“Incendie”, Derita Mencari Akar Sejarah Keluarga

0
1,574 views
Hari-hari panjang Nawal Marwan di penjara dengan identitas tahanan bernomor registrasi 72.

KEMATIAN Nawal Marwan (Lubna Azabal) mendatangkan duka sekaligus pertanyaan besar bagi kedua anak kembarnya: Jeanne Marwan (Mélissa Désormeaux-Poulin) dan Simon Marwan (Maxim Gaudette). Oleh almarhum ibunya, warga Kanada namun dulunya imigran politik asal Lebanon, kedua saudara kandung ini mendapat ‘warisan’ berupa sebuah mandat. Jeanne dan Simon harus segera mencari keberadaan ayah kandungnya dan –kalau mungkin— juga mencari juga saudara tiri mereka.

Tercabik perang saudara sektarian

Mandat warisan berupa tugas itu akhirnya membawa Jeanne terbang ke kawasan Timur Tengah. Tidak jelas negara mana, namun besar kemungkinan adalah Lebanon. Negeri indah ini pernah dijuluki sebagai surga wisata alias “Swiss”-nya Timur Tengah. Namun sebagaimana kita tahu dari fakta sejarah, Lebanon yang dulu sangat indah itu lalu menjadi porak-poranda lantaran berkecamuk perang saudara berkepanjangan kurun waktu 1975-1990.

Terdamparnya Jeanne Marwan ke “Lebanon” membawa masalah pelik yang menyayat kalbu. Di situlah ia baru tahu bahwa dulu almarhumah ibu kandungnya Nawal Marwan itu  diam-diam telah menjalin asmara dengan seorang pemuda Palestina yang jelas berbeda etnis, berbeda pula agama dan kepentingan politik komunitasnya.

Notaris Jean Lebel tengah memanggi pasangan kembar anak kandung Nawal Marwan .

Sebagai orang lokal Lebanon yang beragama Kristen Ortodoks, hubungan Mawal Marwan dengan pemuda Palestina itu sudah barang tentu dianggap aib oleh keluarga. Belum lagi, ketika muncul masalah lebih pelik lagi: hubungan asmara itu berbuah janin di perut Mawal Marwan.

Pemuda Palestina yang menjadi kekasih Nawal Marwan itu mati ditembak pemuda kristen Lebanon. Nawal pun nyaris ditembak, sebelum akhirnya neneknya bersedia menerimanya dengan baik setelah konflik batin yang mendera kedua orang ini mereda.

Luka batin yang mendalam

Di tengah konflik batin inilah, Nawal Marwan lalu melahirkan bayi laki-laki. Karena dalam suasana perang, ia lalu kehilangan jejak atas keberadaan bayinya itu. Barulah di ujung cerita menjadi lebih jelas, bayinya itu kemudian tumbuh besar menjadi serdadu petarung bernama  Abu Tarek alias Nihad de Mai (Abdelghafour Elaaziz).

Jeanne dan saudara kembarnya Simon Marwan mencoba memahami masalah yang telah diwariskan oleh ibu kandungnya.

Bersama kedua anak kembarnya hasil perkosaan di penjara, Nawal Marwan berhasil keluar dari Lebanon dan ketiga orang ini akhirnya beremigrasi ke Kanada. Kematian Nawal telah meninggalkan wasiat penting bagi Jeanne dan Simon:  tugas mencari keberadaan suami mendiang ibu kandungnya dan –kalau mungkin—juga anaknya yang lain yakni Abu Tarek, saudara tiri mereka.

Mandat warisan itu membuka ruang bagi terjadinya luka batin yang mendalam bagi Jeanne dan Simon.

Aksi pembantaian manusia karena konflik sektarian dan itulah yang dialami Jeanne ketika mulai menelisik latar belakang hidup mendiang ibunya.

Perburuan mencari keberadaan ayah kandungnya membawa Jeanne ke petualangan batin yang lebih menggoncangkan lagi: almarhum ibunya menjadi saksi ketika sekawanan serdadu tega membantai habis satu rombongan penumpang beragama lain. Lalu, muncullah fakta bahwa mendiang ibunya juga pernah mencoba membunuh seorang jenderal pemimpin kelompok nasional, lantaran insiden pembunuhan berdasarkan sentimen agama itu.

Tawanan beregistrasi 72

Sebagai tawanan politik, Nawal Marwan mendapat julukan nama “Perempuan Yang Suka Bernyanyi” dengan nomor registrasi 72. Di pusat penampungan tahanan politik di kawasan selatan Lebanon ini, Nawal menjadi korban aksi perkosaan berulang-ulang oleh serdadu spesialis interogasi dan penyiksaan.

Perkosaan itu membawa akibat yang tak diinginkan: Nawal hamil dan melahirkan dua anak kembar; yang lelaki kemudian bernama Simon dan yang perempuan bernama Jeanne.

Jeanne mencari tahu keberadaan saudara tirinya dan latar belakang hidup ibunya.

Pergolakan batin Jeanne dan Simon semakin memuncak, ketika akhirnya mereka tahu bahwa Nihad de Mai Harmanni itu ternyata saudara tirinya. Nihad adalah seorang pembunuh sadis berdarah dingin. Lahir di tahanan yang dikuasai oleh milisi Kristen namun nyawanya diselamatkan oleh para pejuang dari kelompok lain dan kemudian dididik menjadi ‘mesin pembunuh’, maka jadilah Nihad de Mai ini seorang petarung sejati dengan segudang emosi kebencian terhadap kelompok lain beda agama.

