Mrk 10:17-30
BACAAN Injil Minggu Biasa XXVIII tahun B ini (Mrk 10:17-30) memuat pernyataan Yesus bahwa lebih mudah bagi seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah (ay. 25; lihat pula Mat 19:23-24 Luk 18:25).
Murid-murid bereaksi, bila begitu, siapa yang bakal selamat?
Menanggapi persoalan ini, Yesus mengemukakan memang tak mungkin bagi manusia, namun bukan demikian bagi Allah; bagi-Nya semuanya bisa terjadi.
Apa artinya pembicaraan itu dan apa wartanya bagi kita sekarang?
Sikap beragama dan kerohanian sejati?
Ada orang yang datang dan bertanya kepada Yesus, apa yang mesti diperbuat supaya mendapatkan hidup kekal (Mrk 10:17).
Yesus merujuk kepada perintah-perintah agama (ay. 19). Tetapi setelah orang itu berkata bahwa semua sudah dijalankannya (Mrk ay. 20), Yesus mengajaknya melangkah lebih jauh. Disarankannya kepada orang itu untuk mengamalkan kekayaannya bagi kaum papa dan lalu mengikutinya (ay. 21).
Keinginan orang itu untuk memperoleh hidup kekal dihadapkan Yesus dengan cita-cita untuk mencapai kesempurnaan. Hidup kekal belum bisa disebut kesempurnaan.
Dalam bacaan ini juga menjadi jelas bahwa kesempurnaan mustahil dicapai oleh manusia dengan upaya sendiri. Kesempurnaan itu karya Allah bagi manusia. Murid-murid salah paham. Mereka mengira kesempurnaan itu dituntut agar orang selamat, maka mereka bertanya-tanya siapa bakal bisa diselamatkan.
Dalam ay. 27 Yesus membantu mereka agar mengerti duduk perkaranya: kesempurnaan itu bukan urusan manusia, melainkan karya ilahi di dalam diri manusia.
Dalam hubungan ini baik dipikirkan perbedaan antara “sikap beragama” dan “kerohanian”. Meskipun berpautan, kedua-duanya tidak sama.
Sikap beragama yang tulus dapat membawa ke hidup kekal dan membukakan dimensi keramat dalam kehidupan, tetapi belum membawa orang betul-betul merasakan nikmat dan hikmatnya Yang Keramat. Dia sendirilah yang bakal membawa orang kepadanya.
Tak sedikit orang yang kini merasa jenuh dengan “sikap beragama” dan menginginkan masuk ke dalam “kerohanian”.
Injil Minggu ini mengutarakan perbedaan di antara keduanya. Paradigma “sikap beragama” bisa panjang, misalnya: giat dalam gereja, berkomunitas, membudayakan agama, menjadi agamaist.
Lalu apa paradigma “kerohanian”? Kita tahu ada, tapi apa ujudnya, Dia sendirilah yang lebih mengetahuinya. Kerohanian sejati luput dari perencanaan justru, karena tidak bisa diagendakan. Dan sia-sialah upaya untuk itu.
Jalan sama tujuan berbeda
Tanggapan Yesus dalam Mrk 10:27 sebenarnya tidak langsung diarahkan kepada para murid (“Siapa bakal selamat?”).
Mereka masih sibuk dengan pemikiran mereka sendiri mengenai keselamatan yang kini justru digoyah Yesus. Mungkin mereka berpendapat bahwa keselamatan itu ialah mengalami “syalom” atau “kedamaian” seperti sering dikuliahkan dalam traktat teologi keselamatan.
Teologi Keselamatan seperti ini sebenarnya lebih termasuk paradigma “sikap beragama”, dan bukan mengolah kawasan “kerohanian”. Akibatnya, cepat atau lambat orang merasa macet, jemu, tak mendapat inspirasi.
Penawarnya ialah Teologi Keselamatan yang lebih memberi ruang gerak pada Allah yang bertindak menolong orang-orang yang butuh pertolongan-Nya. Itulah citra Allah yang paling dihayati dan ditampilkan dalam Perjanjian Lama.
Itu juga citra Anak Manusia dalam Perjanjian Baru yang dinanti-nantikan orang banyak: menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, memberi makan orang banyak, menghidupkan orang.berbeda.
Petapa dalam Mazmur itu ingin tahu bagaimana caranya agar orang bisa berada bersama dengan Tuhan karena inilah kepuasannya. Tetapi orang yang menemui Yesus tadi mencari kepastian bagaimana bisa menikmati hidup kekal. Baginya berada dengan Tuhan, “mengikuti Yesus” Mrk 10:21, bukan sumber kepuasannya.
Anehnya, jalan yang ditempuh sang petapa dalam Mazmur 15 dan orang dalam Mrk 10:17-27 praktis sama. Bandingkan katalog perbuatan baik dalam Mzm 15 dan Mrk 10:19, tetapi tujuan akhirnya berbeda. Semua perbuatan baik itu termasuk kesungguhan beragama.
