Jadi Imam Misionaris di Papua Nugini, Parang di Leher karena Mitos “Cargo Cult” dan Susahnya Tiadakan Praktik Sanguma Man

0
647 views
Romo Fajar Himawan MSF saat masih menjadi imam misionaris dan bertugas pastoral di wilayah Keuskupan Madang di PNG. (Dok. Romo Fajar Himawan MSF via Paulus Subiyanto)

BEBERAPA imam misionaris Indonesia sudah diutus ke daerah misi di Papua Nugini, negara tetangga yang berbatasan dengan Papua Barat.

Salah satu imam misionaris Keluarga Kudus (MSF) dari Indonesia yang pernah berkarya di sana adalah Romo Ignatius Fajar Himawan MSF.

Kesan dan pengalaman jadi misionaris di PNG

Ia menuturkan sepenggal pengalamannya sebagai tenaga imam misionaris di PNG – dulu pernah menjadi koloni Jerman dan kemudian Inggris.

Negara dengan populasi 6 juta jiwa dan memiliki 850 bahasa lokal ini hanya 18% penduduknya tinggal di pusat-pusat kota, sebagian besar tinggal di pedalaman yang sangat luas. 

Walaupun sejak 16 September 1975 dideklarasikan dan diakui kemerdekaannya, namun pembangunan bidang pendidikan dan infrastruktur tidak banyak mengalami perubahan. Bahkan  hingga sampai sekarang.

Mayoritas penduduk masih hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Agama mayoritas penduduknya adalahKatolik. Ini merupakan agama warisan dari negara jajahan Eropa.

Hal inilah yang barangkali menjadi alasan Gereja Katolik masih tetap mengirim misionaris ke sana. Termasuk dari beberapa kongregasi dari Indonesia seperti MSF dan SVD. 

Tantangan yang besar selain kondisi alam yang berat dengan infrastruktur yang belum maju, kehidupan adat dan kebiasaan tradisional yang masih kuat walaupun sudah memeluk agama Katolik.

Fenomena Cargo Cult dan Sanguma Man (dukun santet) masih sangat kuat mewarnai kehidupan orang Papua Nugini.

Ini sungguh menjadi tantangan karya misi karena bertentangan dengan iman dan ajaran Gereja Katolik.

Cargo cult

Cargo cult adalah semacam mitos atau keyakinan yang mendorong perilaku nekat merampok atau mencuri harta milik pastor (Gereja).

Mitos ini bersumber dari peristiwa masa lalu, ketika misionaris Barat datang bersama tentara dalam rangka pewartaan Injil. Yang terjadi kemudian, mereka lalu mengambil paksa anak-anak muda untuk dilatih menjadi pewarta (katekis).

Dalam proses pelatihan tersebut, ada kejadian ketika para misionaris dan tentara sedang khusuk berdoa di area pemakaman, tiba-tiba di pelabuhan muncul kapal besar yang kemudian membongkar muatan berupa barang-barang kebutuhan yang mewah untuk orang-orang Eropa. Orang-orang lokal Papua Nugini yang melihat itu berpikir demikian.

Jika mereka rajin berdoa, maka tentu saja Tuhan akan mengirim semua kebutuhannya seperti yang bisa mereka saksikan di pelabuhan ketika terjadi kegiatan bongkar muatan.

Dalam perkembangannya, mereka pun melakukan hal yang sama: berdoa agar Tuhan bersedia mengirimkan barang-barang kebutuhan mereka. Namun, ternyata Tuhan hanya “diam” saja.

Bagaimana ini bisa terjadi?

Lalu muncullah, pikiran bahwa sesungguhnya Tuhan sudah mengirim barang-barang mereka, tetapi disembunyikan para misionaris. Oleh sebab itu, mereka merasa dibenarkan, jika mengambil barang-barang di pastoran. Pikir mereka, karena harta benda Gereja itu sebenarnya milik mereka yang sengaja telah disembunyikan oleh pastor.

Cargo cult ini masih dihayati sampai sekarang sedemikian rupa sehingga kejadian pencurian di pastoran adalah hal yang biasa. Untuk keselamatan, pastor yang sedang dirampok harus segera melarikan diri dari pastoran supaya nyawanya selamat.

Hampir digorok lehernya

Romo Fajar pernah mengalami kejadian ini, parang panjang sudah menempel di leher. Tetapi, karena ia kemudian mampu berteriak keras, maka penjaga gereja segera bangun dan bertindak dengan panah untuk mengusir para perampok.

Romo Fajar Himawan MSF.

Nama perampok lokal itu adalah Pius. Ia datang membawa sebuah parang panjang – seperti kebiasaan orang PNG yang ke mana-mana biasa suka membawa parang panjang – bisa semester panjangnya.

Ada dua hal yang Pius sampaikan kepada Romo Fajar.

