Renungan Harian
15 Februari 2021
Bacaan I: Kej. 4: 1-15. 25
Injil: Mrk. 8: 11-13
SEORANG bapak bercerita tentang pergumulan hidupnya, saat saya mengunjungi rumahnya.
“Romo, hidup saya itu dipenuhi dengan iri hati; saya merasa kurang beruntung dibandingkan dengan teman-teman lain. Saat teman-teman bisa main sepeda, ke sekolah naik sepeda, saya hanya bisa melihat, kapan aku bisa naik sepeda. Di sekolah saat teman-teman jajan, saya hanya melihat menelan ludah, sembari menahan perut yang berontak minta diisi.
Romo, akhir semester, teman-teman pulang dengan bangga membawa rapor, saya tidak pernah, saya hanya boleh melihat sebentar rapor saya, karena saya menunggak uang sekolah. Bahkan ijazah dan raport SMA bisa saya bawa pulang, setelah bapak menjual kambing upah memelihara kambing tetangga.
Saya iri dengan teman-teman yang mulai bicara tentang kuliah dan mendaftarkan diri untuk kuliah; boro-boro untuk biaya kuliah untuk makan setiap hari pun orangtua saya sudah kesulitan.
Romo, hidup saya sungguh penuh dengan iri hati. Setiap kali berdoa saya bertanya kepada Tuhan mengapa saya tidak bisa seperti teman-teman.
Tetapi iri hati saya tidak membuat saya menjadi jahat dengan teman-teman atau menyesal dilahirkan dalam keluarga yang miskin. Iri hati saya justru memacu saya untuk berjuang agar suatu saat saya sukses, sehingga bisa membahagiakan orangtua, adik-adik dan keluarga saya.
Selepas SMA saya menjadi pembantu rumah tangga. Pekerjaan saya bebersih rumah, kebun dan kendaraan. Saat saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, saya minta izin pada majikan saya untuk ikut kuliah sore.
Puji Tuhan romo, saya boleh kuliah sore bahkan saya diberi biaya hingga lulus. Saya tidak pernah malu dengan siapapun, karena saya berniat mengubah nasib saya dan keluarga saya.
Romo, kalau saya sekarang bisa seperti ini, bisa membiayai kuliah adik-adik dan “mementaskan” adik-adik semua sebenarnya sumbernya dari rasa iri hati saya.
Saya bersyukur bahwa rasa iri hati yang ada di dalam diri saya justru menuntun saya untuk sampai seperti sekarang ini,” bapak itu mengakhiri kisahnya.
Iri hati pada dirinya adalah tidak baik, karena iri hati berpotensi menimbulkan kejahatan dan dosa.
Banyak kasus kejahatan bersumber dari iri hati. Namun apakah iri hati yang berpotensi menimbulkan kejahatan dan dosa itu menjadikan seseorang jahat dan berdosa amat tergantung pada keputusan orang tersebut dalam memilih tindakan.
Bagaimana seseorang menggunakan kebebasannya itulah yang menentukan.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Kejadian, Kain yang iri hati terhadap adiknya Habel sebenarnya sudah diingatkan bahwa iri hati itu berpotensi membawa dirinya pada kejahatan dan dosa; akan tetapi karena tidak mengindahkan dan tidak mampu menguasai diri maka potensi itu menjadi tindakan kejahatan dan dosa.
“Jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu. Dosa itu sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.”
Bagaimana dengan aku?
Mampukah aku menguasi diri dan mengolah potensi kejahatan dalam diriku tidak menjadi tindakan kejahatan tetapi menghasilkan rahmat?