Umat beriman Ukraina
Presiden Rusia Vladimir Putin dan para pengikutnya percaya bahwa penganut Kekristenan Ortodoks Rusia di Ukraina harus diselamatkan.
Itu karena sebagian Gereja di wilayah Ukraina telah memisahkan diri dari mereka beberapa tahun lalu.
Kristina Stoeckl mengatakan:
“Gereja dan Kremlin menyajikan soal ini sebagai masalah hak asasi manusia. Seolah-olah kebebasan beragama orang Ukraina yang ingin menjadi bagian dari Gereja Ortodoks Rusia telah dipertaruhkan.
Yah, saya berada di Ukraina tahun 2019. Memang di sana-sini ada konflik di kalangan jemaat-jemaat. Tetapi sebenarnya, saya pun terkesan dengan betapa damainya semuanya itu telah berlangsung.
Tidak ada masalah besar. Dan tentu saja, juga tidak ada yang membutuhkan pasukan untuk menyelesaikannya.”
Stoeckl lalu melanjutkan.
“Masalah hak-hak asasi itulah dalih palsu. Di Donbas (yang sejak 2014 telah memisahkan diri) yang terjadi sebaliknya: hak-hak umat beriman yang bukan Ortodoks Rusia telah dilanggar.”
Putin dilihat sebagai pembela agama Kristen tidak hanya di negaranya sendiri. Demikian kata Kristina Stoeckl.
Bahkan golongan Kristen konservatif di Eropa dan di Amerika Serikat juga sampai melihatnya seperti itu.
Mereka ini kalah perang budaya di dalam negerinya sendiri. Dan, seperti Putin, melihat Eropa sebagai hegemoni liberal yang harus dihentikan.”
Pertanyaan-pertanyaan besar
Buku baru Kristina Stoeckl akan segera diterbitkan. Bukunya bicara tentang ‘perang-perang budaya global’. Juga tentang apa yang dapat diperoleh darinya oleh Rusia.
Tapi sejak pekan lalu, Kristina Stoeckl punya pertanyaan-pertanyaan besar.
“Ini sangat aneh: Putin telah memiliki begitu banyak soft power dengan ide-idenya ini.
Semua populis memujanya. Tapi dia menukar semuanya dengan ilusi hard power yang tidak akan dia dapatkan.”
Mengapa Gereja Ortodoks Rusia atau Patriark Kirill menginginkan hal seperti ini?
Menurut Prof. Hovorun, Patriark Kirill sendiri tidak terlalu percaya dengan narasi tersebut, tapi narasi itu sangat menguntungkannya.
“Saya melihatnya seperti ini: Putin membutuhkan sebuah ideologi dan Gereja menawarinya, menjualnya sebagai produk intelektual. Dengan imbalan dana dan hal-hal lain yang ada pada daftar keinginan mereka.”
Amandemen konstitusi yang muncul atas permintaan Gereja adalah: legislasi yang melarang relasi-relasi gay dan juga penistaan agama.
Hovorun: “Masalahnya adalah bahwa semuanya itu menggiringnya ke dalam perang ini”.
Cinta kasih
Prof. Hovorun dengan sedih melihat dari kejauhan bagaimana orang-orang itu telah memanipulasi agama.
“Putin menampilkan dirinya sebagai orang beragama ortodoks, tetapi dia tidak pernah menganjurkan untuk mengasihi sesamanya. Sudah jelas: ini bukan ortodoks.”
Bagaimana pun, narasi religius-nasionalistis Kremlin dan Gereja belum tentu mengandung iman yang mengakar. Kebanyakan orang di Rusia yang menyebut diri mereka Ortodoks tidak percaya pada Allah.
Hovorun melanjutkan.
“Mereka telah merancang suatu kekristenan budaya. Misalnya, diktator dari negara Belarusia yakni Lukashenko telah berulang kali menyebut dirinya “ateis Ortodoks.”
Mereka memperjuangkan identitas budaya. Hal itu juga membuat narasi ini cocok bagi Muslim Rusia.
Pemimpin Chechnya, Ramzan Kadirov, juga telah mengirim pasukannya ke Ukraina.
Dia dan Putin percaya pada hal yang sama: perang melawan Barat yang jahat. Dan setan itu harus dilawan di Ukraina.”
Bagi Kristina Stoeckl, masih menjadi misteri mengapa Gereja Ortodoks Rusia begitu terlilit masuk dalam jeratan negara. Bukannya mereka tidak punya pilihan. Demikian katanya.
“Bagaimana pun, itu bukan keharusan demi pertahanan diri. Itu bukan satu-satunya cara bagi Gereja untuk bertahan hidup, seperti yang terlihat di masa Soviet ketika Gereja sangat ditindas.
Menurut saya, kesalahannya terutama kurangnya imajinasi tentang apa Gereja itu sesungguhnya bisa wujudkan.”
Ribuan rohaniwan
Beberapa tahun terakhir, Kristina Stoeckl telah melihat, sama seperti Hovorun, bagaimana banyak orang yang sedikit lebih progresif dan berpikiran bebas telah kehilangan tempat kerja mereka di dalam Gereja Ortodoks Rusia.
