MARI kita andaikan saja bisa ditarik garis lurus dari Kota Kinanalu (KK) di Negeri Sabah, Malaysia Timur di bagian utara Pulau Kalimantan menuju Manado di wilayah utara Pulau Sulawesi. Lagi, andaikan saja bisa mengikuti garis lurus dari KK menuju Kota Nyiur Melambai –sebutan akrab untuk Kota Manado—ada rute penerbangan langsung, maka 25 anggota peserta asing Kontingen KK dari Malaysia Timur itu tidak perlu tepar dan harus menghabiskan waktu dua hari hanya untuk bisa menjadi ‘peserta luar biasa’ di forum Indonesian Youth Day 2016 di Kota Manado ini.
Tapi, ibarat seperti garis tangan yang sudah tertulis di ‘kitab sejarah’ masing-masing individu, pada akhirnya ke-25 ‘peserta luar biasa’ dari Malaysia ini harus mengikuti rute penerbangan ‘reguler’ dari Negeri Jiran Sabah di Malaysia Timur menuju Indonesia. Rute panjang nan lama itu harus mereka tempuh dari KK menuju Kuala Lumpur (KL) sepanjang dua jam penerbangan. Lalu berlanjut dengan penerbangan rute KL – Jakarta, juga selama hampir dua jam plus tambahan beberapa puluh menit untuk urusan imigrasi, perpindahan dari Terminal Kedatangan Internasional menuju Pintu Penerbangan Domestik di Bandara Internasional Soekarno-Hatta Cengkareng, Tangerang.
Kisah ‘penderitaan’ kontingen KK berjumlah 25 orang terdiri OMK laki-laki dan perempuan bersama Sr. Rosa –seorang biarawati—ternyata tidak berhenti di Cengkareng. Justru di Cengkareng inilah, derita karena harus pindah dari rute penerbangan internasional menuju rute domestik ini menjadi pangkal masalahnya.
“Kami berangkat meninggalkan KK sudah lewat tengah hari dan tiba di KK sudah sore hari. Akhirnya kami terbang ke Jakarta dan mendarat di Cengkareng sudah pada waktu malam hari dan tidak ada penerbangan lanjutan langsung di malam hari menuju Manado dari Jakarta,” tutur John Gasam Faranandze, salah satu anggota kontingen asing dari KK menjawab Sesawi.Net dan tim Dokpen KWI dalam sebuah wawancara di rumah sebuah keluarga katolik di Paroki St. Theresia Malalayang di Kota Manado, Sabtu 1 Oktober 2016 di tengah hari yang sangat terik.
“Finally we have to stay overnight in the airport to get the next flight early morning from Cengkareng to Manado in the different terminal,” tambah pemuda dengan anting di telinganya ini.
Pertemanan lama
Menjawab Sesawi.Net dan tim Dokpen KWI, John mengatakan pihaknya sangat antusias mengikuti acara Indonesian Youth Day 2016 di Manado berkat pertemanan lama koordinator OMK Keuskupan Agung Kota Kinabalu dengan Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan KWI RD Antonius Haryanto. Hal itu langsung dibenarkan oleh Denis Patrick, koordinator OMK Keuskupan Agung KK yang pernah menerima pastor diosesan Keuskupan Bandung itu di rumahnya saat berlangsung Kota Kinabalu Youth Day beberapa tahun silam.
Karena itu, tandas Arnold Jr. Agustine dan Roger Guarner, rencana cepat segera disusun untuk mencari peserta OMK Keuskupan KK yang berminat mengikuti perhelatan iman skala nasional berlabel IYD 2016 di Manado ini. “We spread the news through our group to meet the deadline,” tutur kedua orang anggota kontingen KK yang kami wawancarai di tengah suasana pesta ulang tahun sebuah keluarga katolik di Paroki St. Theresia Malalayang.
Ternyata, untuk bisa sampai ke Kota Manado dan mengikuti acara Indonesian Youth Day ke-2 di Kota Nyiur Melambai dari tanggal 1-6 Oktober 2016 ini, biayanya juga relatif mahal untuk ukuran orang Indonesia. “Sedikitnya kami harus menyediakan dana tak kurang dari 2.000 ringgit untuk perjalanan panjang dan lama ini,” kata mereka.
