REKAN-rekan yang budiman.
Kali ini, Injil Markus menampilkan kisah unik: penyembuhan orang tuli. Hanya dalam Injil Markus sajalah peristiwa ini disampaikan.
Dalam petikan Mrk 7:31-37 (hari Minggu Biasa XXIII tahun B) ada beberapa hal menarik yang kurang begitu saya pahami. Karena kekurangan waktu untuk membalik-balik komentar Injil, saya bujuk saja Mark menerangkan makna kisah penyembuhan ini. Ia biasanya pendiam dan tak banyak kata, tapikali ini ia suka bercerita dan tidak keberatan suratnya saya teruskan kepada kalian.
Teriring salam dari refter Kanisius
A. Gianto
——————–
Gus yang baik.
Memang benar Yesus banyak melakukan penyembuhan, tetapi memang baru di sinilah kusampaikan peristiwa penyembuhan orang tuli. Dan hanya akulah yang menyampaikan kisah penyembuhan dari ketulian. Memang Matt menyebut mengenai penyembuhan pelbagai orang sakit, termasuk orang bisu (Mat 15:29-31 tidak eksplisit disebut tuli, tapi orang jadi bisu biasanya karena tuli).
Oleh karena itu, para ahli zaman modern biasa menduga bahwa aku hanya membuat-buat kisah itu. Kuharap kau tidak beranggapan demikian kan? Aku mendengar dari sumber-sumber tepercaya yang menyaksikan kejadian itu sendiri dan mengisahkannya berkali-kali.
Mereka juga ingat kejadian itu bertempat di dekat Danau Galilea. Demi gampangnya maka kujelaskan pada awal bahwa Yesus sedang dalam perjalanan balik dari Tirus di pesisir Lebanon selatan sekarang ke kota-kota sekitar danau Galilea tempat ia banyak dikenal. Tapi memang dari Tirus ia ke utara dulu, ke Sidon, juga pesisir, dan dari sana
kembali lewat daerah sepuluh kota, yaitu Dekapolis, dan sampai ditempat orang bisu itu dibawa ke hadapannya.
Kalau sukar dibayangkan, gini saja, barusan kulihat peta Pulau Jawa di Internet. Bayangkan Yesus itu dulunya giat di sekitar Ambarawa-Salatiga, tuh di sekitar Rawa Pening (anggap saja ini wilayah Galilea), tapi ia kan pernah diminta pergi dari Galilea (Mrk 5:1-20, terutama ay. 17) ke Tirus, (Mrk 5:24) bayangkan saja Semarang, maksudnya incognito, tapi di situ seorang ibu-ibu Yunani keturunan Siro-Fenisia malah minta dia menyembuhkan anak perempuannya yang kerasukan setan (Mrk 7:24-30).
Tentu Yesus tidak berniat berlama-lama di Tirus/Semarang, dan memutuskan kembali ke Galilea/sekitar Rawa Pening. Tapi kebetulan ada yang mengajaknya ke Sidon yang tak jauh dari sana, kayak ke Weleri, bawa satu blèk rambak petis buat oleh-oleh, dan dari sana di balik ke wilayah Ambarawa-Salatiga/Galilea, tapi tidak lewat jalan biasa, melainkan memutar lewat sebuah Gua Maria, Sukorejo, Parakan, Candi Umbul dst. (anggap saja seperti Dekapolis). Sebelum sampai kembali di Ambarawa ia dihentikan orang-orang yang membawa seorang pasien tuli.
Rada jelas?
Kurasa penting kisah perjalanan ini diceritakan karena menggambarkan bagaimana perjalanan Yesus itu sebuah ziarah yang semakin membentuk sikap batinnya yang khas: memberi isi nyata pada kata “kehendak Allah”.
Pengabdiannya pada kemanusiaan, tak peduli apa haluan kepercayaannya seperti ibu-ibu tadi, ialah untaian manikam kenyataan apa itu kehendak Bapanya. Inilah yang membuatku terkesan dan merasa perlu menyampaikannya kepada kalian orang sekarang.
