Injil Minggu Adven IV/A – Tuhan Sungguh Menyertai Kita

0
462 views
Mereka menamainya Imanuel by Vatican News.
  • Mat 1:18-24
  • Yes 7:1-14

BACAAN Injil Minggu terakhir pada Masa Adven tahun ini (Mat 1:18-24) menyampaikan sebuah tradisi mengenai kelahiran Yesus; dari sudut pandang Yusuf yang di dalam silsilah sebelum bacaan ini disebut sebagai “suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus” (Mat 1:16).

Dikatakan dalam Mat 1:18 dan 20 bahwa Maria mengandung dari Roh Kudus sebelum hidup dengan Yusuf sebagai suaminya.

Dalam adat-istiadat Yahudi, sejak usia remaja seorang gadis sudah dipertunangkan dengan calon suaminya jauh-jauh sebelum pernikahan, yang baru terjadi setelah kedua-duanya siap membangun rumahtangga yang mandiri.

Ikatan ini dapat dibatalkan karena macam-macam alasan. Salah satunya ialah bila calon isteri didapati mengandung sebelum pernikahan. Menurut hukum, bakal suami wajib membatalkan ikatan pertunangan tadi. Demikian pihak perempuan akan merdeka dan dapat diperistri orang lain secara sah.

Kerap terjadi, perempuan yang bersangkutan tidak dimaui siapa pun dan akan mendapat aib. Yusuf tidak hendak menyusahkan Maria, tapi tetap mau menaati hukum tadi. Maka ia bermaksud membatalkan pertunangannya dengan Maria secara “diam-diam”, artinya, di hadapan dua saksi tetapi tanpa mengumumkannya.

Dengan demikian pembatalan itu akan sah menurut hukum tetapi tidak mendatangkan aib bagi Maria. Sebelum niatan ini dijalankan, terjadilah sesuatu yang luar biasa. Dalam sebuah mimpi (ay. 20-21) malaikat Tuhan datang dan mengatakan kepada Yusuf agar jangan takut mengambil Maria sebagai isterinya.

Malaikat itu menjelaskan bahwa anak yang dikandung Maria itu berasal dari Roh Kudus. Jadi kandungan itu bukan dari manusia dan Yusuf tak usah merasa terikat pada kewajiban mengikuti hukum adat.

Selanjutnya diberitahukan bahwa anak tadi hendaknya diberi nama Yesus, artinya “Tuhan itu keselamatan”. Yusuf pun melakukan yang diperintahkan kepadanya oleh sang malaikat.

Penjelasan Matius
Bagi umat Matius dan umat awal, kelahiran Yesus itu jelas bukan kejadian lumrah. Yesus dikandung dari Roh Kudus tetapi dilahirkan secara manusiawi oleh Maria dan dibesarkan oleh Yusuf.

Matius memberi penjelasan kejadian yang tidak biasa ini lewat kata-kata malaikat dalam mimpi Yusuf tadi. Dalam ay. 22 ditambahkan, semua yang dikatakan malaikat tadi menggenapkan nubuat nabi Yesaya 7:14 yang menyebutkan bahwa seorang anak dara akan melahirkan anak lelaki yang dikenal dengan nama Imanuel, yang artinya “Tuhan menyertai kita”.

  • Teks Ibrani Yes 7:14 memakai kata yang maknanya ialah anak perempuan yang sudah dewasa, tapi belum menikah.
  • Dalam teks Yunani, yakni teks yang dipakai Matius, kata itu diterjemahkan sebagai dengan sebuah kata yang artinya “perawan”.

Perbedaan dalam terjemahan ini memang bahan menarik bagi telaah teks Kitab Suci, tapi tak usah dijadikan dasar perbincangan mengenai keperawanan Maria. Matius menulis Injilnya bagi mereka yang percaya bahwa Maria itu perawan yang mengandung dari Roh Kudus.

Sebaiknya lebih dipahami bahwa yang ditekankan dalam kutipan dari Yes 7:14 itu ialah kelahiran sang “Imanuel”, yang artinya “Allah menyertai kita”. Ia tidak lagi membiarkan manusia sendirian.

Dan mulai saat itu kehadiran “Imanuel” memang menyertai manusia sepanjang zaman. Nanti dalam penutupan Injil Matius (28:20) diperdengarkan kata-kata Yesus, “…ketahuilah, aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman.”