  1. Ia bertanya dengan nada paksaan: apakah arwah ibunya sudah bahagia di surga atau masih gentayangan di kampung.
  2. Ia minta -tentu saja masih dengan nada memaksa- agar bisa diangkat menjadi pembagi komuni alias Prodiakon.

Kedua hal ini berkaitan dengan mentalitas cargo-cult. Karena setelah diajak bicara lebih mendalam, motivasi cargo cult-nya sangat kuat sehingga keinginannya untuk menjadi pelayan komuni tidak dikabulkan. Yang kemudian terjadi, ia lalu marah dan ingin membunuh pastor.

“Biarlah pastor saya bunuh saja, kemudian saya yang menjadi pastor di sini sehingga kesejahteraan (cargo datang) dikirim oleh arwah ibu saya yang sudah di surga,” begitulah ungkapannya.

Kemudian Romo Fajar teriak-teriak minta tolong ke penduduk terdekat. Umat terdekat datang dengan membawa parang, tombak, penthung, batu, meringkus Pius yang badannya kecil dan umurnya juga sudah tua. Merasa kasihan sebenarnya.  

“Malam itu juga kami selesaikan dengan nasihat-nasihat. Anak dan isteri Pak Pius kami panggil untuk diberi wejangan. Lalu pastoran dijaga anak-anak muda. Syukurlah Pius lone wolf alias orang yang tidak punya pengikut,” jelas Romo Fajar.

Tapi, setahun kemudian, Romo Kriswinarto MSF di paroki tetangga saya -lokasinya masih sejauh empat jam perjalanan kaki-  harus cepat lari dari pastorannya dan terpaksa tinggal di tempat saya. Terjadi demikian, karena  pastorannya di IGOM telah diduduki beberapa pengikut cargo cult,” jelas Romo Fajar.

Pencurian dan upaya membunuh pastor di pastoran dengan latar belakang cargo cult ini sering terjadi maka para  misionaris tidak mau menyimpan barang-barang berharga di pastoran demi keselamatan jiwanya.

Selain mencuri dan merampok, bahkan juga  ada keinginan membunuh pastor -semua itu terjadi karena mereka masih sangat percaya bahwa harta benda (cargo) yang dikirim oleh nenek-kakek moyang mereka itu masih “ditahan” (dimonopoli) oleh para imam misionaris. Masih sedemikian kuatnya keyakinan itu. Juga tidak sedikit para imam lokal asli PNG juga terkena imbas perlakuan pengikut mitos cargo-cult.

Mungkin pemahaman pengikut cargo-cult adalah sebagai berikut:

Arwah-arwah nenek-kakek moyang para misionaris (orang kulit putih) akan segera mengirim barang-barang (cargo), setelah mereka berdoa rutin di makam para misionaris pendahulu.

Kemudian para katekis lokal termotivasi mau meniru kebiasaan itu. Maka, setelah kembali ke kampung halaman -beberapa orang saja, kalau tidak boleh dikatakan banyak- lalu mempraktikkan ritual tersebut. Mereka suka berdoa di makam-makam dengan harapan (arwah) kakek-nenek moyang mereka (orang PNG) mengirim barang-barang.

“Pengikut cargo cult sendiri tidak mau disebut cargo-cult, karena istilah ini datang dari para antropolog yang nota bene adalah para peneliti asing.

“Pengikut cargo cult di daerah yang pernah saya layani menyebut diri sebagai “yaran”. Ini adalah kata bahasa lokal -semacam dialek- yang berarti “the way” alias “jalan” dalam bahasa Indonesia,” jelas Romo Fajar.

Sanguma Man

Kehidupan tradisional yang jauh dari jangkauan hukum positif negara membuat hukum adat dan peran orang-orang yang dianggap memiliki “kelebihan” lebih dominan.

Sanguma Man -semacam dukun santet dalam masyarakat Indonesia- adalah orang yang diyakini memiliki kekuatan supranatural sehingga mampu melukai atau membunuh orang lain dari jauh. Kendati mereka ini sudah memeluk agama Katolik, tetap saja menjalani kehidupan yang jauh dari nilai-nilai kristiani ini.

Bagi orang yang berpikir rasional tentu tidak menerima fenomena ini, namun itu kenyataan yang diyakini dan ada dalam kehidupan masyarakat sehingga tidak bisa dianggap sebagai takhayul belaka. 

Ilustrasi – Seremoni klenik. (Ist)

Misalnya, terjadi kasus pemerkosaan. Lalu pengadilan adat memberi sanksi denda kepada pelaku, namun si pelaku abai membayar kewajiban ini. Maka, keluarga korban pun akan melakukan pembalasan dengan kekuatan dukun santet. Dilakukan dengan cara membunuh salah satu kerabat perempuan pelaku, bukan si pelaku sendiri.

