[media-credit name=”Google” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]DEFISIT pemimpin politik berkaliber nasional dengan integritas tinggi. Ini topik menarik yang mengemuka saat Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan tampil dalam sebuah diskusi terbuka di Unika Atma Jaya Jakarta, 12 Agustus 2011 lalu. Mengambil tajuk gagasan tentang Revitalisasi Kepemimpinan Partai, Anies menyitir sikon terkini di Tanah Air.
Kata Anies, kita ini sebenarnya punya banyak pemimpin berkwalitas di bidang bisnis dan NGO. Namun, defisit serius terjadi di tataran kepemimpinan nasional. “Yang kita butuhkan adalah pemimpin politik dan bukan pemimpin parpol,” terang Anies dalam diskusi tersebut.
Parpol mestinya bisa menjadi “pabrik” pemimpin politik. Namun kondisi perpolitikan di tubuh parpol sekarang kurang kondusif. Di lain pihak, produksi kader-kader pemimpin politik melalui jalur non parpol juga kurang oke. Maka dari itu, kaderisasi calon pemimpin politik melalui jalur non parpol harus dibuka selebar-lebarnya.
Anies lalu mencontohkan suksesnya Joko Widodo alias Joko Wi yang memimpin Solo sebagai Walikota. Pun pula Herry Zudianto, Walikota Yogyakarta.
Membuka ruang bagi kaderisasi pemimpin politik di skala nasional itu sangat penting, kata Anies. Ini karena kita hanya punya tiga parpol “senior”, sementara lainnya masih dibilang “bau kencur” karena umurnya belum sampai 13 tahun. Lebih menyedihkan lagi, ketika praktik-praktik kotor dalam politik ikut menjadi “wajah bopeng” dari kondisi perpolitikan nasional dimana uang bicara dimana-mana.
[media-credit name=”Google” align=”alignright” width=”300″][/media-credit]Dua masalah krusial
Anies lalu mengritik kondisi lemahnya integritas pemimpin nasional dalam dua fenomena kegelisahan “nasional”. Kedua hal itu adalah seringnya “negara” absen dalam banyak situasi kritis. Padahal, sesuai konstitusi UUD’45, tugas pokok dan fungsi negara –yang antara lain di”eksekusi” oleh eksekutif (pemerintah)—adalah melindungi segenap anggota masyarakat.
“Tenun kebangsaan yang sudah terkoyak konflik akan susah untuk ditambal,” kata Anies bermain tamsil seraya menyitir Kasus Kerusuhan di Makam Mbak Priok di Tanjung Priok yang menelan korban tiga orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka. “Negara absen dalam tragedi itu. Tidak ada tersangka dalam kasus kriminal skala besar ini,” ujar Anies.
Kegelisahan lainnya adalah pemimpin yang enggan atau tidak berani mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Kondisi ragu-ragu ini di pucuk kepemimpinan nasional menjadi wabah yang menular hingga ke eselon-eselon di bawahnya. “Semua jadi ragu dan tidak berani ambil keputusan,” terang Anies.
Standar of Operational Procedures (SOP), kata Anies, diperlakukan lebih penting dari pada rasionalitas. “Mosok ada bupati dilantik di LP Cipinang?” ujarnya.
Pemimpin mengambil jarak
Kegelisahan Anies yang kedua menyangkut kebiasaan buruk pemimpin yang suka mengambil jarak dengan rakyat. Menurut dia, presiden sebaiknya memperlakukan dirinya sebagai layaknya seorang pemimpin modern di zaman serba modern ini. Aristokrasi dalam bertingkah laku harus ditinggalkan.
[media-credit name=”Rumbagpres” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]Anies lalu mencontohkan bagaimana Presiden Obama yang langsung akan bicara per telepon untuk memulai nego dengan pihak-pihak yang dia rasa harus segera dihubungi. “Obama hadir riil dalam dunia. Beda rasanya, kalau pemimpin suka hadir melalui media TV menyampaikan keprihatinannya. Efeknya pasti akan beda,” terang Anies.
“Kita memerlukan pemimpin yang bekerja; bukan pemimpin yang hanya hadir pada upacara saja. Momentum yang sekarang dimiliki barangkali tidak akan dimiliki tahap berikutnya dimana ekspetasi dan peluang Indonesia begitu besar. Harusnya ini potensi untuk mengambil posisi yang lebih besar,” terang dia.
Pemimpin di Jakarta yang berjumlah sekitar 1.000 orang ini perlu dikelola dengan baik. Kepolisian diharapkan tegas bertindak memroses setiap pelanggaran hukum oleh siapa pun juga. “Ketidaktegasan pemimpin itu akan menular dan merusak,” jelasnya.
Peran kaum intelektual dalam politik perlu membawa ide-ide dan menjaga kedekatan dengan parpol. Yang dibutuhkan sekarang adalah orang-orang biasa, namun yang bisa menjalankan pemerintahan dan electible. Yang sering terjadi di Indonesia: yang terpilih bukan karena yang terbaik, tetapi karena yang lainnya terlalu jelek. “Media memiliki peran pengawasan dan scrutinity,” begitu Anies berargumentasi.
Diskusi-diskusi walaupun tidak terlihat hasil perbaikannya juga diperlukan untuk menjaga kesadaran dan mengingatkan ketidaknormalan yang terjadi. Analoginya adalah katak yang dimasukkan ke dalam air panas. Kalau langsung dimasukkan, katak itu akan langsung melompat keluar. Lain halnya kalau dimasukkan dan dibakar dengan bara api yang perlahan-lahan lalu dibesarkan. Di ujung cerita, katak itu besar kemungkinan tidak tertarik keluar dan perlahan akan mati di dalam.
“Ini juga merupakan aksi dan reaksi. Pemimpin bisa meminta bawahannya menampilkan lima masalah terberat, bukan keberhasilan. Pemimpin seharusnya memegang falsafah: dikritik tidak rontok, dipuji tidak melayang,” tambah Anies Baswedan. (Bersambung)
Royani Lim, bekerja di lembaga nirlaba di Jakarta.