MESKI banyak balutan duel kung fu, namun sejatinya keindahan film laga serial Ip Man 3 justru bukan terletak di situ. Melainkan, pada hemat saya, tertuju pada dimensi kontradiktif antara dua jenis spirit yang sering menyetir manusia pada umumnya: keserakahan dan kesederhanaan. Duel menawan menawan antara Master Ip Man (Donnie Yen) dan penantangnya Cheung Tin-chi (Zhang Jin) mencerminkan elemen penting ini.
Karena haus akan ketenaran dan kemudian butuh uang, maka pesilat tangguh Cheung menjadi serakah. Ia ingin menjadi pesilat nomor wahid, pewaris tunggal seni bela diri kung fu aliaran wing chun.
Karenanya, dirinya selalu merasa tak ‘nyaman’, ketika dunia persilatan Hong Kong masih memandang Ip Man sebagai guru (master) pesilat paling tangguh sekaligus pemegang ‘lisensi murni’ yang diakui publik. Ketika uang mulai merasuki jiwanya dan kemudian menguasai hasratnya akan ketenaran, maka yang terjadi kemudian tersanderalah Cheung oleh nafsu tak terkendali untuk berkuasa. Ini persis sama seperti pernah dibesut oleh filosof Friedrich Nietsche manakala bicara tentang nafsu manusia untuk berkuasa (the will to power).
Persis, di garis yang berbeda, berdirilah Master Ip Man lengkap dengan kesederhanaan dan kerendahan hatinya. Dua hal ini membuatnya bahagia, meski di titik-titik tertentu sering membuat istrinya yang semampai nan cantik Cheung Wing-sing (Lynn Hung) menjadi kecewa lantaran sering ingkar janji dan tak menepati waktu.
Maka ketika Cheung Wing-sing dirundung sakit serius karena tumor dan akhirnya meniti hari-harinya yang sakit karena kanker ganas, Ip Man berusaha ‘hadir’ memberi kekuatan kepada pasangan hidupnya. Yang menarik, Ip Man mampu mengekang hasratnya untuk tenar dan menyediakan dirinya hadir menyertai istrinya yang menderita sakit.
Sakit tapi bahagia
Bukan istri namanya kalau tidak paham akan kebutuhan batin suaminya.
Cheung Wing-sing yang tengah sakit serius tahu benar, bahwa jiwa ksatria Ip Man ikut tersedak ketika secara sepihak Cheung Tin-chi “memproklamirkan” dirinya sebagai pesilat wahid nomor satu dan pewaris tunggal seni bela diri aliran wing chun. Karenanya, meski sakit, ia dengan bahagia mengantar suaminya berduel menanggapi tantangan Cheung Tin-ci.
Sakit, namun bahagia. Tapi juga dirundung kecemasan akut, kalau-kalau Ip Man – suaminya— kalah melawan Cheung Tin-chi dalam duel penentuan siapa sesungguhnya pendekar silat paling joss di panggung seni bela diri aliran wing chun.
Harap tahu saja, baik Ip Man maupun Cheung Tin-chi ternyata sama-sama satu perguruan. Karena perjalanan waktu, mereka saling tak kenal hingga kemudian terpaksa saling kenal karena kedua anak lelaki mereka berkelahi di sekolah.
“Roh jahat” vs. “Roh baik”
Duel menawan angtara Ip Man dan Cheung Tin-ci untuk menentukan juara aliran wing chun inilah yang kiranya menjadi “intisari” dari prolog di atas: problem manusia mengatasi “roh jahat” dan keberhasilan orang menyetir hidupnya berdasarkan “roh baik”. Cheung Tin-chi yang sudah telanjur terbakar nafsu untuk berkuasa akhirnya kalah tarung, justru ketika Ip Man dalam posisi limbung karena matanya kena colok, namun pendengarannya malah menjadi super sensitif untuk menangkap gerakan cepat jurus tinju lawannya.
Keheningan batin dan keweningan jiwa Ip Man mampu menembus kecepatan jurus tinju Cheung Tin-chi dan kemudian mendaratkan pukulan bertenaga langsung mengunci titik-titik syaraf bagian dada lawan. Habis sudah perkelahian ini dan tanpa publikasi hebat, Ip Man tetaplah menjadi pewaris tunggal dan pesilat nomor wahid aliran seni bela diri wing chun.
Hasrat atau nafsu untuk berkuasa juga tampil sempurna pada sosok Ma King-sang (Patrick Tam), murid yang mursal karena ingin menjadi tenar dan kaya melalui jalan tikus tak terhormat. Untuk itu, ia perlu mengabdi pada sosok imperialis bule yang tersaji pada sosok kepala polisi Hong Kong yang korup dan koleganya dari Barat sebagaimana muncul dalam diri Frank (Mike Tyson).
