Indonesia yang Pluralis, Kita Rindu Kenangan Masa Silam

0
381 views
Ilustrasi: Tari Belibis yang berasal dari khasanah Hindu. (Ist)

BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.

Rabu, 9 Februari 2022.

Tema: Toleransi hati.

Bacaan.

  • 1 Raj. 10: 1-10.
  • Mrk. 7: 14-23.

SEORANG mensyeringkan pengalaman indah. Toleransi hati yang mengagumkan.

Dan saya percaya, itulah jiwa yang takwa, tulus, dan lurus mengarah kepada kesadaran sebagai yang tercipta dengan cinta.

Ada kebenaran hidup yang sejati di dalamnya.

Pencarian jiwa yang menemukan tempatnya di dalam keheningan hati yang bening.

Saya bingung dan heran akan hingar bingar hidup keberagamaan yang terjadi beberapa waktu akhir ini.

Apa yang terjadi sedikit berbau politis. Tidak membawa aroma persaudaraan, kerukunan bahkan jauh dari cerminan kebhinekaan.

Padahal cita-cita pendiri bangsa kita Bpk Soekarno-Hatta jelas. Sebuah bangsa yang majemuk; yang dianugerahi begitu banyak tidak hanya kekayaan alam tetapi juga kedalaman falsafah hidup.

Demikian ia mulai bertutur.

Waktu kecil, hanya beberapa orang Katolik di kampung kami. Mayoritas Muslim. Kami mengalami hidup bertetangga dengan baik. Setiap Idul Fitri, kami berkunjung ke rumah-rumah tetangga.

Kami selalu diterima dengan baik layaknya sebagai saudara. Bersalaman, makan minum dan sebagainya.

Sebagai seorang anak yang kecil yang diajak orangtua berkunjung dan berjumpa merayakan Idul Fitri adalah hal yang menyenangkan.

Kenangan indah itu terpatri sampai sekarang 

Saya angkat jempol bagi saudara-saudariku yang Muslim. Kami akrab. Bisa bersalaman, saling peluk, menerima satu sama lain sebagai saudara. Kami selalu dijamu dengan baik.

Indah sekali.

Demikian pun kalau kami merayakan Natal.

Banyak warga etangga datang, lengkap dengan anak-anak mereka. Kami sangat bergembira. Bisa berbicara bebas dan makan minum.

Perjumpaan menjadi ajang kegembiraan dan keakraban. Lontong dengan opor ayam, sambel goreng hati, kerupuk, ayam goreng, udang goreng menjadi menu utama. Ada pula bir bagi yang dewasa.

Anak-anak biasanya Seven Up dan sejenisnya. Tak ada kamus haram. Semua halal.

Kehidupan bertetangga berlangsung dengan baik. Tidak pernah saya dengar tetangga ribut soal agama, soal praktik-praktik keagamaan.

Sebuah kampung yang bersahaja, rukun, dan penuh dengan persaudaraan.

Ketika kami pun pulang ke rumah asal orangtua, kakek nenek pun menerima dengan baik. Sayang kakek lebih dahulu pulang ke rumah Allah.

Betapa bahagianya kami punya nenek yang baik. Hatinya betul-betul dapat dibanggakan. Demikian pun saudara- saudari yang lain.

Nenek tidak membeda-bedakan. Ia tahu kami keluarga Katolik, satu-satunya kerabat dalam dari keluarga besarnya yang Katolik.

Seluruh keluarga besar kakek, nenek, ibu, bapak adalah Muslim. Kami sungguh bangga memiliki mereka.

Keyakinan agama tidak pernah dipersoalkan. Tidak pernah diributkan. Tidak pernah dicela. Bahkan kami tidur bersama, bercengkrama dengan kegembiraan. Mengagumkan.

Setiap libur, dua pekan sebelum Idul Fitri, kami selalu ke rumah nenek. Kami membersihkan rumah dan pekarangan. Pohon-pohon dipangkas. Pagar dicat. Rumah kelihatan baru dan bersih.

Nenek sangat gembira. Nenek yang membiayai semua.

Saat kami bebersih, nenek selalu bilang, “Mau makan apa? Sini tak masakin.”

“Masak apa sajakah Nek?”

“Iyo,” jawabnya singkat.

Saya nyeletuk saat itu, “Be Dua kecap.”

“Oo, iyo,” almarhumah nenek memasak tanpa mencicipi.

Kelembutan hati yang mencinta selalu berusaha menyenangkan yang lain. Ketulusan jiwanya memberikan keteduhan. Kebeningan batinnya menyadarkan kasih dan pengorbanannya yang tak terucap.

“Segala sesuatu dari luar yang masuk kedalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban.” ay 18b-19.

Tuhan, kami tidak seperti-Mu. Semoga cara kami ber-agama dapat mengalami hadir-Mu lewat sesama kami. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here