REKAN-rekan yang baik,
Apa maksud perumpamaan mengenai orang Farisi dan pemungut cukai dalam Luk 18:9-14 yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XXX tahun C ini?
Disebutkan pada awal bahwa Yesus menyampaikan perumpamaan itu kepada beberapa orang yang “menganggap diri benar” serta “memandang rendah semua orang lain”.
Terasa adanya imbauan agar orang berani meninjau kembali gambaran tentang diri sendiri dan tentang sesama yang mewarnai hubungan dengan Tuhan dan, khususnya di sini, menentukan cara berdoa.
Orang Farisi dan pemungut cukai
Kedua tokoh dalam perumpamaan itu diceritakan sama-sama naik menuju ke Bait Allah “untuk berdoa”, untuk menghadap Yang Mahakuasa dan membuka diri kepada-Nya, bercerita kepada-Nya, menyampaikan beban batin kepada-Nya.
Satu hal sudah dapat kita peroleh dari kisah perumpamaan ini. Dia yang diam di tempat tinggi itu dapat didatangi. Dia ada di sana dan siap mendengarkan. Giliran bagi yang datang: apa yang dibawakan kepada-Nya itu sepadan dengan perhatian-Nya?
Marilah kita amati gerak-gerik orang Farisi itu. Ia memasuki Bait Allah dengan kepercayaan diri yang tebal dan penuh perhitungan.
Dikatakan dalam ayat 11, ia “berdiri dan berdoa dalam hatinya”. Dalam bahasa aslinya, maksudnya, ia “berhenti” di jalan masuk ke Bait Allah sambil merencanakan apa yang akan dikatakannya dalam doanya nanti. (Dalam teks Yunani, bentuk kata kerja “proseeykheto” dikenal sebagai imperfekt konatif, yakni bentuk untuk mengatakan perbuatan yang baru dirancang, belum terlaksana.)
Disusunnya pokok-pokok yang nanti didoakannya. Kata-kata yang disebut dalam ayat 11-12 sebetulnya belum sungguh diucapkannya sebagai doa. Baru “sketsa”-nya dalam pikirannya walau sudah jelas ke mana arahnya.
Ia bermaksud mengucap terima kasih kepada Yang Mahakuasa karena ia tidak bernasib sama dengan kaum pendosa. Ia merasa mendapat perlakuan istimewa dari-Nya sehingga tidak perlu menjadi perampok, penjahat, orang yang tak punya loyalitas, apalagi – boleh jadi sambil mengingat orang yang tadi dilihatnya – tidak seperti pemungut cukai yang mengkhianati bangsa sendiri dengan memeras bagi penguasa asing.
Dalam doanya nanti ia juga bermaksud mengingatkan Tuhan bahwa ia berpuasa dua kali seminggu dan mengamalkan bagi-Nya sepersepuluh dari semua penghasilannya. Ia merasa telah memenuhi semua kewajibannya.
Semua beres. Dan doa yang akan disampaikan nanti pasti akan menjadi doa yang meyakinkan Tuhan pula.
Begitu pikirnya.
Bagaimana dengan si pemungut cukai? Ia “berdiri jauh-jauh”. Ia juga berhenti, tapi berjauhan dari tempat orang Farisi tadi. Ia merasa tak pantas berada dekat dengan orang saleh itu. Apalagi mendekat ke Tuhan sendiri.
Apakah ia juga mau merencanakan sebuah doa? Sulit, ia bahkan tidak berani memandang ke atas. Gagasan menghadap Yang Mahakuasa membuatnya gentar. Tidak seperti orang Farisi yang penuh kepercayaan diri itu.
Meskipun merasa butuh menghadap ke Bait Allah, pemungut cukai itu tidak menemukan apa yang bisa disampaikannya nanti di sana. Ia tak punya apa-apa kecuali perasaan sebagai pendosa. Ia berulang kali menepuk dada dan minta dikasihani – ia yang pendosa itu.
Menurut sang Guru, pemungut cukai tadi pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Tuhan, tetapi orang Farisi itu tidak. Mengapa? Kiranya pemungut cukai tadi telah benar-benar berseru kepada Tuhan dan Ia menjawab.
Dalam seruannya ia menyediakan dirinya sebagai penerima belas kasih-Nya. Tidak demikian dengan orang Farisi tadi. Kemasan doa yang disiapkannya itu sarat dengan “aku…, aku…, aku….”.
Dirinya sendirilah yang menjadi pokok doanya. Tuhan semakin tidak mendapat tempat. Doanya mandul karena terlalu penuh dengan dirinya sendiri. Doa pemungut cukai itu kabul karena membiarkan diri dipenuhi belas kasih dari atas.
Pokok doanya ialah Tuhan sendiri. Pembaca boleh ingat akan doa yang diajarkan Yesus sendiri. Doa Bapa Kami dalam bahasa mana saja berpokok pada Bapa. Orang yang berdoa tidak pernah menjadi pokok kalimat di mana pun dalam doa itu.
Catatan Lukas
Lukas memberi catatan ringkas yang besar artinya pada awal petikan ini. Dikatakannya bahwa Yesus menyampaikan perumpamaan ini “kepada beberapa orang yang menganggap diri benar dan merendahkan semua orang lain”.
Kiranya di kalangan umat pengarang Injil itu ada sekelompok orang yang yakin bahwa dengan menjalani serangkaian tindakan kesalehan, mereka boleh merasa aman dan dekat kepada Tuhan. Tentu saja mereka ini bukan sekadar berpura-pura. Namun lambat laut timbul anggapan di antara mereka bahwa orang-orang lain jauh dari perkenan Tuhan.