Kisah kelahiran Yesus yang bukan kejadian biasa ini diceritakan juga oleh Lukas, tapi dengan penekanan yang berbeda. Bila Matius mencerminkan ingatan dari kalangan Yusuf, Lukas menceritakan kelahiran Yesus dari sudut pandang Maria.

Namun intinya sama: anak itu dikandung dari Roh Kudus (Mat 1:20, Luk 1:35), Maria dan Yusuf bertunangan ( Mat 1:18, Luk 1:27), perintah agar anak yang lahir nanti dinamai Yesus (Mat 1:21 kepada Yusuf, Luk 1:31 kepada Maria), kelahiran Yesus di Betlehem (Mat 2:5, Luk 2:4), Yesus besar di Nazaret (Mat 2:23, Luk 1:51-52).

Matius menampilkan perasaan Yusuf, pergulatan rohaninya, rasa hormatnya yang besar terhadap Yang Keramat yang mendatanginya. Juga ditonjolkan perhatian Yusuf terhadap Maria dan Yesus. Ia betul-betul menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai bapa keluarga ini.

Pembaca dari kalangan Yahudi yang menjadi pengikut Yesus dari generasi pertama menangkap maksud penekanan pada Yusuf tadi. Dalam adat keluarga Yahudi, pendidikan seorang anak sejak tidak lagi menyusu ibunya hingga akil balig pada usia 12-13 tahun menjadi tanggungjawab bapa keluarga.

Begitulah kebesaran hati Yusuf, kepekaannya, kematangan imannya ikut membentuk pribadi Yesus. Pembaca Injil Matius mengerti apa artinya menjadi anak yang dibesarkan oleh orang seperti Yusuf itu. Juga menjadi jelas bahwa karya “Tuhan menyelamatkan umat-Nya” itu menjadi tepercaya justru karena memakai jalan manusiawi.

Karya Roh Kudus, daya luar alam itu baru betul-betul bisa membawakan keselamatan bila tumbuh dan menjadi besar dalam lingkungan yang sungguh manusiawi. Inilah kiranya keyakinan iman orang-orang yang terungkap dalam kisah Matius tadi.

Siapa tujuan warta ini
Sebetulnya kisah kelahiran dan masa kecil Yesus tidaklah mutlak perlu untuk menjelaskan karya, penderitaan, kebangkitan Yesus nanti. Injil yang paling awal, yakni Injil Markus, tidak memuat kisah itu.

Begitu pula dalam Injil Yohanes tidak didapati kisah yang mirip. Bagi Yohanes jelas Firman yang mengawali segala sesuatu itu “telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita” (Yoh 1:14). Dan ini cukup guna mengungkapkan kehadiran Yang Ilahi dalam ujud manusia.

Maklumlah, Injil Yohanes ditulis bagi orang-orang yang sudah paham akan karya penebusan yang dijalankan Yesus dan sudah maju jauh dalam pengetahuan hidup batin dan berhasrat maju terus. Injil Markus sebaliknya disiapkan sebagai pegangan ringkas bagi mereka yang baru mulai tertarik untuk mengenal siapa Yesus itu.

Lalu, setelah tahap awal ini dilalui, apa yang terjadi?

Orang tentu butuh pendalaman. Kepada mereka inilah Injil Matius dan Lukas ditulis. Penjelasannya begini. Orang yang sudah mulai kenal Yesus dan hidup menurut wartanya (“setelah mendengar Markus”), tentu ingin mengenal asal usul Yesus. Karena itulah Matius dan Lukas menuliskan tradisi mengenai kelahirannya.

Nanti mereka yang maju lebih jauh tidak butuh bertanya-tanya mengenai asal-usul badaniah dan peristiwa-peristiwa di seputar kelahiran dan masa kecil Yesus. Kepada mereka itulah Injil Yohanes berbicara.

Ditekankan hubungan dengan Bapa. Diungkapkan pula keinginan Yesus untuk berbagi “sangkan paran“, berbagi kehidupan rohani yang sejati dengan orang-orang yang dikasihinya dan setia kepadanya. T

entu saja pengetahuan ini hanya dapat dicapai bukan dengan usaha sendiri, bukan pula oleh orang yang belum masuk dan mendalami sampai utuh. Kisah kelahiran Yesus dalam Matius mengarahkan orang ke sana.

Menyongsong Hari Natal
Suasana menyongsong pesta Natal sudah terasa lama. Hiasan Natal terlihat di mana-mana. Kita saling berkirim kartu dan pesan Natal.