Ia tidak berani mengatakan apakah surat terbuka dari para rohaniwan akan berpengaruh. “Itu betul merupakan sesuatu yang sangat istimewa.”
Namun dibandingkan dengan ratusan rohaniwan yang sudah menandatangani petisi itu, tetap ada ribuan lain yang belum (bersedia) memberikan dukungannya.
Kristina Stoeckl: “Lagi pula, bahasa surat itu terkesan sangat hati-hati: siapa yang bertanggung jawab atas perang ini tidak disebut dengan jelas.”
Jika Gereja Ortodoks Rusia tetap diam, konsekuensinya akan sangat besar. Demikian kata Kristina Stoeckl.
“Sekarang, relasi antara Patriark dan Kremlin jelas ada dan mereka tidak bisa keluar darinya. Itu akan menjatuhkan mereka berdua.
Gereja telah kehilangan banyak kredibilitasnya. Patriark Kirill ingin Gereja mendukung Kremlin. Tapi sekarang Rusia mengobarkan perang melawan umatnya sendiri dan ia tidak melakukan apa-apa.”
Teologi dan fasisme
Ini bukan pertama kalinya dalam sejarah bahwa ideologi nasionalis bisa saling terkait dengan gagasan teologis. Demikian kata Prof. Hovorun.
“Setelah Perang Dunia I dan ketika Nazisme dan Fasisme mulai muncul di Eropa, banyak teolog terjerat dalam ideologi itu. Apa yang kita lihat sekarang di Rusia: Putin adalah simbol atas bangkitnya kembali euphoria sama tahun 1930-an.
Sangat mirip dengan Benito Mussolini yang juga berkuasa atas dasar bahwa Italia saat itu hanya tinggal merupakan sebuah negara kecil yang telah dipermalukan. Maka, dia ingin mengembalikan keagungan Kekaisaran Romawi.
Mussolini juga suka berpose dengan bertelanjang dada; sama seperti Putin. Dan waktu itu, Gereja-gereja juga antusias mendukungnya. Demikian pula, Gereja Ortodoks Rusia sekarang mendukung rezim kuasi-fasis. Atau mungkin bahkan murni fasis ini, meskipun saya mungkin mengungkapkannya dengan sangat kuat sekarang.”
Hovorun juga berpegang teguh pada masa lalu itu untuk mencari jalan keluar.
Prof. Hovorun lalu menganjurkan “de-Putin-isasi” Gereja.
“Sama seperti teologi di Eropa Barat setelah Perang Dunia II juga mengadakan de-Nazi-fikasi, setelah di-Nazi-fikasi lebih dahulu (misalnya, Yesus dikatakan bukan orang Yahudi).”
Kepala Gereja Ortodoks Ukraina yang independen, Metropolitan Epiphanius, pekan lalu membandingkan Putin dengan Antikristus.
Prof. Hovorun sendiri juga pernah menggunakan kata-kata demonis yang begitu besar.
Di tahun 2015 silam, ia pernah menggunakan istilah Antikristus untuk presiden Rusia. Ia masih tetap berpikir demikian, tegasnya.
“Ini bahasa yang kuat, tapi itu satu-satunya cara yang membantu membangunkan orang-orang beragama yang terinfeksi oleh propaganda itu. Hanya dengan cara ini kamu bisa mematahkan mantra mereka.”
Harapan
Setelah narasi dari Gereja dan Putin telah diterjemahkan ke dalam tindakan, Hovorun berharap akan mulai timbul kesadaran.
“Perang telah menunjukkan bahaya dari narasi itu. Dan untuk melanjutkan perbandingan saya dengan Jerman tahun 1930-an, hanya sedikit orang yang menentang Nazi. Baru sesudah perang, dukungan untuk narasi itu menjadi topik besar dan orang ingin melepaskannya.”
Sebenarnya sudah terlambat, katanya.
“Sekarang sudah ada perang, dan orang-orang sekarat karena ide-ide itu. Tidak ada yang tahu berapa banyak orang lagi yang akan mati. Dan apakah Putin akan menggunakan senjata nuklir.
Pertanyaannya adalah apakah kita akan bertahan hidup terhadapnya. Jika ya, hal pertama yang perlu kita lakukan adalah memastikan bahwa kita tidak membiarkan ini terjadi lagi.”
PS:
- Naskah artikel ini aslinya berbahasa Belanda dan diterjemahkan oleh MHR.
- Sumber:
https://www.trouw.nl/religie-filosofie/hoe-poetin-religie-tot-wapen-smeedt-en-de- russisch-orthodoxe-kerk-hem-daarbij- helpt~bc597da3/?utm_source=TR&utm_medium=email&utm_campaign=20220304% 7Crelfil&utm_content=Hoe%20Poetin%20religie%20tot%20wapen%20smeedt&utm_t erm=206468&ctm_ctid=9b82fc20e3eaba776a4581b9a0dd99e5