Orang-orang itu dianggap patut dijauhi. Mereka semakin tidak diterima sebagai sesama. Pendapat ini menjadi cara mengadili orang lain, menjadi cara memojokkan orang yang tidak disukai. Menjadi cara menjatuhkan hukuman sosial.
Sulitnya kerap kali yang dicap demikian juga sudah pasrah menerimanya. Mereka merasa diri patut disingkiri. Syukurlah di dalam umat itu masih ada orang-orang yang mampu dan berani memikirkan apa hal ini boleh dibiarkan terus.
Apa kehidupan itu ya harus seperti itu? Apa Yang Mahakuasa juga memperlakukan orang demikian?
Mereka mencoba menerapkan bagaimana sikap Yesus Guru mereka dulu dalam menghadapi keadaan ini. Di situ terlihat ingatan akan Yesus dan ajarannya bukan hanya kenangan belaka melainkan Roh yang hidup dan mendewasakan batin.
Inilah suara hati yang makin bersatu dengan Roh Kristus yang hidup dalam batin orang, juga pada zaman ini.
Pada akhir perumpamaan itu Lukas juga masih menyertakan perkataan Yesus, “…siapa saja yang meninggikan diri, ia akan direndahkan dan siapa saja yang merendahkan diri akan ditinggikan” (ayat 14).
Kata-kata ini sudah pernah muncul dalam Luk 14:11. Di sana diterapkan kepada keinginan orang untuk mendapatkan kehormatan di mata orang. Sekarang dalam perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai ini, kata-kata tadi diterapkan kepada orang yang mau meninggikan diri di hadapan Tuhan.
Orang yang mencari kebesaran diri di mata orang banyak dan di hadirat Tuhan akan mengalami kekecewaan karena kenyataannya nanti jauh berbeda.
Penghargaan yang mereka rasakan itu semu, tak bertahan lama karena mereka akan digeser kalau ada orang lebih penting datang, atau keliru sama sekali karena Tuhan tidak terkesan oleh omongan mengenai persembahan persepuluhan, mengenai puasa dua kali seminggu, apalagi oleh kecongkakan batin yang merendahkan orang lain.Ikut menyampaikan Kabar Gembira
Kabar Gembira
Disarankan dalam ulasan mengenai orang yang berebut tempat terhormat di mata orang banyak (Luk 14:1.7-14) bahwa para murid diminta ikut mengusahakan tempat terhormat bagi sebanyak mungkin orang sehingga tidak hanya satu orang saja yang bakal mendapatkannya.
Perumpamaan itu tidak dimaksud untuk mencela keinginan mendapatkan tempat yang terhormat. Yang mau diajarkan ialah agar para murid tak tinggal diam melihat orang berebut tempat paling terpandang. Semestinya mereka mencarikan tempat terhormat bagi tiap orang karena bagi tiap orang ada tempat yang terhormat.
Bagaimana dengan perumpamaan orang Farisi yang mau mendapatkan kehormatan di mata Tuhan dengan merendahkan orang lain? Orang Farisi ini hanya melihat satu jalan saja mendapatkan perkenan dari atas. Ia sebetulnya membatasi kemerdekaan Tuhan.
Para murid dan orang banyak sudah tahu sikap itu bukan sikap yang terpuji. Walaupun demikian perumpamaan ini bukanlah perumpamaan untuk mencela belaka, atau perumpamaan untuk mengukur doa mana yang betul doa mana yang kurang baik.
Lalu? Yesus hendak mengajak berpikir bagaimana orang dapat sungguh mendapat perkenan Tuhan dan menjadi tinggi di dalam pandangan-Nya, bukan besar di mata sendiri atau di muka manusia.
Digambarkan dalam perumpamaan ini doa yang kabul dan doa yang mandul, doa yang tidak bisa didoakan dengan sungguh. Apa yang mesti dilakukan murid? Tentunya mereka diharapkan membantu orang-orang agar doa bisa sungguh didoakan.
Inventarisasi kebaikan diri sendiri bukan bahan doa yang pantas disampaikan ke hadapan Tuhan. Masakan doa penuh dengan aku begini, aku begitu, aku bersih, tak seperti kaum penjahat itu! Jadi, doa pemungut cukai itu doa yang lebih baik?
Marilah kita cermat membaca dan menafsirkannya. Tidak disebutkan demikian.
Yang dikatakan, orang seperti pemungut cukai itu tadi pulang ke rumah dibenarkan. Rasa-rasanya pemungut cukai itu pun masih butuh belajar berdoa. Mengakui diri pendosa satu hal, menjalankan hal yang mengatasi keterbatasan ini masih bisa dikembangkan. Dan para murid diminta juga membantu orang-orang yang seperti itu.
Murid-murid diutus memberi tahu mereka bahwa sikap mereka meminta belas kasih Tuhan itulah yang membuat hidup mereka berharga. Ini Kabar Gembira buat mereka. Bila orang-orang ini dapat mengalami Kabar Gembira lebih jauh, mereka pasti akan lebih berani mendekat kepada Dia yang Maharahim itu.
Banyak orang di masa kini dapat merasa apa itu hidup dalam kedosaan, apa itu takut pada Tuhan, tetapi kurang melihat bahwa Ia juga Tuhan yang penuh kerahiman. Dan murid-murid boleh merasa ikut bahagia diajak mengajarkan kerahiman-Nya seperti Yesus sendiri pernah mengajarkannya kepada orang banyak.
Salam hangat
A. Gianto