Rekan-rekan yang budiman.
Umat Perjanjian Lama meninggalkan tanah Mesir untuk memperoleh kemerdekaan di negeri yang dijanjikan kepada mereka (Kel 3:7-10; 6:5-7; Ul 26:5-9). Ada kalanya di tengah perjalanan mereka menyesali telah melepaskan tempat mereka biasa hidup sehari-hari demi sebuah negeri yang baru berujud janji itu (Kel 16:3). Dapatkah mereka sampai ke sana dengan selamat? Bagaimana melewati gurun gersang yang mengerikan ini?
Syukur semuanya telah terjadi. Dan pokok-pokok terpenting pengalaman di gurun tadi dikenang turun temurun dalam ibadat. Dipercaya pula bagaimana hari demi hari umat mendapat makanan langsung dari langit (Kel 16:12-35; bdk. Bil 11:7-8) sehingga mereka dapat berjalan terus.
Perjalanan di gurun tadi kemudian dipakai untuk membaca kembali pengalaman mengarungi kehidupan ini. Manakah tujuan hidup yang sesungguhnya? Bagaimana mencapainya? Masihkah Yang Maha Kuasa memberi makanan seperti dulu? Dalam cara apa?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bisa dianggap sepi, bisa dibesar-besarkan, tetapi dapat pula ditekuni dalam dialog batin. Bagaimana mengarungi gurun kehidupan ini dengan selamat sampai ke tujuan? Dalam hubungan inilah Yesus menampilkan diri kepada orang-orang sezamannya sebagai makanan bagi kehidupan yang turun dari surga.
Begitulah, bila orang mau menerimanya dan menyatu dengannya, kehidupannya akan dirasuki surga. Inilah yang ditampilkan dalam Yoh 6:51-58 yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XX Tahun B.
“Daging dan darah”
Yesus memakai cara bicara yang agak khusus, yaitu menyebut diri sebagai “anak manusia”. Ia juga merujuk pada semua tindakan, amal, kata-kata dan pelayanannya dalam hidupnya sebagai “daging” dan “darah”-Nya. Ungkapan ini menunjukkan betapa semuanya itu terpadu dalam kehidupannya. Jadi “daging anak manusia” sama dengan semua yang dijalankan Yesus dan diajarkannya. Dalam hubungan ini “makan” dan “minum” mengungkapkan kesatuan baik dengan yang disantap maupun dengan sesama penyantap.
Gagasan-gagasan ini diungkapkan dengan “makan dagingku” dan “minum darahku”.
Orang-orang Yahudi yang memperbincangkan pernyataan Yesus menyangkut “makan dagingnya” (Yoh 6:52) bukannya tidak menangkap maksudnya. Mereka tahu betul yang dimaksud ialah diri Yesus, hidupnya, pengabdiannya, ajarannya, apa saja yang dilakukan. Yesus mengajak mereka menerima semua itu sebagai bekal perjalanan manusia menuju hidup abadi. Tetapi sulit bagi mereka untuk mengiakannya.
Mereka juga memiliki tradisi panjang dalam agama mereka. Dan ia sekarang mau memancang kebijaksanaan turun-temurun tadi pada hal-hal yang diajarkannya sendiri? Memang ia pintar, ia mempesona, ia banyak pengikutnya, tetapi apakah semua yang dilakukannya dan diajarkannya itu sungguh dapat menjadi penopang perjalanan hidup ini? Klaim segede itu apa tidak keterlaluan? Jangan-jangan spiritualitas baru ini cuma mau memonopoli Yang Keramat.
Itulah kesangsian mereka. Itulah yang mereka perdebatkan. Bukan hanya perkara di dalam kepala saja. Jika kita ikut ajaran Yesus ini, risikonya besar. Kalau ternyata keliru, maka kita akan kehilangan yang telah kita punyai dari dulu. Mereka seperti leluhur mereka yang gundah ketika mulai menempuh perjalanan meninggalkan Mesir ke sebuah negeri yang baru berupa janji.
Dalam membaca petikan ini tak perlu kita bertolak pada anggapan bahwa orang-orang Yahudi dari awal bersikap memusuhi. Mereka sebetulnya ingin tahu apa dasar klaim sebesar itu.
Yesus pun menegaskan, “Sesungguhnya aku berkata kepadamu, jikalau kamu tidak makan daging anak manusia (dagingku dalam arti seperti dijelaskan di atas) dan minum darahnya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu…” Meskipun nada ay. 54 itu seperti mengulang-ulang yang pernah dikatakannya sendiri, di sini ditegaskan bahwa “daging dan darah anak manusia” dapat ikut dihidupkan dan dihidupi tiap orang yang bersedia menerimanya.
Yang dimaksud tentunya semua yang dilakukan dan diajarkan Yesus, pengusiran roh jahat, penyembuhan, ungkapan belas kasihnya kepada orang banyak. Inilah yang menjadi awal dari “hidup kekal” yang nanti bakal diperoleh dengan utuh pada akhir zaman, seperti ditandaskan dalam ay. 54.
Di rumah ibadah
Disebutkan dalam ay. 59, yang tidak ikut dibacakan hari ini, bahwa perkataan Yesus tadi diucapkannya sewaktu mengajar di sinagoga, yakni rumah ibadat orang Yahudi di Kapernaum. Jadi ia menyampaikan pengajaran kepada orang-orang yang datang beribadat dan mendengarkan sabda Allah menurut kepercayaan Yahudi dan kebiasaan turun temurun mereka.
