DUA bulan lalu saya ke Hong Kong. Ada tugas kurang dari setengah hari; sisanya jalan-jalan. Bak orang kaya saja.
Mendarat di Bandara Internasional Chek Lap Kok terasa biasa-biasa saja. AntrIan imigrasi cukup panjang, tanda banyak turis ke sana. Bertemu dengan orang-orang Indonesia, di antaranya aktor Thomas Djordhi yang hangat diajak ngobrol.
Lumayan, kebosanan sedikit terobati.
Mendengar kata “Hong Kong”, ingatan terbang ke film kartun di TVRI, sekira tahun 1980-an. Judulnya Hong Kong Phooey.
Tokohnya seekor anjing jadi-jadian yang cerdas, kocak sekaligus konyol. Pekerjaannya memerangi kejahatan. Dia dibantu oleh sahabatnya, seekor kucing, Spot, dan buku The Hong Kong Book of Kung Fu. Harap maklum, film ini buatan Amerika meski berlatar-belakang Hong Kong.
Tiap kali ada laporan kejahatan yang diterima Rosemari, operator telepon yang “o’on”, Penri, petugas kebersihan yang nguping, langsung mengubah dirinya menjadi anjing. Mulailah dia “sok” berperan sebagai detektif pemberani.
Julukannya pun “phooey”, artinya “sial”. Angka kesuksesan sang detektif pun tipis.
Tipis pula kesuksesan film serial ini. Entah mengapa sempat tayang di Indonesia.
Cerita kedua, Hong Kong tak hanya “Phooey”. Tapi juga menjadi rujukan Indonesia saat (sok-sokan) membentuk Lembaga Anti Korupsi.
Tahun 1970-an, Hong Kong adalah negara penuh korupsi. “Uang semir” menjadi budaya. Institusi Kepolisian menjadi “pionIr” dalam melakukan kejahatan ini. Dari atas sampai bawah, semuanya hitam. Mafia Triad seakan menjadi pengendali polisi. Hampir semua perkara punya tarif.
Sopir ambulans tak mau membawa pasien gawat-darurat, tanpa “uang kopi”. Petugas pemadam kebakaran harus diberi “pelicin”, sebelum menyemprotkan air. Jangan ditanya bagaimana praktIk yang terjadi di kantor-kantor pemerintah.
Puncaknya, Kepala Kepolisian Hong Kong, Peter Godber, melarikan uang 4.3 juta dolar Hong Kong plus 600 ribu dolar AS ke London.
Kemarahan rakyat tak tertahankan. Satu juta orang turun ke jalan menuntut pembentukan Komisi Antirasuah. Lahirlah ICAC (Independent Commission Against Corruption), pada 15 Februari 1974.
Singkat kata, KPK-HK sukses mewujudkan perannya, meski muncul perlawanan yang masif.
Menurut Tony Kwok Man-wai, mantan kepala operasi KPK-HK, keberhasilan ini tak lepas dari dukungan rakyat dan Gubernur. Mereka memegang teguh komitmen, hingga mencatat sukses besar.
Tanpa tekad itu, jangan ditanya bagaimana nasibnya, saat TIGA tahun selang berdirinya, mereka “diserbu” polisi Hong Kong. Agen polisi yang berubah seragam menjadi agen KPK, dituduh “menikam diri dari depan”. https://antikorupsi.org/id/article/berkaca-pada-kpk-hongkong
Tak jelas, bagaimana cerita sukses atau gagalnya KPK-RI, setelah lebih 20 tahun didirikan. Sekali lagi, konon KPK-RI dibentuk dengan merujuk pada KPK-HK.
Apakah taringnya masih tajam? Apakah independensinya masih kokoh? Apakah strukturnya masih oke? Apakah komitmen rakyat dan pemerintah masih berkobar-kobar? Entahlah.
Kisah ketiga, tentang banyaknya senior citizen yang berperan di pelayanan publik. Di bandara, mal, restoran, pasar, stasiun, terminal, para lansia marak melayani pelanggan.
Bukan soal bagaimana servisnya atau berapa upahnya, tetapi memberi kesempatan mereka bermanfaat bagi banyak orang, dapat membuat usia bertambah panjang.
Tatkala kesehatannya memudar, kehangatan dengan pasangan, anak dan cucu berkurang, pendapatan menipis, maka memberi peran kepada lansia untuk berkiprah di masyarakat dapat berbuah kebahagian tiada tara.
Seorang perempuan Indonesia yang kira-kira berusia 60-an, dengan sigap membantu kami membersihkan kopi yang tercecer di lantai stasiun MRT. Ibu-ibu yang tak muda lagi, riuh berbicara dalam Bahasa Jawa saat antrI check in loket Garuda di bandara.
Mereka adalah pejuang devisa yang harus mendapat Bintang Tanda Jasa atau bintang apa pun namanya. Jangan malah menyebarkannya kepada “pejabat-pejabat” yang tak jelas ujung-pangkalnya.
Sedikit tentang “tugas” yang kami sandang ketika di sana. Ia berkaitan dengan Kantor Pemerintah. Urusan yang kami usahakan di sini dan tak selesai dalam satu setengah tahun, beres di sana, tak lebih dari 30 menit.
Hari kelima, kami kembali ke Jakarta. Sepatah kata buat Hong Kong, “impresif”.
“You can leave Hong Kong, but it will never leave you.” (Nury Vittachi – Penulis Fiksi bermukim di Hong Kong)
@pmsusbandono
4 Mei 2024
Baca juga: Ini baru sportif: Proses melejitnya PSSI u23