SEJAK meninggalkan Lampung –tempat ia tumbuh remaja dan kemudian menyelesaikan studi ilmu keguruan di sebuah SPG lokal di Lampung– Stefanus Sumarno sudah tidak pernah lagi bertemu muka dengan seluruh anggota keluarnya. Kini, kesempatan untuk berjumpa fisik dengan keluarganya juga sudah pupus, setelah Stefanus Sumarno –guru SD Negeri Simandoro di pedalaman Keuskupan Agats-Asmat– dinyatakan tewas dalam insiden kapal jenis long boat yang terbalik di Perairan Kasuari di garis batas antara Agats dan Timika dan tepatnya di Laut Arafura.
Kalau pun kesempatan bertemu itu ada, maka ‘pertemuan’ yang dipaksakan itu terjadi dalam suasana berkabung. Keluarga menangisi kematian Stefanus Sumarno yang telah terbujur kaku menjadi jenazah saat tubuh ragawinya ditemukan tim SAR usai insiden kapal motor terbalik tersebut.
Baca juga:
- In Memoriam Sr. Sisilia TMM: Meninggal Tenggelam di Laut Arafura
- Agats-Asmat: RIP Enam Orang Tewas, Perahu Terbalik Diterjang Ombak Laut Arafura
Mengenal dari dekat keluarga besar almarhum Sumarno di kampung halamannya di Lampung, ucapan duka cita mengalir dari segenap anggota KBKK (Kelompok Bakti Kasih Kemanusiaan) kepada keluarga duka. Itu disampaikan oleh Threes Rita, penggiat KBKK bidang pembinaan remaja misioner asal Lampung yang mengaku kenal dengan keluarga almarhum Sumarno. “Melalui ibu kandung saya di Lampung, ungkapan duka dan simpati KBKK telah kami sampaikan kepada keluarga duka,” tulis Threes Rita kepada Sesawi.Net, Kamis siang tanggal 30 Maret 2017.
Sedikit mengenal medan Agats-Asmat
Mengapa KBKK begitu peduli dengan berita duka yang membuat Stefanus Sumarno asal Lampung dan beberapa orang lainnya itu menjadi korban tewas? Sangat bisa dimaklumi, karena sejumlah anggota KBKK termasuk penulis sendiri pernah menyusuri kawasan pedalaman Keuskupan Agats. Setidaknya, KBKK telah melakukan dua kali misi bakti kasih ke wilayah keuskupan yang boleh dibilang paling ‘miskin’ dan terisolir dari dunia luar ini.
Pusat ‘kota’ Agats itu sendiri luasnya tidak lebih dari wilayah dua desa di Jawa. Kota ini berdiri di atas papan-papan kayu yang menyangga rumah dan jalan, sementara di bawahnya yang ada hanyalah lumpur dan memang hanya lumpur semata. Di kala air pasang, maka tanah berlumpur padat itu akan tergenang air laur, sementara ketika surut lumpur-lumpur padat basah ini tidak mampu menahan pijakan kaki dan berat badan manusia. Begitu nekad nyemplung, maka seketika bisa langsung mbak bles… badan bisa ‘terbenam’ masuk ke dalam lumpur.
Maka bisa terjadi, sekali waktu buaya bisa masuk ke permukiman karena mengikuti arus air laut dan sungai yang pasang dan kemudian ‘mengisi’ ruang-ruang bawah rumah dan jalan di permukiman penduduk.
Kota Agats ditempuh dengan dua cara yakni jalur laut dengan kapal selama kurang lebih 10 jam atau terbang dengan pesawat ultra ringan jenis Pilatus dengan kapasitas muatan tidak lebih dari 8 orang dan beban bagasi tidak boleh melebihi 700 kg. Maka bisa dibayangkan bagaimana kondisi pedalaman Agats yang jauh dari permukiman penduduk dan peradaban kota. Belum lagi, akses menuju ke pedalaman ini hanya bisa ditempuh melalui jalur sungai nan besar lebar dan juga perairan laut dengan menyusuri garis pantai.
Hutang janji
Almarhum Stefanus Sumarno bersama 10 penumpang lainnya menjadi korban tewas dan hilang sementara empat lainnya berhasil selamat, ketika kapal long boat yang mereka tumpangi terbalik di hantam ombak perairan laut di Pantai Kasuari, Laut Arafura, di garis tapal batas Agats dan Timika.
Kepada almarhum Marno –demikian nama panggilan almarhum di Lampung—Threes mengaku masih berhutang janji. “Saya masih hutang janji sama dia. Sejatinya saya harus mengirim bahan-bahan katekese dan buku-buku pelajaran ke Agats. Namun, pengiriman ke sana terkendala oleh besarnya biaya pengiriman,” tutur YB Anggono Susilo,
Nus adalah panggilan akrab terhadap Marno di kalangan keluarga dekat.
Nus lahir dari keluarga petani sangat sederhana di Lampung. Ia menyelesaikan pendidikan SD, SMP dan kemudian SPG di kota kelahirannya. Almarhum Nus adalah anak pertama di keluarga petani sangat sederhana ini. Bersama sejumlah keluarga lain dari Jawa Tengah dan DIY, keluarga ini meninggalkan Jawa dan menjadi transmigran di Lampung pada tahun1975-an. Mereka kemudian tinggal di Dusun Margorejo, Way Abung 3, Kotabumi, Lampung.
“Bukan perkara mudah bagi keluarga petani sederhana itu rela melepaskan anak sulung lelakinya untuk pergi merantau di Papua,” tutur Anggono.
Kehilangan kontak selama bertahun-tahun
Sejak meninggalkan Lampung dan kemudian ‘terdampar di Papua dan akhirnya di pedalaman Agats, komunikasi benar-benar putus. “Keluarga dibuat putus asa, karena kehilangan kontak dan tidak pernah ada komunikasi sejak itu,” tutur Anggono lagi.
Setelah melalu perjuangan panjang lewat jaringan KBKK di Keuskupan Agats-Asmat, akhirnya kontak komunikasi melalui telepon bisa terjalin lagi. Itu pun juga tidak bisa dilakukan kontinyu, mengingat ketersediaan listrik pun tidak kontinyu selalu ada di ‘pusat kota’ Agats dan sudah pasti juga tidak lebih baik di pedalaman. Begitu pula dengan ketersediaan sinyal telepon: kadang ada, kadang bahkan tidak ada sama sekali.
Yang pasti, kata anggota keluarganya di Lampung, “Almarhum Mas Nus itu sangat menghayati panggilan hidupnya sebagai guru misioner di pedalaman Papua, khususnya di Agats. Kontak telepon dengan keluarga hanya berlangsung acap kali saja, karena medan tugasnya masuk ke pedalaman tanpa listrik dan sinyal telepon,” tutur anggota keluarga yang kemudian ditirukan Threes.
Sebagai keluarga dekat almarhum Nus di Lampung, sejak berita sedih itu mengemuka pada hari Selasa lalu, ia mengaku susah tidur dan dibebat dengan rasa duka yang mendalam. Apalagi hingga hari Rabu lalu, berita kepastian insiden kapal long boat terbalik ini juga sudah didapatkan; lagi-lagi karena akses komunikasi sangat sulit.
“Dalam perenungan dan doa saya pada dini hari Kamis pagi tadi , saya ingin mendoakan semua orang yang telah sudi mengabdikan diri demi kebaikan negeri ini; termasuk untuk anda (baca: teman KBKK) sekalian. Semoga Tuhan memberkati karya anda sekalian,” tulis Threes kepada Sesawi.Net.