Merasa di rumah sendiri
Meski datang dari Negeri Jiran Sabah di Malaysia Timur, namun toh Denis Patrick –koordinator OMK Keuskupan KK—mengaku senang dan bahagia berada di tengah masyarakat Manado yang menurutnya sangat luar biasa hangat dan ramah. Selain tidak mendapat kesulitan dalam berkomunikasi karena Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia nyaris ‘sama’, Denis dan ketiga temannya merasa diperlakukan seperti anggota keluarga sendiri di tengah keluarga-keluarga katolik Indonesia.
Denis misalnya merasakan keakraban bergaul dengan orang Indonesia ketika menerima Romo Antonius Haryanto di rumahnya saat berlangsung KK Youth Day beberapa tahun silam. Denis yang mantan seorang seminaris di KK ini merasakan betapa keakraban yang telah terbina dengan orang Indonesia melalui Romo Haryanto itu membuat dia bersama ke-24 anggota rombongan asing Kontingen Keuskupan Agung KK merasa yakin bahwa perjalanan panjang dan lama mereka dari KK menuju Jakarta dan akhirnya Manado akan terbayarkan oleh perasaan sukacita.
Pengalaman Sindy di IYD 2012 Sanggau
Hal sama ditegaskan oleh Felicia, satu-satunya anggota perempuan Kontingen KK yang berhasil kami jumpai di tengah suasana hari yang sungguh terik ini.
Felicia tinggal di keluarga Sam Luly bersama ketiga putrinya yang sudah beranjak dewasa.
Kepada tim Dokpen KWI dan Sesawi.Net, pasangan suami-istri Sam mengaku senang dan sangat antusias ketika diberitahu Panitia IYD 2016 Manado bahwa mereka dimintai kesediaan menerima tamu anggota peserta IYD di Manado 1-6 Oktober 2016. “Setahun sebelum akhirnya digelar Indonesian Youth Day 2016 ini, keluarga kami sudah dimintai kesediaannya apakah bisa menerima inap peserta IYD di rumah keluarga kami,” terang Sam Luly.
Rupanya tangan terbuka keluarga Luly berkenan menerima kedatagan tamu anggota peserta IYD 2016 di Manado ini sangat termotivasi oleh pengalaman si sulung Christel Sindy Luly yang di tahun 2012 menjadi anggota kontingen Keuskupan Manado mengikuti Indonesian Youth Day pertama di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.
Menurut Sam Luly, dia dan istrinya merasa bangga ketika Sindy bersedia meninggalkan pola hidup kota untuk sejenak mengalami dan merasakan denyut kehidupan di daerah lain dengan latar belakang budaya, Bahasa, dan etnik berbeda di Kalimantan Barat. Sepulang dari Sanggau pun, kata Sam, pihaknya dibuat semakin termotivasi dan berbangga hati bahwa anaknya mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial baru.
“Atas pengalaman anak sulung itu, kami sungguh bangga hati bahwa melalui Indonesian Youth Day tahun 2012 di Kabupaten Sanggau, Sindy bisa bergaul dan tinggal kerasan di keluarga Dayak setempat. Sindy mengatakan dirinya sungguh senang telah diterima dengan sangat baik oleh keluarga Dayak yang menjadi ‘orang tua asuhnya’ di Sanggau. Pengalaman itu ternyata sangat membekas dalam-dalam dan mengesan di hati Sindy,” terang Sam Luly yang juga dibenarkan oleh Ny. Deisy Conny Wongkar, istrinya.
Sindy pun tidak menyangkal omongan kedua orangtuanya, karena dirinya memang menjadi sumber kisah pengalaman sangat personal ketika dia tinggal di tengah keluarga Dayak di luar kota Sanggau. Ia mengaku tidak pernah membayangkan sebelumya, kalau sekali waktu punya kesempatan tinggal di rumah keluarga ‘asing’ namun nyatanya dia dianggap seperti anggota keluarga sendiri.
Lainnya adalah pengalaman yang tak pernah dia lupakan seumur-umur yakni harus berani mandi di tepi sungai. “Karena memang di sungai itulah, kami harus mandi dan mencuci baju,” terang Sindy yang jago menyanyi ini.
** Artikel lengkap berita ini bisa diakses di website Dokpen KWI.