Menjadi lebih dramatik lagi, Nihad de Mai alias Abou Tarek itu adalah sosok serdadu bengis yang telah memperkosa Nawal Marwan berkali-kali. Dari hubungan biologis paksaan itu lahirlah Jeanne dan Simone. Dengan demikian,  Abou Tarek alias Nihad de Mai yang telah memperkosa ibunya itu adalah saudara tiri Jeanne dan Simon sekaligus menjadi ayah mereka.

‘Incendie’

Bara emosi itu bernama incendie, sebuah kata bahasa Perancis yang berarti ‘bara api’ atau ‘kebakaran’. Dan incendie itu kini melanda Jeanne dan Simon, pasangan anak kembar yang kini terpaksa harus mau menelan kenyataan pahit sejarah yang sangat kelam atas kehidupan almarhum ibu kandungnya: Nawal Marwan. Mendiang Nawal melahirkan ‘anak haram’ dari benih pemuda Palestina yang beda etnis dan beda agama. Lain waktu, ia diperkosa hingga melahirkan dua ‘anak kembar haram’ dari benih serdadu bengis yang tak lain anak kandungnya sendiri yang sekian lama tidak diketahui keberadaannya.

Film Incendie ini benar-benar incendie dari segala arah. Bara api gejolak jiwa yang membara ini telah ‘membakar’ nurani Jeanne, Simon, dan juga Jean Lebel (Rémy Girard). Yang terakhir ini adalah seorang notaris Kanada yang  dulu pernah mempekerjakan almarhumah Nawal sebagai sekretarisnya dan kini harus membuka ‘rahasia pahit’ hidup Nawal kepada kedua pasangan anak kembarnya.

Penderitaan dan kesengsaraan muncul sebagai akibat konflik horizontal karena semangat sektarian.

Pertemuan Nawal dengan anaknya yang bernama Nihad de Mai Harmanni itu sendiri terjadi tidak sengaja di sebuah pinggiran kolam renang di Kanada. Tak terduga sebelumnya, ia menemukan jejak anak kandungnya sendiri –si ‘anak haram’— setelah mendeteksi tiga buah tattoo kecil di ujung bawah kaki anaknya.

Ia mendadak jadi limbung secara emosional, tak mampu bicara, dan akhirnya meninggal dengan meninggalkan wasiat keluarga.

Incendie adalah film drama keluarga dengan latar belakang konflik politik sektarian yang terjadi di Lebanon ketika negeri indah ini selama kurun waktu tahun 1975-1990-an pernah didera perang saudara antara dua kelompok beda etnis, beda agama, dan beda kepentingan politiknya. Diadaptasi dari sebuah novel dengan judul sama besutan Wajdi Mouawad dan kemudian dioprek secara artistik dalam bentuk seluloid oleh sutradara Denis Villeneuve, Incendie bagi saya sungguh merupakan satu suguhan visual yang mampu menguras emosi dan mengaduk-aduk gejolak batin pemirsanya.

Emosi meletup

Incendie melahirkan reaksi emosi yang intens di tengah paparan konflik sektarian yang berdarah-darah. Film ini berkisah tentang incendie (baca: bara api gejolak batin) Jeanne dan Simon usai berhasil mengorek kisah kelam kehidupan ibu kandung mereka di  tengah konflik perang antar kelompok agama berbeda ini.

Film Incendie  juga bicara tentang incendie Nawal Marwan sendiri, ketika secara mendadak ia menemukan anak kandungnya sekaligus pemerkosanya itu di tepian kolam renang di Kanada –negeri nan jauh dari Lebanon yang telah mengorbitkan anaknya itu sebagai ‘mesin pembunuh’ tak kenal ampun. Dan itu membuatnya terpukul hingga kehilangan kata-kata dan seketika menjadi limbung di atas dipan jemur.

Menurut saya, semua spot dan tokoh film ini memang telah melahirkan incendie: gejolak batin yang hebat, sebuah bara emosi yang meletup-letup sembari tetap menunggu tanpa sabar sampai film panjang ini berakhir dengan kilasan pesan pendek berupa happy-ending story. Tapi itu pun dikemas dengan simbol-simbol pesan.

Ini bukan film Amerika gaya Hollywood yang biasanya suka tampil serba heboh. Tapi ini film besutan Denis Villeneuve, seorang sutradara yang lahir dan hidup di khasanah budaya francophone di French Canada: Quebec, Montreal, dan kota-kota berbahasa Perancis lainnya.

Melihat sendiri efek dahsyat dari sebuah perang berlatarbelakang sektarian.

Permainan yang intens

Lazimnya film-film produk negara-negara francophone, maka incendie ini pun juga mengadopsi genre sama yakni paparan kejadian yang intens, membetot emosi dan jiwa penonton dengan sajian tokoh yang hanya ‘itu-itu saja’. Terasa membosankan bagi yang tidak biasa menikmati film-fim jenis noir ini, namun menjadi menarik sekali ketika kita mampu meletakkan kisah Incendie ini di khasanah peta politik di Lebanon ketika negeri cantik ini didera perang saudara tahunan antara kelompok milisi Kristen, milisi muslim, dan kelompok nasionalis, plus campur tangan Israel ketika melakukan invasi militer menyerbu Lebanon tahun 1982.

Belum lagi, kalau harus menyebut bahwa novel Incendie ini  konon mengambil bahan dasarnya dari kisah perjalanan hidup Souha Bechara. Ia adalah perempuan kristen yang nekad berani menembak Jenderal Antoine Lahad –pemimpin milisi Kristen—karena muak dengan perlakuan milisi Kristen yang menembak membabi buta masyarakat sipil dari kelompok agama lain.

Film Incendie benar-benar mampu meletupkan incendie (bara api emosi yang menyala-nyala) di hati para tokohnya maupun penontonnya.

Baca juga:  “Gone Girl”, Suami Kok Jadi Ancaman?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here