Apakah orang-orang sekarang ini seperti umatnya Matius atau Lukas dulu, umat yang menjadi dewasa dan maju terus dan mau mendalami makna kehadiran Kristus di tengah-tengah umat manusia?

Bila warta kisah kelahiran Yesus dimaksud untuk memajukan hidup rohani, apa masih ada relevansinya bagi kebanyakan orang pada zaman kita ini?

Khususnya di bumi Indonesia?

Tetap berlaku ajakan untuk mulai mengenal lebih jauh siapa Yesus yang diikuti orang banyak, siapa dia yang diimani sepanjang zaman sebagai Penyelamat itu. Orang beriman bisa pula menjadi seperti Matius dan Lukas. Mereka mulai mencari tahu asal usul Yesus sehingga pengenalan mereka semakin dalam. Baik Lukas maupun Matius menekankan hadirnya daya ilahi (“Maria mengandung dari Roh Kudus”) dan penerimaan utuh dari pihak Maria dan Yusuf.

Yang dilakukan Yusuf diungkapkan Matius dalam bacaan hari ini. Menerima karya ilahi dalam ujud yang amat mengguncang tadi menjadi ungkapan iman yang paling nyata. Yusuf itu orang yang bisa menerima kehadiran ilahi yang tidak lumrah sekalipun dan tetap menghormatinya.

Bahkan ia memeliharanya dengan penuh perhatian. Ia memikirkan kepentingan Maria, tidak hanya mau meninggalkannya begitu saja. Kemudian ia juga berani mendengarkan Yang Keramat yang mengubah rencananya sama sekali. Ia bersedia menjadi orang yang bertanggung jawab membesarkan Yesus.

Ringkasnya, Yusuf itu pribadi yang dapat dipercaya karena juga bisa mempercayai. Mendalami peristiwa kelahiran Yesus dalam terang Injil Matius itu merayakan kebesaran hati seorang manusia yang bukan saja memungkinkan karya Allah dapat mulai terjadi, tetapi juga yang memelihara dan membesarkannya.

Dan semuanya ini terjadi dengan tak banyak kata. Orang beriman yang ingin maju menjadi pemerhati gerak-gerik Yang Ilahi tentu dapat belajar banyak dari Yusuf si pendiam itu.

Salam hangat,
A. Gianto

—————-

Berikut ini saya teruskan tulisan seorang kenalan lama – semoga berguna

Apa arti “Imanuel” bagi kita?

Rekan-rekan,

Pembaca bisa jadi heran kok orang dari Perjanjian Lama ikut-ikutan mengisi milis di abad-21 ini. Jangan dikira kami dari dunia lama terkurung dalam waktu lampau dan terpisah di tempat yang jauh.

Kalian kan punya naskah dari zaman kami yang bahkan terbaca dalam bahasa kalian. Dan kalau terampil, kalian tentu bisa berinteraksi dengan kami lewat jalur-jalur yang bisa kita bangun bersama.

Kalian toh juga ada ekseget yang bisa memendekkan jarak dari situ ke sini kan?

Malah saya diminta oleh Gus agar menerangkan sendiri episode “Imanuel” dalam Yes 7:1-14. Katanya dia hanya akan menerangkan Mat 1:18-24 yang menggemakan episode itu.

Begini duduk perkaranya.

Waktu itu, abad 8 seb. Masehi, saya tinggal di Yerusalem, jadi penasihat raja untuk urusan kehidupan politik dan agama. Tak usah heran, saya teolog, tapi juga paham masalah-masalah hubungan internasional. Dan justru spesialisasi saya berteologi mengenai hubungan internasional.

Apa ada teolog zaman kalian yang juga berminat ke situ?

Dengar-dengar kalian sedang membincang-bincangkan teologi. Eh, dengar-dengar belakangan ini beberapa Romo kalian gemar berteologi mengenai agama-agama, khususnya agama kalian di hadapan agama orang lain ya?

Apa tidak juga suka melancarkan teologi mengenai masyarakat luas, mengenai, eh, global warming, atau mengenai suasana geopolitik. Perkara-perkara itu kan keprihatinan semua orang, bukan kelompok kalian sendiri.

Dulu di Yerusalem saya bicara mengenai perkara yang relevan bagi semua, bukan kelompok kami saja. Begitu maka bisa jadi bahan pembicaraan rasional dengan pihak-pihak lain.