Namun, sikap ini dapat membawa orang ke dua arah yang amat berbeda satu sama lain. Yang satu ke kepuasan rohani ada bersama Tuhan, sedangkan yang lain ke kemuraman, ke rasa pilu karena tidak mampu mengikuti Tuhan.
Ini kendala hidup beragama yang mendua arah tujuannya. Maka tak heran bila murid-murid Yesus bingung. Jawaban Yesus tidak melanjut-lanjutkan kebingungan mereka, melainkan membawa mereka menyadari karya Tuhan sendiri silam yang diikuti begitu saja oleh para penafsir.
Lalu bagaimana tafsiran yang mengena?
Tak ada jeleknya menerima teks seperti adanya. Tak perlu kita berusaha menyulap unta menjadi tali perahu atau tali apa saja, lebih-lebih jangan biarkan diri hanyut oleh buaian argumen rasionalistis. Lebih baik pernyataan Yesus itu didengar sebagai kiasan untuk membuat orang makin menyadari duduk perkaranya. Artinya, jelas tak mungkin mereka itu masuk surga.
Yesus mau mengatakan betapa susahnya orang kaya masuk Kerajaan Allah. Kiasan ini juga menekankan kontras pada akhir petikan. Memang bagi manusia tak mungkin, tapi semua mungkin bagi Allah.
Maksudnya, manusia tidak bisa dengan upaya sendiri (“sikap beragama” belaka) mencapai kesempurnaan, tapi bila yang membawanya ke sana itu Allah sendiri (menyadari gerak “kerohanian sejati”), tentu saja bisa terjadi.
Tak usah kita mulai menuduh-nuduh siapa yang seperti orang kaya itu, juga tak perlu mencari-cari siapa yang orang miskin yang sungguhan atau yang kurang sungguhan. Yang penting kita bisa mengajak orang agar ikut bertanya seperti murid-murid yang tak habis pikir tadi.
Bila ini tercapai, kita akan ikut membuat orang jadi peka akan pesan Injil, yakni insyafilah perbedaan antara “hidup beragama” dan “kerohanian sejati”, yang pertama itu upaya manusia mendekat kepada Allah, yang lain kehadiran Allah dalam diri manusia.
Melihat versi Matius
Kaidah-kaidah moral yang disebut Yesus dalam Mrk 10:19 yakni “jangan membunuh, jangan berzinah, dst. hingga hormatilah ayah dan ibumu” muncul dalam Mat 19:19 dengan tambahan “dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.
Tambahan ini tidak ada dalam Luk 18:20. Gagasan “mengasihi sesama seperti diri sendiri” memang sering dijumpai dalam Alkitab, lihat antara lain Im 19:18 Mat 22:39 Mrk 12:31.33 Luk 10:27 Gal 5:14. Rm 13:9 Yak 2:8. Lazimnya gagasan itu dimengerti sebagai ajakan mengasihi sesama dengan cara seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Terngiang petuah emas Mat 7:12 “Apa yang kamu inginkan bagi dirimu, perbuatlah bagi orang lain.”
Begitukah? Memang tak ada yang bakal menyangkal betapa mulianya ajakan ini. Persoalannya, kata-kata “seperti kamu sendiri” itu sebetulnya perlu dipahami sebagai pelengkap “mengasihi” ataukah sebagai pelengkap “sesamamu”.
Bila dikenakan kepada “mengasihi”, maka kita diajak untuk mengasihi orang lain dengan cara seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Tetapi bila dikenakan kepada “sesamamu”, maka kita diharap mengasihi sesama yang nasibnya kayak kita-kita ini.
Dengan kata lain, kita diminta agar solider dengan orang lain, agar peduli terhadap orang lain yang senasib.
Mana tafsir yang jitu?
Menurut cara bicara Ibrani atau Aram (dan Yunani Perjanjian Baru), “kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” seyogianya dimengerti sebagai ajakan agar kita mengasihi sesama yang kayak kita-kita ini juga, dengan segala kendala hidup dan hasrat dan cita-cita yang ada, bukan agar kita memperlakukan orang lain dengan cara seperti kita memperlakukan diri kita sendiri.
Dalam bahasa-bahasa itu mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri kita akan diutarakan dengan mengulang kata “mengasihi”. Cara berungkap seperti ditemui dalam Yoh 15:12 “Inilah perintahku, yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti aku mengasihi kamu”.
Jika “kasihilah sesama seperti dirimu sendiri” mau diartikan sebagai “kasihi sesama seperti halnya kamu mengasihi dirimu sendiri”, maka “mengasihi” akan diulang pula. Tambahan dalam Mat 19:19 itu justru dapat memberi ulasan lebih jauh mengenai serangkai hukum yang menjamin hidup kekal dalam Mrk 10:19.
Serangkai hukum itu dipaparkan bukan sebagai kewajiban-kewajiban belaka, melainkan sebagai kepedulian yang mendalam terhadap orang lain yang senasib sepenanggungan, entah mereka itu ayah ibu, mitra bisnis, lawan beperkara, isteri, atau pemilik barang-barang yang menggiurkan. Menumbuhkan kepedulian ini menjadi jalan ke hidup kekal.
Salam hangat,
A. Gianto