Luk 12:13-21
INJIL yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XVIII Tahun C ini adalah Luk 12:13-21.
Bacaan Injil ini beranjak dari pembicaraan antara Yesus dan orang yang datang meminta pertolongan untuk menyelesaikan perkara warisan (ayat 13-15).
Orang itu merasa haknya dalam pembagian warisan tidak dihormati oleh saudaranya dan meminta Yesus berbicara kepada saudaranya.
Memang dalam menyelesaikan perkara seperti ini, lazim orang pergi menghadap orang yang dituakan, guru, penghulu adat, atau tokoh yang wibawanya diterima umum.
Tetapi dalam hal ini Yesus tidak bersedia menjadi hakim bagi perkara itu. Alih-alih, Ia mengajak orang berpikir mengenai sikap terhadap harta kekayaan dengan sebuah perumpamaan mengenai orang kaya yang bodoh (ayat 16-21).
Latar belakang
Dalam masa pemerintahan Romawi, pada prinsipnya semua perkara diatur oleh hukum Romawi. Bahkan digariskan pula sampai mana dan bagaimana hukum adat dan agama bisa diberlakukan.
Keputusan dalam hukum adat bertambah kuat, bila diberi pengesahanan menurut Hukum Romawi. Sering perkara jual beli atau pembagian milik menurut adat dibawa ke lembaga resmi Romawi untuk dicatat dan diresmikan.
Maklum perundang-undangan hukum positif di seluruh wilayah Romawi mengharuskan pengesahan semua keputusan menurut adat. Tentu saja dalam pelaksanaannya tidak selalu terjadi demikian.
Pihak penguasa Romawi juga tidak amat ikut campur mengontrol, kecuali dalam perkara-perkara penting seperti pencatatan penduduk atau hukuman mati yang ditetapkan oleh mahkamah agama.
Jelas campur tangan penguasa asing tidak disenangi di kalangan Yahudi, walaupun mereka tak bisa mengelakkan dualitas hukum. Masalah apakah orang Yahudi boleh membayar pajak kepada kaisar atau tidak ialah satu perkara yang mencerminkan keadaan ini (Mrk 12:13-17; Mat 22:15-22; Luk 20:24-25).
Dalam episode itu, dualitas hukum dipakai lawan-lawan Yesus untuk menjeratnya. Tetapi ia mengembalikan permasalahannya kepada yang menanyainya dan tidak terperosok perangkap mereka
Mengapa orang tadi tidak mendapat hak warisannya?
Boleh jadi saudara orang itu memang mengangkangi seluruh warisan. Ini keadaan yang tidak jarang terjadi di dalam keluarga yang baik-baik sekalipun.
Ketamakan sang saudara? Boleh jadi.
Tapi peristiwa ini sebaiknya tak perlu dijadikan bahan menuduh pihak-pihak tertentu. Perkara warisan di sini memang tidak dimaksud untuk menjerat Yesus. Malah jelas orang-orang menghormati wibawanya.
Namun apa tanggapan Yesus?
Ia tidak melibatkan diri ke dalam sengketa mengenai warisan.
Mengapa?
Boleh jadi latar belakang di atas membantu memahami. Soal sengketa itu bisa diurus dengan pihak yang lebih berwenang, khususnya dalam urusan hukum.
Dengan demikian penyelesaiannya akan lebih terjamin.
Nasihat berjaga-jaga
Sudah menjadi kebiasaan bahwa orang yang datang ke pada orang yang dihormati, seorang guru, tidak akan pulang dengan tangan hampa, meskipun permintaannya tak dikabulkan atau permasalahannya tidak mendapat penyelesaian.
Begitu pula Yesus yang dalam ayat 13 disapa sebagai “Guru” itu tidak menyuruh orang pergi tanpa bekal. Dan yang diberikannya ialah ajaran sikap hidup yang jauh lebih berharga daripada penyelesaian urusan warisan.
Diberikan-Nya nasihat agar berhati-hati dalam berurusan dengan harta, agar jangan kemaruk (ayat 15).
Nasehat ini kemudian dijelaskan dengan perumpamaan orang kaya yang bodoh (ayat 16-21).