Ada beberapa orang seperti saya di kalangan istana di Yerusalem. Kami mencoba mendampingi para pemimpin negara dengan pemikiran teologis kami. Waktu itu sedang ada krisis. Terasa ancaman kekuatan militer Asiria dari utara.

Kerajaan utara – ibukotanya Samaria – sudah menjadi wilayah pengaruh adikuasa mereka, dengan maksud menyetop pengaruh negara kuat lain, yakni Mesir. Karena itulah penguasa negeri utara, waktu itu Raja Pekah (737-732) bersekutu dengan penguasa bangsa Aram di Damaskus, namanya Rezin. Mereka berdua bermaksud mengajak raja di Yehuda di Yerusalem, waktu itu Yotam (742-735) dan anaknya Ahaz (735-715) untuk ikut serta.

Tapi kerajaan kami di selatan tidak mau.

Hal ini membuat Pekah dan Rezin membuat rencana menyerang Yerusalem ketika Ahaz baru setahun jadi raja. Bila berhasil, mereka akan menurunkan Ahaz dan menggantikannya dengan si Tabeel yang bersimpati pada orang Aram.

Kekuatan gabungan Pekah dan Rezin itu besar dan membuat keder Ahaz. Ini semua ada dalam Yes 7:1-9 yang mendahului petikan yang kalian dengarkan kali ini.

Nah dalam keadaan gawat seperti ini, Ahaz jadi keruh pikirannya, ciut hatinya. Ia tubruk sana, tabrak sini.

Saya mencoba menenangkannya dan mengajaknya memeriksa alternatif-alternatif sambil berpikir ke depan dan memilih tindakan yang paling bagus. Kita musti tenang khususnya dalam saat-saat gawat. Ahaz ada maksud mengirim utusan minta balabantuan dari raja Asiria yang sudah mengancam kerajaan utara dan Aram.

Alternatif ini memang akan menyelamatkan Yerusalem dari kepungan dua musuh dekat itu. Tapi akibatnya mesti dibayar mahal.

Ini berarti mendekatkan pasukan Asiria di gerbang Yerusalem dan dengan cepat nanti mereka akan menelan kami. Ini tidak bijaksana.

Pendapat saya lain. Begini.

Pasti Asiria tak tinggal diam melihat persekutuan Pekah dan Rezin. Cepat atau lambat pasukan Asiria akan menumpas mereka. Asiria juga tak suka melihat mereka nanti dapat sekutu baru bila mereka menguasai Yerusalem seperti dikawatirkan Ahaz.

Maka saya nasihati dia coba tenang-tenang saja. Malah saya minta Ahaz agar ingat kepada Yang Mahakuasa yang bakal menyelamatkan kota suci-Nya ini.

Ahaz itu raja yang lemah, kurang berwawasan luas dan membiarkan diri dihantui waswas. Ia mestinya belajar dari sejarah dan lebih mendengarkan kami para penasihatnya. Ia sebetulnya tahu bahwa Tuhan akan membela Yerusalem dengan cara-Nya sendiri.

Yang perlu ialah membuat strategi atas dasar keyakinan ini. Itu keyakinan orang banyak. Dan bila Ahaz memanfaatkannya, ia pasti akan mendapat dukungan rakyat. Tapi sayang ia ragu-ragu. Ia sudah kehabisan akal. Ia berpikir untuk apa pakai alasan teologis untuk urusan militer dan politik.

Benar begitu. Tapi ia kan pemimpin. Tak boleh memperlihatkan kelemahan. Ia mestinya membangkitkan semangat orang banyak. Inilah yang kucoba agar disadarinya.

Kusampaikan kepadanya, kalau ia tak mau “meminta pertanda” dari Tuhan – ini ungkapan yang berarti mengajak rakyat melihat bahwa Tuhan tetap ada di pihak kita, maka Dia sendirilah yang akan memberikan pertanda – Ia sendiri akan membuat rakyat dan orang banyak tahu bahwa Tuhan tetap ada di pihak kita. Amat saya upayakan agar Ahaz mengerti.

Pemimpin mesti berpolitik juga dengan kepercayaan, dengan bijaksana, demi ketenangan umum. Di situlah kekuatannya. Ini juga kekuatan moral Yerusalem. Tetapi ah, Ahaz, ia tak berhati baja dan tidak encer pemikirannya. Ia mau bersembunyi di balik sikap seakan-akan tak mau menguji kesetiaan Tuhan.

