KITA biasa menyebutnya miting.
Ini adalah secamam “jembatan darurat”; dibuat dari bilah-bilah papan yang diletakkan di atas tanah jalan berlumpur.
Dipasang di situ agar pemotor bisa tetap nangkring di atas sedel motor dan tetap mengendarai motornya dengan melalui jalan berlumpur tersebut.
Karena akses jalan terputus dan rusak, dua imam Jesuit asal Jawa yang kini bertugas di wilayah pastoral Keuskupan Ketapang, Kalbar, juga sering mengalamai hambatan perjalanan di kawasan pedalaman Keuskupan Ketapang, Kalbar.
Sekali waktu, hambatan jalan rusak itu terjadi di dalam perjalanan menuju Botong –sebuah wilayah pedalaman Keuskupan Ketapang.
Untuk menuju kawasan Botong, bisa ditempuh dengan dua cara moda transportasi: darat dan sungai. Opsi mana yang terbaik dan paling memungkinkan, maka semua itu sungguh tergantung pada kondisi cuaca.
Terjebak dan harus berani lewati miting
Romo Mardi Santosa SJ dan koleganya Romo Wawan SJ sekali waktu ikut “terjebak” dalam pemandangan “biasa” di Ketapang: jalan rusak parah, berlumpur dan basah, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali harus berani melewati miting.
Kebetulan di sebuah badan jalan yang rusak di sekitaran Desa Kek Ocat arah Botong ini, ada sejumlah pengendara motor lain juga mengalami kendala yang sama.
Tidak bisa tidak, dalam kondisi seperti ini ya harus saling membantu.