Injil Minggu Biasa XII/B 23 Juni 2024: Tak Pedulikah Engkau Kalau Kami Binasa?

0
91 views
Yesus meredakan angin ribut di laut by Ist
  • Mrk 4:35-41.
  • 2 Kor 5:14-17.

REKAN-rekan yang baik,

Setelah menceritakan perumpamaan mengenai benih yang ditaburkan, pelita dan ukuran, benih yang bertumbuh, biji sesawi yang tumbuh menjadi pohon besar, kini Markus mengajak pembaca mendengarkan serangkaian kisah mukjizat yang dikerjakan Yesus. Ia meredakan angin ribut, mengusir roh jahat, menghidupkan kembali anak Yairus dan menyembuhkan perempuan yang sakit pendarahan.

Pada hari Minggu Biasa XII Tahun B ini dibacakan kisah Yesus meredakan angin ribut yang mengancam perahu yang ditumpanginya bersama para murid-Nya Mrk 4:35-41.

Kisah mukjizat
Sebelum memasuki kisah itu sendiri, marilah kita tengok tujuan Markus menceritakan kisah-kisah mukjizat dalam Injilnya. Seperti disebut di atas, kisah-kisah itu diletakkan berdekatan dengan bagian-bagian yang menyampaikan pengajaran Yesus. Rupa-rupanya kisah mukjizat disampaikan dengan tujuan agar orang semakin melihat siapa sebenarnya Yesus itu.

Pusat perhatian tidak diletakkan pada mukjizatnya sendiri. Kisah mukjizat ditampilkan dengan tujuan membuat orang lebih dekat pada diri Yesus dan pengajaran-Nya; bukan sebagai kisah ajaib belaka.

Boleh kita bayangkan, penyusun Injil seolah-olah berkata, lihat, Dia yang pengajaran-Nya telah kalian dengar itu adalah tokoh yang memiliki kuasa besar atas alam, terhadap penyakit dan roh jahat, bahkan terhadap kematian sendiri. Pertanyaan dasar yang sebaiknya dipegang pembaca ialah: apa yang dapat kita tarik keluar mengenai Yesus dari kisah ini?

Dalam petikan ini diperlihatkan betapa para murid yang terdekat mengalami sendiri bagaimana Yesus mempunyai kuasa atas kekuatan-kekuatan yang menakutkan. Gagasan ini bersumber pada dunia keagamaan Perjanjian Lama. Di situ didapati gambaran mengenai kekuatan Allah yang menguasai gejolak laut dan badai.

Boleh diingat Mzm 89:9-10: “Tuhan, Allah semesta alam, siapakah seperti Engkau? Engkau kuat, ya Tuhan, dan kesetiaan-Mu ada di sekeliling-Mu. Engkaulah yang berkuasa atas kecongkakan laut, pada waktu gelombang-gelombangnya naik, Engkau juga yang meredakannya.”

Lihat juga Mzm 93:3-4; 106:8-9; Yes 51:9b-10.

Badai dan laut memang dihubungkan dengan kekuatan yang selalu mengancam kehidupan orang yang takwa. Karena itulah dalam doa-doa Perjanjian Lama, bahaya terbesar biasa digambarkan sebagai badai di lautan.

Ini terungkap misalnya dalam doa Mzm 69:15-16: “Lepaskanlah aku dari dalam lumpur, supaya aku jangan tenggelam, biarkan aku lepas dari orang-orang yang membenci aku, dan dari air yang dalam. Janganlah gelombang air menghanyutkan aku…”

Itulah kiranya yang dirasakan para murid waktu itu. Dan dalam keadaan ini, mereka berseru kepada Yesus. Ia memang meredakan badai. Namun, sebelum mengamati lebih lanjut marilah kita teliti cara pengisahan Markus.

Tidur di buritan… memakai bantal?
Markus mengisahkan Yesus tidur di buritan -bagian belakang perahu- dengan memakai bantal. Kedua kata itu, “buritan” dan “bantal” hanya ada dalam kisah Markus; tidak ditemukan dalam teks Matius dan Lukas.

Apakah perbedaan ini berarti?