Ada banyak kemiripan dengan cara yang dipakai Yesus dalam menjawab masalah yang diajukan seorang Ahli Taurat mengenai cara terbaik memperoleh hidup kekal yang menjadi dasar bagi perumpamaan orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37).
Dalam kesempatan itu, Yesus tidak mengupas hukum Taurat yang sudah dikenal baik sang Ahli Taurat, tetapi ia mengajarkan hal yang baru dengan perumpamaan orang Samaria yang baik hati: apa artinya menjadi “sesama bagi orang lain” dan bukan terpaku pada gagasan siapa “sesama-ku” itu.
Dalam peristiwa hari ini, suatu masalah dalam pembagian kekayaan beralih menjadi pengajaran hidup agar menjadi kaya di hadapan Allah.
Kepada siapa ditujukan nasihat agar berhati-hati terhadap sikap tamak akan harta (ayat 15)?
Dapat diperiksa dari perubahan kata ganti. Dalam ayat sebelumnya, pembicaraan hanya terjadi antara Yesus dan orang yang datang membawa perkara warisan.
Dalam ayat 15 Yesus berbicara kepada “mereka”, yaitu kepada orang-orang yang ikut mendengarkan bagaimana Sang Guru memecahkan perkara tadi.
Para pendengar kasus sengketa warisan itu kini menjadi murid ilmu kehidupan. Nasihatnya bukan celaan kepada orang yang datang kepadanya minta bantuan masalah warisan.
Bukan pula anjuran tersirat kepada lawan orang tadi agar tidak tamak. Tetapi ia membantu semua orang melihat akar permasalahan yang dibawa kepadanya dengan memakai sebuah perumpamaan.
Perumpamaan orang kaya yang bodoh
Bila dibaca dari awal hingga akhir, akan terasa betapa kosongnya kehidupan orang kaya dalam perumpamaan ini.
Ia tidak mempunyai teman bicara. Ia hanya berbicara dengan diri sendiri. Ia bahkan tidak minta keringanan Allah yang berfirman kepadanya bahwa malam itu jiwanya akan diambil.
Mungkin orang itu tak lagi dapat mendengar peringatan itu. Bahkan harta miliknya yang menjadi berkah dari atas itu tidak bisa menjadi barang hidup baginya. Tanah, panenan, lumbung, barang-barang yang dipunyai itu hanyalah obyek belaka.
Semuanya itu dibawahkan kepada gagasan “dipunyai dan ditata” belaka, tidak pernah diupayakan berkembang agar makin “terasa ada dan berguna”.
Orang itu tidak tahu bagaimana mengisi kesepian hidupnya. Ia justru makin mengisolasi dirinya dengan membangun lumbung yang makin luas dan yang akhirnya malah menguburkannya hidup-hidup.
Ia bahkan tak sempat menjadi kawan bagi dirinya sendiri. Ia memperbudak diri dengan tidak mendengarkan suara yang sayup-sayup masih ada dalam nalarnya, yaitu untuk mengamalkan pada orang lain.
Kita dapat tahu ini, karena ini nanti dikatakan Allah dalam ayat 20 “…untuk siapakah itu nanti?”
Suara hatinya sedemikian tertimbun kekayaannya sendiri. Orang kaya itu sebetulnya ingin rujuk dengan dirinya sendiri dulu, ia ingin menikmati istirahat, makan-minum, dan bersenang-senang (ayat 19)
Bukan hal buruk.
Tak perlu hal ini dilihat dari sudut pandang askese penyangkalan diri dari zaman kemudian. Dalam kesadaran religius umum waktu itu harta ialah berkat ilahi yang mesti dikembangkan seperti talenta dan tidak dipendam atau dijauhi.
Yang mempunyai bisa makin menikmatinya dengan mengajak orang banyak. Ini penalaran yang pintar. Kebodohan mulai pada kemalasan untuk mengamalkan.
Di situlah mulai ketamakan –“pleonexia”– yang disebut dalam ayat 15. Sikap penuh dengan diri sendiri dan tak butuh berbuat apa-apa lagi kecuali memiliki, memiliki, memiliki.
