Jalur Mulus dari Shantou ke Hulian, Sukacita Bertemu Sanak Keluarga dari Moyang yang Sama (2)

0
398 views

SIAPA sangka bahwa begitu keluar kota meninggalkan pusat kota Shantou menuju beberapa kota terdekatnya, mata kita akan langsung dimanjakan oleh pemandangan alam? Benar-benar mengasyikkan, ketika dua mobil kami melaju dengan sangat cepat melintasi kota Jieyang, lalu menuju arah Hulian yang berjarak kurang lebih 100 km dari Shantou.

Jieyang yang kami lintasi dalam perjalanan panjang ini berada di kisaran titik 40 km dari Shantou. Kota kecil ini berada pinggir lintasan jalan tol bebas hambatan menuju Hulian, sebelum jalan tol ini membelah alur lalu lintas menuju beberapa kota lainnya seperti Guangzhou, Shenzen, dan lainnya.

Kami meninggalkan Jieyang menuju Hulian setelah melewati akses utama menuju kota-kota di atas.

Baca juga: Selamat Datang di Shantou, Tiongkok: Kota Industri yang Rapi dan Bersih (1)

Sepanjang jalan menuju Hulian, apa yang tersaji di depan mata rasanya mengasyikkan. Pemandangan alam berupa kawasan perbukitan hijau menghiasi sepanjang kawasan di luar batas pagar jalan tol yang mulus ini. Sekilas kawasan perbukitan ini bertekstur kapur atau cadas. Namun, karena permukaan tanah mereka bersaput pepohonan, maka kesan eco-green begitu terasa kental.

Nah, sepanjang jalur utama lalulintas dari Shantou menuju Hulian ini, mata kita dimanjakan oleh alam yang indah. Tubuh kita juga dirawat sayang oleh tekstur badan jalan yang lapang, mulus, tanpa ada bocel-bocel sedikit pun di ruas jalan bebas hambatan ini. Kondisi jalan utama selepas keluar dari jalan tol masih sama: mulus banget.

Hulian adalah kota kecil. Di sini kami datang untuk mengunjungi kerabat teman kami. Moyang mereka adalah kakak adik, sebelum akhirnya salah satu dari mereka memutuskan pergi meninggalkan Shantou di Tiongkok untuk merantau ke kawasan Asia Tenggara dan akhirnya ‘terdampar’ mendarat di Pontianak, Kalbar, kira-kira awal abad 19.

Taman ASEAN

Kami tidak berlama-lama di keluarga kerabat ini. Usai mengurai sejarah singkat bersama nenek yang tersampaikan melalui bahasa ibu mereka yakni Tiocu, kami pun meninggalkan rumah menuju sebuah resto dan kemudian memasuki sebuah taman besar yang konon mereka suka sebut sebagai “Taman ASEAN”.

Agak aneh juga di telinga saya, mengapa di kota kecil Hulian ini ada sebuah taman besar dan perkebunan teh di sebuah perbukitan tapi mengibarkan bendera sejumlah negara ASEAN di situ. Padahal, Tiongkok bukanlah negara anggota perhimpunan negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini.

Saya tak bisa mendapatkan jawaban pastinya. Namun, agaknya pemerintah lokal dan pemerintah Tiongkok ingin menunjukkan sikap bersahabat dan dukungan politik bagi ASEAN. Salah satunya adalah dengan cara mengibarkan bendera-bendera negara-negara anggota ASEAN di situ.

Itu belum cukup.

Di taman itu, ada beberapa kandang berisi hewan khas negara-negara ASEAN, khususnya Malaysia dan Indonesia. Di situ ada kera beberapa ekor. Di sebelahnya ada kandang khusus untuk ular piton berukuran besar hampir segede paha orang dewasa. Namun, ketika kami datang ‘menengok’ binatang melata ini, si piton hanya terpekur diam dalam tidur panjangnya. Ia terlihat tak berminat ‘menyapa’ kami.

Di kolam ular piton ini ada sejengkal kolam kecil berisi katak-kata raksasa khas Tiongkok.  Mungkin besarnya kira-kira dua kali telapak tangan manusia. Bisa jadi, binatang amfibi ini akan menjadi santapan utama bagi ular piton.

Di sampingnya ada kandang lain berisi dua ekor burung merak yang sangat eksotik dan khas berasal dari Papua, Indonesia. Kedua burung merak beda jenis ini kadang-kadang lebih suka ‘berkubang’ di sebuah gundukan pasir daripada berjalan-jalan ‘memamerkan’ keindahan bulu bagian ekornya ketika mengembang. Kami menunggu beberapa menit, tak juga terjadi pemandangan indah yang kami nantikan itu.

Sudah pastilah bahwa kedua burung merak itu hasil kiriman dari Papua, Indonesia. Tapi bagaimana bisa sampai di “Taman ASEAN” ini, tak seorang pun bisa menjawab pertanyaan saya karena kendala bahasa.

Di Taman ASEAN ini, selain pepohonan teh yang menjulang ke arah perbukitan, ada begitu banyak pohon kelengkeng. Sebagian besar, pohon dengan buah yang sangat manis dan berair ini tengah berbuah. Orang boleh petik semaunya tapi sayangnya masih muda-muda.

Dalam perjalanan pulang dari Hulian menuju Shantou, rombongan kami melintasi jalan bebas hambatan yang sama. Kali ini, perjalanan pulang serasa lebih dekat dan lebih pendek; mungkin saja karena di benak pikiran kami sudah terbayangkan berapa jarak yang mesti kami tempuh dan kawasan kota mana yang akan kami lewati—antara lain—simpang menuju Jieyang dan Guangzhou serta Shenzhen.

Lalu, kesimpulan apa yang mesti saya petik dari perjalanan singkat seharian ini? Tiada lain adalah kedisiplinan tinggi warga lokal di Shantou dalam merawat lingkungan.

Lihatlah, dimana-mana tidak ada sampah di jalanan. Kawasan tepian jalan ditata rapi dengan ‘hiasan’ pepohonan jenis semak-semak perdu, sementara di kejauhan ada barisan pepohonan besar yang menutupi tekstur tanah perbukitan kapur atau cadas.

Rasanya tepat mengatakan, kondisi jalan mulus bebas hambatan dan pemandangan eco-green ini terjadi karena disiplinnya aparat pemerintah dalam menjaga harmoni dengan alam. Ingat bahwa prinsip harmoni ini merupakan hal penting dalam tradisi religius mereka.

Harmoni tidak saja terjadi di alam semesta, tapi juga di lingkungan keluarga. Itulah sebabnya, ketika saudara mereka yang di Indonesia menyediakan waktu untuk datang ke Shantou maka seluruh anggota keluarga besar itu juga datang menyapa kami. Suasana sukacita bersama terasa kental di setiap pertemuan keluarga ini.

Di jalur Shantou-Hulian ini, selain jalan tol yang mulus dan pemandangan alam yang indah, yang mengisi hati kami adalah perasaan sukacita bisa bertemu dengan sanak-saudara satu nenek moyang yang sama setelah puluhan tahun tidak saling kenal muka.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here