BERSAMA anak-anak muda lokal, beberapa malah boleh dibilang masih anak-anak, saya mengadakan perjalanan membelah jalan masuk hutan untuk sebuah turne perjalanan rohani mengunjungi umat katolik di sebuah pedalaman di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Lokasinya di Stasi Elok Kolong, Kec. Subah, Kab. Sambas.
Dari kota Sambas, orang harus naik mobil atau sepeda motor kurang lebih dua jam dan baru kemudian disambung dengan jalan kaki selama 4 jam.
Pengalaman turne Paskah 2016 lalu itu terjadi di kawasan permukiman penduduk yang masuk kateegori sangat terisolir.
Untuk mencapai kawasan hunian dengan penduduk Dayak lokal, saya hanya bisa mengandalkan kekuatan kaki, rasa percaya diri, dan semangat. Hadirnya anak-anak remaja OMK yang ikut dalam perjalanan rohani ini membuat saya kian bersemangat.
Turne ini membuat saya didera perasaan prihatin. Sekaligus juga ikut memotivasi saya dan mungkin siapa pun juga yang tergerak bisa ikut menumbuhkembangkan potensi iman dan kekayaan budaya setempat.
Memanglah, turne rohani Paskah 2016 lalu itu jauh lebih baik dibanding perjalanan sama ketika saya mencapai permukiman ini pada saat tahu 1997, ketika konflik etnik berbau sektarian mendera kawasan ini. Waktu itu, terjadi konflik horizontal antara masyarakat lokal Dayak dengan kaum migran dari Madura yang berdarah-darah.
Medan sulit dan melelahkan
Pada tahun-tahun sulit itu ketika masih terjadi konflik horizontal, saya harus menempuh perjalanan kaki selama tidak kurang 6-10 jam. Paskah 2016 lalu, jumlah jarak waktu tempuh sudah berkurang drastik menjadi hanya 4 jam saja.
Namun, medan alam tetaplah sama: sulit dan amat melelahkan.
Kalau pun harus mengingat perjalanan turne di tahun 1997 silam, bulu kuduk saya ikut merinding. Waktu itu, kami harus mandi di sebuah sumur alam tak jauh dari aliran sungai. Tak disangka-sangka, ternyata di kolam tempat kami mandi itu terdapat beberapa kepala manusia yang sengaja “direndam” di kedalaman air.
Tanya-tanya penduduk sekitar akhirnya kami pun tahu dan berkenalan dengan penduduk lokal di situ. Kami bertandang ke rumahnya dan ternyata sang tuan rumah adalah “panglima perang” masyarakat Dayak. Maka tak heran, bila di rumah itu banyak terpajang benda-benda aneh, keramat, dan antik.
Kami pun lalu melanjutkan perjalanan, setelah mendapatkan makan-minum di situ. Medan yang sangat berat, melelahkan, namun kami tetap bersemangat ingin menuju “ke sana”. Risiko yang tergelar di depan juga tidak bisa diduga, karena saat itu masih hangat perang etnis.
Belum berubah banyak
Pengalaman menegangkan menembus hutan di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalbar, itu sudah terjadi 20 tahun lalu. Ketika akhirnya Paskah 2016 pada bulan Maret lalu itu kami berhasil sampai di lokasi permukiman tersebut, ternyata kondisi sosialnya tetap sama dengan 20 tahun silam.
Kemiskinan dan kondisi terisolasi masih mendominasi suasana di sana.
Jumlah umat katolik di sana tidak mengalami perubahan. Yang banyak melakukan doa adalah kaum muda dan anak-anak, sementara kaum tua –orangtua mereka—pergi berkelana ke pedalaman hutan. Dulu di situ semua kampung praktis menjadi umat katolik.
Belakangan, karena makin sedikitnya pastor mau mengunjungi daerah permukiman yang sangat terpencil ini, mayoritas sudah memeluk kristianitas dari denominasi lain.
Dari umat katolik setempat, kami mendengar bahwa mereka sangat merindukan adanya bangunan gereja katolik yang lebih permanen. Dari enam kampung yang berhasil kami kunjungi, hanya ada bangunan tempat doa non permanen dimana di dalamnya juga tidak ada apa-apanya.
Selama menjalani turne tersebut, yang saya lakukan hanya sederhana: memimpin ibadat, mengunjungi orang sakit dan mendoakan mereka, sekaligus melakukan promosi panggilan untuk hidup membiara sebagai imam, bruder atau suster di antara anak-anak muda di situ.
Pendidikan jauh tertinggal
Jangan bicara tentang mutu pendidikan anak-anak lokal di situ. Untuk pergi ke sekolah dasar terdekat saja, mereka harus berjalan puluhan km menembus tebalnya hutan.
Beberapa tahun lalu, pastor paroki berhasil mendirikan sebuah gubug bangunan SD untuk kelas 1-3 di Desa Elok Kolong. Guru pengajarnya hanyalah tamatan SMA dan kini tengah mengikuti kuliah di Universitas Terbuka.
Dari jeritan hati masyarakat lokal di sana, mereka ingin agar kehidupan sosial di pedalaman itu menjadi lebih baik. Mereka berharap ada yang peduli dengan kondisi mereka saat ini.