Entah harta, entah pangkat, entah keahlian… Tapi gaya hidup itu nanti akan membuat orang yang bersangkutan tak berarti apa-apa.
Perumpamaan itu ditutup dengan pernyataan: “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah”.
Ajaran yang mau disampaikan: jadilah kaya di hadapan Allah.
Dengan perumpamaan itu ,Yesus menuntun setapak demi setapak orang yang “salah alamat” pergi kepada Yesus Sang Guru minta dibela dalam perkara warisan.
Ia tidak disuruh pergi begitu saja. Ia dibekali ajaran hidup. Bukan hanya orang itu sendiri, melainkan semua orang yang ikut datang mendengarkan ajaran ilmu untuk menjadi kaya di hadapan Allah.
Ajaran tadi disampaikan dalam ujud perumpamaan, dengan sebuah cerita yang membuat orang berpikir dan menemukan sendiri mana yang paling cocok bagi dirinya. Penekanan terletak pada ajakan agar orang tidak mengubur diri dengan harta milik atau apa saja yang diperlakukan sebagai harta milik.
Orang-orang yang mengitari orang seperti ini sering dianggap sebagai milik belaka. Meskipun mereka menemani pesta dan mengawani bercanda, tetapi mereka jarang berperan sebagai pribadi-pribadi.
Hanya sebagai milik yang bisa disimpan di lumbung. Awal mula perpecahan persahabatan dan kerontokan hidup keluarga sering mulai dari sana.
Sebaliknya bila orang pandai-pandai membuat harta sebagai bagian kehidupan, dapat mengembangkan kemanusiaan dengannya, maka harta membuat orang lepas dari kecenderungan kemaruk.
Malah bisa menjadi jalan menjadi kaya di hadapan Allah.
Memperlakukan saudara, anak, isteri, suami, orang lain bukan sebagai “barang milik” juga akan memecahkan isolasi diri. Tentu dengan segala konsekuensinya, termasuk ikut berbagi penderitaan.
Ikut menanggung kesusahan, juga dengan diam-diam ini harta semacam itu.
Pribadi penginjil
Siapa yang sudah benar-benar tampil sungguh kaya di hadapan Allah?
Di mata penulis Injil, orang itu ialah Yesus. Keilahian ia pasrahkan kepada kemanusiaan sehingga kemanusiaan sedikit-sedikit menemukan kembali yang sudah hilang dari padanya.
Bukan tanpa penderitaan, bahkan penderitaan itu namanya mati di salib.
Bukan kebetulan, bila Lukas menaruh episode hari ini dalam untaian kisah perjalanan ke Yerusalem, ke salib, tapi sekaligus ke tempat kemuliaannya.
Di sana Ia terlihat kaya di hadapan Allah dan kekayaannya itu dibagikan kepada orang-orang dalam ujud kegembiraan paskah para murid pertama dan semua orang lain harta yang paling besar yang dibagikannya itu adalah Roh-Nya.
Inilah kekuatan yang membangun hidup bersama para pengikut Yesus di sepanjang zaman.
Makin dibaca, cerita orang kaya itu makin menjadi cerita yang menimbulkan rasa iba. Maka boleh diharapkan homili hari ini tidak bernada sindiran atau kecaman.
Cerita itu tidak menyarankan umpatan “tahu rasa lu!” kepada orang kaya yang bodoh tadi. Pembaca dan pendengar malah dapat merasakan rasa iba hati penulisnya tertuang di sana.
Lukas menjumpai dan hidup bersama orang-orang seperti itu. Dan dia yang makin kita kenal sebagai Luc sahabat kita itu sebenarnya juga orang yang terpandang dan berharta tetapi bisa bergaul dengan siapa saja. Ia mengajak orang menyadari agar milik dan kekayaan jangan sampai mencelakan diri.
Ia membantu orang menemukan yang tak bakal bisa lenyap: harta di hadapan Allah.
Terngiang kata-kata Yesus kepada Marta mengenai Maria bahwa Maria telah memilih bagian yang terbaik yang tidak bakal hilang – yang tak bakal diambil dari padanya.
Ini juga ajakan bagi kita semua untuk membuat makin banyak orang menemukan kekayaan seperti itu.
Salam,
A. Gianto