Lagipula, kota Tirus dan Sidon itu letaknya di wilayah amat pinggiran lingkup masyarakat Yahudi. Di sana orang dianggap tak menghiraukan sisi-sisi rohani dan hanya mementingkan materi. Maklum keduanya kota perdagangan yang tua, kayak Semarang dan Weleri kalian itu. Tapi wilayah seperti itu tidak dilupakan Tuhan, malah ia semakin menemukan diri di sana.
Ini termasuk Mysterium Christi yang bikin orang mau tahu lebih tentang Sang Mesias. Sarjana-sarjana kan beranggapan bahwa tulisanku menitikberatkan perkenalan pada misteri ini.
Sekarang ada yang lebih menarik dari pelajaran geografi tadi. Terus terang kisah mengenai penyembuhan orang tuli ini mesti dibaca atau paling tidak dibayangkan bersama dengan kisah penyembuhan orang buta (sering dikenal dengan nama Bartimeus) di Betsaida (Mrk 8:22-26). Kau sendiri pernah menulis tentang si buta itu kan? Kesembuhan si tuli dan si buta ini ada makna simboliknya.
Mereka jadi sembuh ketika berjumpa dengan Yesus yang tak terduga-duga di tengah perjalanannya, di tengah ziarahnya menemukan kehendak Bapanya. Kesembuhan mereka itu ialah kesembuhan dari ketulian dan kebutaan mengenai siapa sebetulnya Yesus ini.
Kisah ini kumaksudkan bagi orang banyak, yang ada di situ dan yang ada di mana saja Injil ini terbaca. Hendaknya mereka mengerti bahwa perjumpaan dengan Yesus sang pejalan ini membuka gerbang telinga dan pintu mata. Ketulian sesenyap apapun dan kebutaan segelap apa pun tak bisa menahan suara dan terang yang keluar dari diri Yesus.
Dalam kisah penyembuhan orang tuli ini ada orang banyak yang membantu si tuli untuk bertemu dengan Yesus dan meminta agar ia menumpangkan tangan menyembuhkannya. Nanti dalam kisah orang buta, orang banyak agak menghalangi, tapi si buta itu terus bertekad mau mendekat.
Seperti di mana saja dan kapan saja, orang banyak sering tak jelas mau apa dan ke mana. Maka dari itu, mereka juga diajak mendengar dan melihat. Kita ini kadang-kadang mirip orang banyak juga. Tapi untung ada orang tuli dan orang buta tadi. Kita bisa melihat yang terjadi pada diri mereka dan belajar dari mereka.
Sekarang perhatikan sikap dan tindakan Yesus dalam penyembuhan orang tuli itu. Ia memisahkannya dari kerumunan orang banyak sehingga hanya mereka berdua sendirian saja. Di situ terjadi penyembuhannya. Ia mau agar yang pertama-tama didengar orang tuli itu nanti ialah suara yang dibawakannya, bukan kasak kusuk orang banyak yang untuk sementara dijauhkannya.
Kita tak tahu semua seluk beluk yang terjadi ketika mereka sendirian. Tentu si tuli tadi kemudian bercerita dan dari sana kita agak tahu bahwa Yesus memasukkan jarinya ke telinga orang itu, meludah dan meraba lidah orang tadi.
Kayak penyembuh paranormal ya? Tapi lebih penting lagi, kemudian sambil menengadah ke langit, ia mendesah dan berkata, dalam bahasa Aram, “Efata!” artinya “Terbukalah!”
Dari bentuk Aramnya, Gus kau tahu Aram lebih baik dari padaku, perintah itu ditujukan kepada dua telinga yang dimasuki jarinya. Perintah kepada telinga yang menutup diri kuat-kuat.
Perhatikan, Yesus mendesah. Ya, mendesah, mengerang kayak orang yang sedang kena kesakitan. Aku tak tahu banyak mengenai dunia itu, tapi sumber yang kupakai jelas-jelas memaksudkan Yesus seperti sedang menahan sakit. Bukankah kedua jarinya ada di telinga orang itu.