Salah satu tema yang selalu muncul dalam doa dan penjelasan sabda di rumah ibadat ialah kehidupan umat dalam perjalanan ke Tanah Terjanji dan pemberian hukum Taurat di Sinai. Diingat kembali kisah pemberian makanan dari surga tiap hari, yakni manna (Kel 16:12-35), yang membuat umat dapat bertahan dalam perjalanan mencapai tujuannya. Selain itu juga ada kurban sembelihan di Sinai dengan recikan darah untuk meresmikan janji setia umat (Kel 24:5-8).
Dalam ibadat seperti itu seorang pembicara dapat mengolah pokok-pokok ini dengan menghubungkan dengan keadaan nyata. Semacam homili dengan aktualisasi. Itulah yang dilakukan Yesus pada waktu itu. Bisa ditengok pengajarannya di rumah ibadat di Nazaret yang menerapkan nubuat Yes 61:1-2 pada warta yang dibawakannya hari itu (Luk 4:21). Juga di lain kesempatan di rumah ibadat ia mengajar mengenai Kerajaan Allah (Mat 4:23 9:35).
Sebelum petikan bagi hari ini, dikisahkan bagaimana reaksi orang-orang Yahudi mendengar perkataan Yesus mengenai “roti kehidupan” (Yoh 6:25-50). Pada kesempatan itu ia menegaskan bahwa dirinya ialah makanan yang diberikan dari surga untuk menyambung hidup umat agar mencapai tujuan perjalanannya (ay. 51 yang dibacakan pada awal petikan).
Karena itulah orang-orang Yahudi memperdebatkan, apa maksud Yesus sebenarnya dengan pernyataan itu. (ay. 52). Dari konteks ini jelas perbincangan tadi sudah jadi bahan pembicaraan umum. Dalam hubungan inilah patut dipahami uraian Yesus di sinagoga di Kapernaum ini.
Di situ ia menerapkan pada dirinya gagasan bahwa Allah memperhatikan dan memelihara umatNya yang ada dalam perjalanan menuju ke Tanah Terjanji. Tidak semua pendengarnya setuju, tetapi mereka tertarik membicarakannya karena bahannya menyangkut masalah yang mereka kenal.
Komunitas awal
Keadaan para pendengar di sinagoga waktu itu tidak sama dengan umat yang datang ke gereja kini. Bagi mereka dulu, “makan daging dan darahnya”, yakni bersatu dengan kehidupan Yesus demi keselamatan, menimbulkan persoalan besar. Bagi pendengar di gereja, kehidupan Yesus yang dikurbankan bagi penebusan dan keselamatan orang banyak sudah menjadi pokok kepercayaan. Bagi orang dulu perspektifnya ialah berusaha mengerti dan percaya Bagi kita, masalahnya bukan lagi agar kita mau menerima iman itu, melainkan bagaimana kita dapat memahami hal-hal dalam terang iman.
Injil yang diperdengarkan hari ini sebenarnya tumbuh dari upaya komunitas awal, komunitas Yohanes, untuk menjelaskan makna perjamuan ekaristi yang sudah biasa mereka rayakan. Pengajaran Yesus mengenai dirinya sebagai makanan yang diberikan dari surga yang dapat membawa mereka sampai ke hidup abadi dalam Yoh 6:25-50 diterapkan pada Perayaan Ekaristi.
Pertanyaan dasar ialah apa arti ekaristi ini dan bagaimana “kita”, yakni orang-orang dalam komunitas Yohanes tadi boleh merasa lebih beruntung dari nenek moyang mereka. Maklum, komunitas ini berasal dari kalangan orang Yahudi yang saleh yang sadar akan nilai tradisi keagamaan leluhur mereka. Tetapi kini mereka juga berusaha menghayati ajaran Yesus yang membuat mereka makin dekat dengan Yang Maha Kuasa yang tak terjangkau itu.
Ibadat ekaristi menjadi tindakan sakramental bersatu dengan Yesus. Tindakan ini mengungkapkan tekad mereka untuk saling menunjang. Mereka merasa berpikir sejalan, sepengharapan. Ada komunitas. Bagi mereka, kehidupan yang dipelihara dengan ingatan bersama akan Yesus tadi ialah kehidupan yang nanti akan berlanjut tanpa akhir. Mereka sudah mulai menemukan kehadiran ilahi yang tak hanya dibataskan pada perjalanan ke Tanah Terjanji seperti nenek moyang mereka dulu.
Juga bagi kita orang zaman ini, Yang Maha Kuasa masih memberi makanan dan minuman agar orang dapat menempuh perjalanan hidup. Perjalanan ini penuh unsur yang tak terduga-duga, perjalanan ini penuh harapan tapi yang juga yang sering harus dititi dengan rasa sakit.
Di beberapa tempat di negeri kita sedang mengalami kesusahan akibat bencana alam dan malapetaka sosial. Kepercayaan akan kebesaran Yang Maha Kuasa akan membuat orang makin tabah. Juga dalam keadaan sulit kita masih “diberi makan dan minum dari langit”. Akan diperoleh makanan yang sama, minuman yang sama, kehidupan yang sama yang telah diperoleh Yesus dari atas sana. Bukan hanya bagi kepentingan perorangan saja, melainkan dalam ikhtiar bersama untuk memperbaiki keadaan, dalam mengatasi kesulitan, dalam saling menguatkan. Dan solidaritas sakramental ini dapat menjadi kekuatan untuk berjalan terus sampai ke sana, ke tempat yang telah dicapai Yesus sendiri.
Salam hangat, A. Gianto