INI pengalaman lama di bulan Agustus 2006. WVI (World Vision Indonesia) mengundang saya ikut serta dalam sebuah tim rombongan dari Jakarta untuk melihat tempat-tempat pelayanan mereka di Pantai Kasuari. Dari Merauke, kami naik pesawat MAF dan kemudian mendarat di Kamur — ibukota Distrik Pantai Kasuari.
Daerah-daerah layanan WVI ini hanya bisa ditempuh dengan speed boat, karena seluruh daratan sekali waktu bisa langsung tertutup air manakala Laut Arufuru sedang pasang.
Baca juga:
- In Memoriam Stefanus Sumarno: Guru Pedalaman Agats, Korban Tewas Kapal Terbalik di Arafura (1)
- In Memoriam Stefanus Sumarno: Mengabdi Papua di Agats sebagai Guru SD Negeri (2)
- Agats-Asmat: RIP Enam Orang Tewas, Perahu Terbalik Diterjang Ombak Laut Arafuru
Dari Kamur, kami naik kapal motor menuju Kampung Bayun di muara Sungai Primapun dengan dua speed boat. Masing-masing perahu motor ini berisi 4 orang. Tidak boleh lebih karena beban kapasitas penumpang ya hanya sejumlah itu. Semua staf WVI. Hanya saya yang wartawan. Di sana telah ada tim sambutan dengan tari-tarian.
Padahal kami hanya ingin beberapa jam saja di situ, sebelum harus keluar dari Primapun menuju Basim di muara Sungai Fayit. Ini merupakan dua arah yang berlawanan. Satu ke timur yang lain ke barat. Tetapi acara penyambutan tari-tarian itu sukar dipangkas. Mestinya, kami sudah harus bisa keluar dari Bayun paling telat pada pukul 12.00 WIT. Itu karena faktor alam yakni menghindari gelombang tinggi di Laut Aru.
Akhirnya kami baru bisa meninggalkan lokasi pada pukul 15.00. Kami harus ngebut. Hanya berjarak 500 meter antara dua speed boat.
Kami keluar dari Primapun dengan cuaca cerah. Sangat terik. Satu jam pertama perjalanan masih lancar. Ada gelombang, tetapi bisa dilewati dengan mudah oleh speed boat. Tiba-tiba hari berubah menjadi gelap. Mendung cepat sekali naik. Angin kencang mulai bertiup. Gelombang sudah dua meter tingginya. Speed boat di depan tidak tampak lagi. Esok harinya, mereka bercerita telah layar ngebut luar biasa menjauh dari badai.
Mesin kapal motor mati
Tiba-tiba speed boat yang saya tumpangi mengalami mati mesin. Kondisi mesin sudah terendam air. Johny Noya, staf WVI, mencoba mengutak-atik mesin. Bisa hidup. Tetapi jelang 10 menit, mati lagi.
Saya melihat posisi daratan tinggal samar-samar di kejauhan. Hanya pucuk pohon yang jadi penanda. Kami sudah kayak kotak korek api. Terombang-ambing. Bisanya hanya berdoa, sembari menunggu peluang Johny berhasil memperbaiki mesin. Apalagi waktu itu cerita tentang kru TV7 yang mati, karena perahu mereka terbalik di dekat Agats, masih jadi perbincangan hangat.
Ketika sudah menyerah pada nasib, pertolongan Tuhan datang tepat waktu. Mesin segera hidup lagi. Pilihan satu-satunya adalah menuju pucuk pohon yang masih samar-samar. Soalnya malam sudah turun. Gelapgulita. Motoris Johny ngebut ke arah sana. Kami terdampar di rawa-rawa. Speed boat kami ikatkan ke akar bakau. Coba tidur, tapi perut lapar. Basah lagi. Sepanjang malam hanya menggigil.
Seperti ‘neraka’
Menunggu sampai pagi rasanya seperti berada di kobangan neraka. Nyamuknya besar-besar dan gatal sekali kalau digigit. Ribuan jumlahnya. Sepanjang malam mereka meronda kami. Barangkali hanya dalam kesempatan itu saya membunuh nyamuk paling banyak.
Esok hari, muncul persoalan baru. Perahu harus didorong ke laut. Lumpur sepinggang orang dewasa dalamnya. Speed sudah tertanam masuk ke dalam lumpur. Minta ampun lelahnya.
Tapi sekitar pukul 10 kami akhirnya sampai di Fayit. Jarak tempuhnya hanya sejam dari lokasi kami terdampar.
Doa arwah untuk kami
Di Fayit, doa-doa sudah dipanjatkan. Doa arwah. Mereka pikir kami sudah mati. Begitu masuk dermaga di Fayit, semua datang merangkul kami. Tangis-tangisan. Air mata duka berubah jadi air mata sukacita.
Baca juga:
Lalu kami jumpa Pastor Bavo Flendently. Imam diosesan Keuskupan Agats. Ia lebih sering hampir mati. Terdampar dan kemudian terbawa arus baginya hal itu sudah biasa. Bermalam di rawa-rawa sudah sering ia alami.
Diganggu roh halus juga sering dia alami.
Suatu kali, ia mengikuti cahaya di tengah laut. ia pikir menuju muara, tetapi semakin ke tengah laut. Untung cepat sadar. Speed boat ia putar 180 derajat dengan kemudian bertolak membelakangi cahaya itu. Akhirnya ia terdampar di daratan.
Waktu kami di Bayun, Johny dan saya menyempatkan diri ke Airo, ke lokasi SD tempat almarhum Stefanus Sumarno mengajar.
Kami menjumpai almarhum waktu itu sedang menanam cabai. Kami ngobrol sekitar satu jam. Lalu kami pamit pulang. Saya ingat, isterinya memberi kami oleh-oleh. Intip goreng.
Itu yang kami makan waktu terdampar di rawa-rawa malam itu.
Selamat jalan Pak Stef menuju kedamaian bersama Tuhan. Doakan kami yang masih berziarah ini.