Mudahnya, boleh diduga Markus hendak mengatakan Yesus benar-benar sedang tidur nyenyak. Ini cara Markus membuat pembaca semakin bertanya-tanya. Lho, dalam keadaan gawat seperti itu kok masih bisa tidur lelap, malah pakai bantal segala.

Tetapi boleh jadi Markus juga ingin mengungkapkan hal-hal yang bisa ditemukan bila kisahnya diikuti dengan saksama. Seperti disebutkan di atas, kata “bantal” tidak dijumpai dalam Matius dan Lukas.

Boleh jadi kedua penginjil ini tidak memakainya karena menganggap perkaranya sudah jelas. Kata yang diterjemahkan dengan “bantal” itu memang artinya bantal yang biasa kita pakai menyandarkan kepala. Tetapi di sini barang yang berperan sebagai bantal itu ialah semacam papan melintang yang biasanya dipakai duduk atau bersandar oleh orang yang bertugas memegang kemudi perahu.

Ini juga jelas karena dikatakan tempatnya di buritan yang tidak disebut oleh kedua Injil lain. Tempat itu biasanya sempit dan hanya bisa diduduki oleh juru mudi; tidak ada cukup ruang untuk orang lain.

Pembaca kini boleh mulai menduga-duga maksud Markus. Apakah ia hendak mengatakan bahwa Yesus bertugas mengemudikan perahu. Bila begitu ia seharusnya mengarahkan ke tempat yang tidak diamuk gelombang. Kok malah enak-enak tidur di situ.

Bisa dimengerti mengapa para murid yang ketakutan itu berseru dengan nada kesal, “Guru, tak pedulikah engkau kalau kami binasa?” (ay. 38). Nada kesal ini tidak dijumpai dalam kisah yang sejajar dalam Mat 8:25: Tuhan, tolonglah, kami binasa.” maupun Luk 8:24, “Guru, Guru, kita binasa.”

Kedua Injil itu lebih memusatkan pada permintaan tolong dalam ketakutan.

Markus hendak memperlihatkan sisi-sisi Yesus dan para murid yang tidak ditonjolkan kedua Injil lainnya. Bisa tidur dengan enak itu bagi orang sekarang dan orang dulu punya arti sama. Hati nurani bersih dan percaya bahwa dilindungi Allah sendiri.

Lihat Amsal 3:23-24; Mzm 4 9; Ayub 11:18-19. Yesus di sini manusia yang sedemikian merasa aman. Ia juga berani menyerahkan orang-orang yang mengikutinya berada dalam lindungan Allah sendiri. Tokoh seperti ini memang boleh dikagumi, tapi sekaligus juga membuat gemas orang-orang yang dekat.

Kok tak peduli kami bakal mati ketakutan begini. Enak-enak sendiri? Segera sesudah adegan ini kisah berubah. Yesus bangun dan menghardik angin dan membuat danau teduh. Pembaca akan ingat motif dari Perjanjian Lama mengenai kuasa terhadap kekuatan laut dan badai yang mengancam kehidupan.

Ditawarkan dua gambar mengenai sosok Yesus: sosok manusia yang percaya teguh pada lindungan Allah, dan sosok dia yang menjadi tempat Allah memperlihatkan kuasanya atas daya-daya alam yang menakutkan.

Pembaca yang jeli bisa memandangi yang satu dan tetap melihat yang lainnya karena memang sama. Inilah hikmat teks Markus.

Badai ketidakpercayaan?
Apakah kisah mukjizat ini dapat dipahami sebagai kiasan bagi keadaan para murid yang terombang-ambing dan ketakutan di tengah badai kehidupan, baik dulu dan sekarang? Memang ada tafsiran seperti ini. Namun, cocokkah kita baca kisah mukjizat ini dengan cara itu?

Yesus mengatakan bahwa mereka sebenarnya kurang percaya. Memang kisah-kisah Kitab Suci lebih mudah dibaca dengan mengenakan skema “percaya” lawan “tak percaya”, lebih-lebih bila di dalam petikan ini sendiri kata-kata itu dipakai.