Huh, Ahaz tak punya nyali kepemimpinan. Munafik suci-sucian. Orang yang begitu itu biasanya malah bikin kesalahan lebih besar. Lihat, ia malah nekat minta mengirim utusan minta bantuan raja Asiria.

Inilah latar yang membuatku menyampaikan nubuat yang kemudian kalian kenal juga: “Sesungguhnya seorang perempuan muda akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan dia Immanuel…” (Yes 7:14).

Tentunya tidak langsung jelas siapa anak yang sedang yang dibicarakan. Juga rada gelap kan siapa itu perempuan muda tadi. Baiklah saya beri gambaran lebih luas.

Begini, dalam segala urusan ini hendaknya kalian jangan terpancang pada keinginan menemukan “rujukannya”. Tak usah menghabiskan tenaga mencari-cari siapa yang dimaksud. Ini kan bahasa nubuat para nabi zaman dulu.

Dan nubuat memakai bahasa “sejarah”, seakan-akan bicara tentang peristiwa yang bakal terjadi, tetapi maksud sesungguhnya ialah menguatkan hati orang dan menumbuhkan harapan.

Nubuat itu kusampaikan karena diberikan oleh Yang Maha Kuasa sendiri. Ada wibawanya. Orang sebaiknya menerimanya dengan tulus ikhlas. Baru begitu bisa lega dan berpikir jernih. Ahaz tidak begitu.

Sayang. Ia sebenarnya tidak bisa mempercayai kekuatan yang ada di kalangan rakyat Yerusalem dan Yehuda sendiri, yakni kepercayaan mereka akan lindungan Tuhan.

Inilah yang sebenarnya dimaksud dalam urusan ini.

Bagi kami Yang Maha Kuasa ialah Tuhan kita yang menghidupi umat, melindungi rakyat, serta tidak melupakan orang-orang yang menyembah-Nya. Maka mempercayai Dia ialah menaruh kepercayaan pada umat-Nya, pada kekuatan yang ada di dalamnya.

Tapi Ahaz, ah ia malah menyandarkan diri pada tentara Asiria. Ia buta akan potensi di kalangan umat, ia tuli akan Dia yang ada bersama umat-Nya!

Ungkapan “mengandung dan akan melahirkan” itu ialah cara mengatakan kekuatan yang akan jadi nyata. Imanuel yang dikandung dan akan lahir itu ialah kekuatan yang sungguh ada di dalam umat. Kalian tentu bisa mengerti.

Dan “perempuan muda”, ah, ini cara untuk mengatakan siapa saja yang bisa membiarkan kekuatan dari atas tadi menjadi kenyataan di bumi. Kata Ibrani yang kupakai, ‘almah, artinya anak dara yang secara fisik sudah bisa nikah dan mengandung.

Kata itu kupakai untuk menyebut siapa saja yang mulai bisa mengandung dan melahirkan. Separo dari kemanusiaan begitu kan?

Ini sumber kekuatan yang nyata-nyata ada. Dan yang bakal lahir dari padanya akan dinamakan, Ibrani-nya, Immanuel, artinya El, yakni Allah, bersama kita, ‘imma-nu“.

Kekuatan ilahi yang bisa mengujud dalam kemanusiaan itu akan menyertai kita. Ini pernyataan kepercayaan yang amat dasar. Apa saya nanti yang kalian sebut tentang Dia tak akan berarti bila tidak didasarkan pada kepercayaan bahwa Ia ada menyertai kita-kita manusia.

Begitu kan?

Barusan Gus cerita ke sini, bahwa di kalangan kalian ada penerapan turun temurun oleh seorang teolog Perjanjian Baru, namanya Matt, bahwa perempuan muda yang dimaksud ialah seorang perawan di Nazaret yang akan melahirkan kenyataan “Allah ada menyertai kita” itu dalam ujud tokoh Yesus yang kalian ikuti dan percayai sebagai Kristus itu.

Senang mendengar penerapan seperti ini. Nubuat yang disampaikan ke Ahaz itu memang mesti diterapkan dalam kehidupan.

Yang penting kalian bisa menemukan kesungguhan apa itu “Allah menyertai kita”. Tanpa itu, seperti saya katakan tadi, pernyataan-pernyataan kepercayaan tak ada kekuatannya.

Dan kekuatan yang dimaksud ialah berharap.

Salam dari kenalan lama,

Isaiah Yerushalmi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here