuannya.
Kuria Generalis SJ di Roma akan menggelar misa requiem di Gereja Del Gesu –persis di samping Kolese Para Frater SJ di Del Gesu—pada hari Jumat besok tanggal 2 Desember 2016.
Baca juga: Pater Arturo Sosa SJ, Jenderal Jesuit Baru Gantikan Adolfo Nicolas SJ