Seperti dua Injil lainnya, Markus menghubungkan ketakutan para murid dengan sikap kurang percaya. Kurang percaya kepada siapa?

Pembaca bisa jadi segera berpikir mengenai sikap kurang percaya kepada kehadiran Yesus. Tetapi sebenarnya Injil mau mengajarkan hal yang lebih dalam. Di situ ditonjolkan perbedaan antara sikap Yesus yang pasrah dan bisa tidur enak di tengah-tengah ancaman badai dan ombak di satu pihak dan para murid yang mudah guncang di lain pihak.

Inilah yang kiranya hendak diperlihatkan dalam kisah mukjizat ini. Para murid diminta agar belajar bersikap tenang dalam bahaya. Bukannya tak peduli, melainkan seperti yang terjadi pada diri Yesus. Ia gambar orang yang percaya, yang merasa sepenuhnya berada dalam lindungan ilahi.

Memang tak dapat disangkal bahwa di sini juga diajarkan sikap percaya kepada Yesus. Tetapi tentunya yang dimaksud ialah percaya kepada dua sisi Yesus ini: dia yang sedemikian pasrah kepada Yang Maha Kuasa itu dan dia yang mampu membungkam badai.

Ay. 41 mengungkapkan pertanyaan para murid satu sama lain “Siapa sebenarnya orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepadanya?”

Pertanyaan ini tak perlu dijawab dengan gampang dengan pernyataan-pernyataan teologis yang besar yang lazim kita ucapkan: ia itu Anak Allah, Mesias, Penyelamat, meski semuanya benar.

Kisah ini juga memberi jawaban sederhana tapi mendalam: Ia itu orang yang bisa sepenuhnya menyerahkan diri kepada lindungan ilahi.

Sebuah amatan lagi. Matius dan Lukas hanyalah mengatakan bahwa Yesus membentak badai dan gelombang, tapi Markus menyampaikan hardikannya dalam bentuk kutipan: “Diam. Tenanglah.”

Kata yang kedua itu lebih daripada hanya menyuruh reda. Secara harfiah artinya “terberanguslah”, seperti moncong ular naga yang tadinya terbuka mengancam dan kini diikat rapat.

Dalam sastra Ibrani dan sekitarnya, badai dan ombak dibayangkan sebagai ular naga raksasa yang menghujat wibawa ilahi yang telah mengatur jagat ini. Kekuatan-kekuatan yang mengacaubalaukan itulah yang disuruh diam dan terberangus.

Bila jalan pikiran ini diikuti, akan jelas bahwa bukan tiap kesulitan hidup boleh dibaca sebagai badai yang hanya bisa ditenangkan oleh kekuatan ilahi. Hanya yang menggugat wibawa ilahilah yang akan disuruh diam dan diikat mulutnya, hanya yang mau mengacaukan wibawanya.

Para murid diajak membeda-bedakan badai yang hanya dapat diatasi kekuatan ilahi sendiri: badai ketidakpercayaan.

Dari Bacaan Kedua 2Kor 5:14-17 kemanusiaan baru
Dalam petikan ini, Paulus berusaha membuat orang-orang di Korintus menemukan siapa itu Kristus bagi kehidupan mereka, bagi kemanusiaan. Ia bukan lagi yang bisa dikenali sebagai manusia semata-mata, betapa luhurnya, betapa besarnya, betapa kuatnya kepribadiannya.

Ini semua tidak cukup guna memahami Dia yang ada di tengah-tengah orang yang percaya. Cara yang lebih cocok ialah melihatnya sebagai dia dapat membawa kemanusiaan menjadi yang sungguh dimaui oleh Pencipta.

Kristus menjadi ciptaan baru yang sudah mulai. Barangsiapa mengikutinya akan menjadi ciptaan baru.

Dalam gagasan Paulus, Allah Yang Mahakuasa itu tidak meninggalkan manusia melainkan yang membuatnya bisa mendekat kepada-Nya. Orang kini bisa mulai memandangi kehidupan bukan semata-mata dari sisi dan perhitungan manusiawi belaka.

Di situlah letak kekuatan untuk menjalani kehidupan dengan segala permasalahannya.

Salam hangat,
A. Gianto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here