Tapi jangan terlalu fokus pada Mike Tyson. Di film Ip Man 3 ini, petinju yang pernah bertindak ‘horor’ dengan menggigit kuping Evander Hollyfield ini hanya muncul sekelebatan saja. Kalau pun menarik, maka lihatlah bagaimana tinju ala Barat tetap tak mampu menandingi kecepatan jurus mematikan bidikan Ip Man saat keduanya adu kekuatan untuk menentukan siapa yang lebih hebat.
Di Hong Kong yang mulai ke-Barat-baratan, ternyata masih ada sosok polisi sederhana yang adil dan tak korup. Ini muncul pada sosok Sersan Polisi Fatso (Kent Cheng) yang sering diplesetkan sebagai “Gemuk” saking gendut perawakannya.
Bruce Lee
Lalu apa yang menarik lagi dari Ip Man 3, selain duel fisik dan pertarungan kekuasaan antara “roh jahat” (nafsu berkuasa) dan “roh baik” (keheningan, wening, dan sederhana)? Dari perspektif sejarah, Ip Man 3 menjadi sangat menarik karena di situ muncul sosok Bruce Lee (Danny Chan) saat dirinya masih remaja yang ingin berguru pada Master Ip Man.
Sebagaimana tahu, dalam dunia ‘persilatan’ perfilman Hong Kong, justru almarhum jagoan kung fu legendaris Bruce Lee inilah yang kemudian mengangkat pamor kung fu sebagai suguhan menarik di layar seluloid. Berkat penampilannya dalam beberapa film bertema kehebatan kung fu seperti Enter the Dragon (1973), industri perfiman Hong Kong naik pamor dengan mengangkat serial laga kung fu sebagai sajian menu utamanya. Lihat saja pertarungan gagah antara Tinju dari Selatan dan Tendangan dari Utara sebagaimana tampil dalam film lawas nan menawan Secret Rival (1977), meskipun di sini Bruce Lee tidak muncul.
Kematian Bruce Lee hingga sekarang masih menyisakan misteri. Bruce Lee adalah orang Amerika namun lahir dari pasangan orangtua asli Hong Kong.
Film Ip Man 3 dibuka dengan sesi penampilan Bruce Lee saat masih muda sok arogan yang ingin melamar jadi murid Master Ip Man. Namun karena salah mengerti, ia justru meninggalkan Ip Man. Padahal sejatinya, Ip Man mempersilahkan masuk bergabung.
Spiritualitas kehidupan
Kembali pada soal pertarungan “spiritualitas” kehidupan antara “roh baik” dan “roh jahat” di atas. Saya pikir, keputusan Master Ip Man merawat istrinya yang sakit daripada meladeni tantangan Cheung Tin-chi adalah soal “rasa” kebatinan yang tepat dan benar. Mana yang lebih berharga, tarung demi popularitas atau menyediakan diri hadir untuk rekan sejiwanya yang sakit? Ini soal diskresi atau proses pengambilan keputusan secara tepat dan benar.
Lalu, kemana nurani jiwa seorang ksatria seperti Cheung Tin-chi ketika dirinya membiarkan ‘kalah’ oleh sogokan uang hanya demi memuasakan hasratnya untuk berkuasa dan menjadi tenar. Lagi-lagi, ini soal diskresi. Ia memilih keputusan yang ‘salah’, setidaknya secara moral karena mengalahkan nurani hanya demi meraih peluang untuk tenar. Padahal, jauh sebelumnya, Cheung Tin-chi adalah sosok pendekar sejati.
Sebagai penarik becak ala Hong Kong, ia geram melihat ketidakadilan saat anak buah begundal preman lokal mengobrak-abrik sekolah dasar tempat anaknya sekolah. Ia juga geram ketika para preman anak asuh begundal ini menculik anaknya dan juga anak Ip Man dan kemudian menyandera mereka. Namun, sejurus kemudian, ia menjadi ‘kejam’ tanpa ampun mengeksekusi guru kung fu Tin hanya karena pengaruh uang, hasil sogokan begundal preman ini.
Nah, film Ip Man 3 menjadi sangat menarik kalau dilihat dari perspektif spiritualitas semacam ini. Yakni, bahwa pada akhirnya yang menentukan kualitas hidup itu bukan soal kaya-miskin, namun pilihan atas hidup itu sendiri. Dan Master Ip Man mengajari hal itu, sekalipun berangkat dari kealpaannya merawat luka batin istrinya.