Demikian juga kalau ada orang sakit parah. Orang-orang mulai berpikir siapa yang mengirim santet kepada korban. Akibatnya, kecurigaan pun mulai berkembang dan tak tertutup kemungkinan untuk membalas.

Terkait dengan fenomena dukun santet ini, Romo Fajar pernah mengumpulkan umatnya yang konon dikenal sebagai dukun santet.

Romo Fajar meminta agar mereka tidak membunuh dengan ilmu santetnya, apalagi dengan korban yang tak bersalah, cukup dibikin sakit saja untuk memberi pelajaran.

“Sulit untuk melarang praktik persantetan yang sudah menjadi bagian tradisi dan budaya ratusan tahun di sini. Langkah awal yang bisa kami lakukan di sana ya  minimal mengurangi – kalau bisa,” jelas Romo Fajar. 

Pernah suatu ketika Romo Fajar diundang oleh salah seorang ketua para tukang santet untuk bertemu muka. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam, memasuki gerbang rumahnya harus menyusup di balik air terjun, sampailah di rumah ketua dukun santet yang dianggap sakti ini.

Ilustrasi – Aneka benda-benda aneh untuk jimat (Wiki)

Ternyata dukun santet ini sedang sakit keras dan berpikir yang membuat sakit adalah Romo Fajar karena ia berpikir bahwa seorang pastor memiliki ilmu yang tinggi.

Romo Fajar harus menjelaskan bahwa seorang pastor, juga orang Katolik pada umumnya tidak diperbolehkan menyakiti orang lain, juga balas dendam.

Pada kesempatan lain, Romo Fajar terserang malaria yang sangat akut, lalu beberapa sanguma man mendatanginya dan menyampaikan bahwa Romo diserang atau dikirimi penyakit oleh beberapa dukun santet dari desa lain.

Dan mereka pun sudah siap melakukan balasan bahkan jika diperlakukan melakukan serangan langsung.

Romo harus menjelaskan, terutama mencegah pertumpahan darah antar mereka, bahwa dirinya sedang terjangkit malaria dan yang dibutuhkan segera dicarikan ambulans untuk dievakuasi ke kota yang tersedia rumah sakit.

Sangat dilematis

Fenomena Sanguma Man ini bagi Pastor sangat dilematis.

Kalau diintervensi dengan melarang tukang santet atau pun tukang sorot alias tukang terawang dan tukang santet- untuk “berpraktik”, maka pertanyaannya adalah gantinya apa?

Apa yang harus dilakukan untuk atau kepada orang-orang yang asosial yang mengganggu kehidupan bermasyarakat di daerah yang hukum positif tidak ada, dan yang ada hanya hukum adat?

“Kalau saya berkotbah, orang Katolik tidak boleh pergi ke dukun untuk mencari penyembuhan atas penyakit mereka, terus saya bisa memberikan apa untuk menjawab pertanyaan mereka mengapa ada penyakit dan kematian (yang tidak wajar) sementara pelayanan kesehatan tidak tersedia?” gagas kritis  Romo Fajar.

Suatu tantangan pastoral yang konkret dan harus dihadapi dengan realistik.

Dengan bantuan dana dari Jerman, Romo Fajar sempat membangun health center ( semacam puskesmas) dan pabrik pengolahan biji cokelat untuk mengembangkan ekonomi umat dan pelayanan kesehatan di parokinya.

Sekilas tentang sosok Romo Ignatius Fajar Himawan MSF.

Ia mulai berkarya di Paroki Santo Yosef, Keuskupan Agung Madang di PNG dari tahun 1992 sampai 2004.

Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus (MSF) pernah mengutus beberapa imam dan frater menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP). Itu antara lain Romo Tirta, Romo Lingai, Romo Betras, Romo Suryohadi, Romo Edyanto, Romo Eko Yuwantoro dan Romo Kriswinarto. 

Namun sekarang, karya misi MSF Provinsi Jawa dan Kalimantan di Papua Nugini dihentikan dengan beberapa alasan antara lain:

  1. Ketidakcocokan visi dan misi dengan uskup yang baru.
  2. MSF belum berhasil menyatukan anggota dari tiga propinsi (Polandia-Jawa-Kalimantan) menjadi satu provinsi.
  3. Biaya sangat mahal sehingga Propinsi Jawa tidak bisa menjadi penyandang dana terus-menerus. “Itulah sebabnya, saya sukarela menyediakan diri untuk tugas ke USA, dengan tujuan mencari dana setiap summer mulai tahun 2005–2019. Namun, misi MSF dari Jawa-Kalimantan dihentikan oleh Kapitel MSF Jawa tahun 2009,” tulisnya.
  4. Sangat tidak mudah untuk menemukan imam MSF yang siap diutus ke daerah yang super sulit seperti PNG yang menuntut kesehatan fisik dan mental.

PS: Tulisan ini dibuat berdasarkan penuturan Romo Ignatius Fajar Himawan MSF kepada penulis.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here