“Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?” (Mat 5, 47)
PADA tahun keempat, para seminaris harus mengambil keputusan tentang pilihan hidup mereka sebagai seorang calon imam. Seorang seminaris mengalami keraguan dan tidak kunjung membuat keputusan. Menjadi seorang calon imam diosesan atau calon imam sebuah tarekat? Dalam dirinya masih berkutat pertanyaan yang tidak mudah untuk dicari jawabnya, “Apakah kelebihan imam diosesan dibandingkan dengan imam tarekat? Atau apa kelebihan imam tarekat dibandingkan dengan imam diosesan?”
Yah, apa sih sebetulnya kelebihan hidup mereka? Sadar atau tidak, orang sering membanding-bandingkan antara seseorang dengan orang lain atau antara dirinya dengan orang lain. Sementara orang merasa bahwa dirinya terlalu rendah dan tidak ada apa-apanya, jika dibandingkan dengan orang lain. Yang lain merasa bahwa dirinya mempunyai beberapa atau banyak kelebihan jika dibandingkan dengan orang lain, entah kelebihan di dalam: perawakan, penampilan, tingkat pendidikan, pengalaman hidup, bakat atau talenta, kemampuan atau ketrampilan atau kelebihan di dalam keutamaan lain.
Sang Guru pun menantang dan mengajak para murid-Nya agar mereka mempunyai kelebihan dibandingkan dengan orang lain. Seorang murid tidak cukup hanya memenuhi tuntutan standar minimal atau kualitas yang biasa-biasa saja; apalagi hanya memiliki kualitas hidup yang ecek-ecek. Mereka harus menjadi pribadi yang berkualitas unggul dan memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang lain. Keunggulan atau kelebihan itu harus nampak dalam hal mengasihi sesama, dan bukan dalam hal-hal lain. Kesediaan dan keberanian untuk mengasihi sesama, khususnya mengasihi musuh, merupakan satu kelebihan para murid.
Sejauh mana kelebihan itu nampak di dalam diriku?
Teman-teman selamat malam dan selamat beristirahat. Berkah Dalem.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)