Ada pergulatan antara kekuatan yang menolak sang Sabda dengan Sabda yang mendatanginya. Dan disertai kesakitan dari Sabda itu. Juga ia menyentuh lidah orang tadi. Bayangkan saja, ibu jarinya menyentuh lidah orang tadi.
Juga ada pergulatan antara lidah yang dikuasai kekuatan yang membisukan melawan dia yang membuat orang berani bersaksi. Yesus juga meludah. Kekuatan jahat dari telinga yang diambilnya itu masuk ke dalam badannya, badan Yesus sendiri, dan kini diludahkannya dan dibuangnya keluar.
Gus jangan mulai tersenyum membaca uraian ini, aku sendiri juga heran. Memang Yesus bertindak seperti penyembuh paranormal zaman itu. Tapi satu hal tak bisa kulewatkan: Yesus menengadah (Mrk 7:34). Ia mengarahkan diri ke langit. Dulu ketika ia dibaptis ia melihat langit terbuka dan saat itulah ia mendengar suara dari sana (Mrk 1:9-10):
“Engkaulah AnakKu yang terkasih, kepadamulah Aku berkenan.”
Pengalaman ini tak pernah lepas dari dirinya. Kini ia menengadah menghadirkan kembali kekuatan perkenan dari atas dan menyalurkannya ke dalam telinga dan lidah orang bisu tuli tadi. Adakah kekuatan lain yang dapat menahan suara dan perkenan dari langit yang terbuka tadi? Yesus bukan penyembuh biasa, ia meneruskan perkenan yang meraja di dalam dirinya kepada siapa saja yang mendekat padanya. Ia juga sanggup ikut merasakan penderitaan batin dan fisik orang yang sakit.
Mungkin kau akan bertanya-tanya mengapa Yesus menyuruh orang banyak merahasiakan kejadian tadi. Tapi makin dilarang, mereka malah makin memberitakannya.
Aneh, di sini yang dilarang ialah orang banyak, jadi berbeda dengan yang terjadi dalam penyembuhan orang kusta (Mrk 1:44). Larangan itu sebenarnya untuk menghimbau agar orang tidak mengobral cerita sehingga maknanya jadi buyar, jadi kisah penyembuhan dan penumpangan tangan semata-mata.
Banyak orang akan berbondong-bondong minta ditumpangi tangan. Tidak enak! Kesembuhan itu hasil sampingan dari kejadian yang lebih dalam yang aku sendiri tidak tahu tapi percaya ada. Orang-orang diminta mengendapkan pengalaman melihat peristiwa itu dan menemukan artinya.
Baru bisa omong. Sayang mereka tak sabar, maka Yesus ketika itu makin dikenal sebagai penyembuh saja, bukan terutama sebagai Anak terkasih Dia yang ada di surga dan mendapat perkenan-Nya. Ini baru kusadari ketika menuliskan semuanya.
Gus coba terangkan kepada rekan-rekan perkara ini. Juga ada hubungannya dengan kebangkitan Yesus nanti. Orang boleh mulai cerita banyak mengenai tindakan, pengajaran, penyembuhan yang dilakukan Yesus setelah ia nanti ditinggikan di salib.
Setelah diakui bahkan oleh kepala pasukan di Golgota dengan kata-kata ini: “Sungguh, orang ini Anak Allah!” (Mrk 15:39).
Dan itulah yang diwartakan tentang Yesus Kristus, dan itulah yang memberi arti lebih kepada semua tindakannya, penyembuhannya, dan pengajarannya. Dan itulah realitas kebangkitannya: Ia sungguh Anak Allah.
Katanya sedang di Jakarta ya, memberi kuliah tamu linguistik ya? Cuti dari eksegesis.
Salam saja buat rekan-rekan yang tahun ini mencoba mengerti yang ingin kusampaikan dalam kisah-kisah tentang Yesus Sang Mesias.
Salam hangat, Mark