DALAM bacaan Injil untuk hari Minggu ini, kita dihadapkan pada kenyataan hidup bahwa para rasul yang merupakan orang-orang terdekat Yesus juga rentan terhadap ketakutan.
Kita kenal para rasul sebagai nelayan yang sebagian besar waktu hidupnya dihabiskan untuk mencari ikan di danau. Mereka sudah terbiasa berhadapan dengan badai, topan, ombak dan keganasan perairan.
Tetapi, kenyataannya ketika mereka hendak menyeberang dengan perahu dan diombang-ambingkan gelombang mereka mengalami ketakutan juga.
Ingat ketika mereka bersama Yesus di perahu dan Yesus tidur di buritan perahu. Semuanya ribut dan gelisah. Walaupun mereka berpengalaman dan Yesus ada bersama mereka, ketika berhadapan dengan bahaya, apalagi yang mengancam jiwa, toh mereka juga mengalami ketakutan.
Apalagi, dalam bacaan digambarkan ketakutan mereka ketika melihat sosok Yesus yang mendatangi mereka dengan berjalan di atas air. Mereka semakin takut.
Petrus pun kendati sudah jelas dibimbing oleh Tuhan Yesus, akhirnya juga menyerah oleh rasa takut ketika ada tiupan angin. “Takutlah dia dan mulai tenggelam.”
Ketakutan yang sama dapat terjadi pada siapa pun. Ketika orang dikuasai dan berfokus pada ketakutan apalagi secara berlebihan maka ketakutan itu dapat menenggelamkan atau setidaknya membuat orang tidak maju.
Harry Potter
Ketika merenungkan kisah ini saya jadi ingat film berjudul Harry Potter, The Deathly Hallows Part II (Relikui Kematian) yang tengah diputar di bioskop tentang penyihir bernama Harry Potter.
Harry adalah keturunan penyihir. Ketika Harry masih bayi, ia selamat dari keganasan Voldemort, seorang penyihir jahat kelas kakap yang juga membunuh kedua orang tua Harry.
Harry menjadi incaran Voldemort ketika ia beranjak dewasa karena Harry termasuk salah satu
termasuk salah satu dari sekian Horcrux, elemen magis yang sangat kuat, dimana dalam diri Harry tersimpan jiwa yang membuat Voldemort bisa hidup abadi.
Ketika menghadapi Voldemort, Harry banyak dibantu oleh teman dan gurunya. Namun ditunjukkan bahwa Harry sering mengalami ketakutan dan badannya menggigil ketakutan apalagi bila merasakan kedatangan Voldemort.
Harry takut mati. Ketakutan itu membuatnya bingung dan sering merasa tak bisa apa-apa. Sementara Voldemort semakin merajalela dan menelan banyak korban.
Singkat cerita Harry menyadari bahwa yang membuatnya gentar berhadapan dengan Voldemort adalah ketakutan yang menguasai dirinya. Ada kekawatiran tentang hidup. Dan itu bersumber di dalam dirinya.
Apa yang membuatnya bisa menghadapi ketakutan?
Harry menerima wasiat dari gurunya Profesor Dumbledore bahwa ia harus mengandalkan dirinya sendiri dan bukan pada tongkatnya, bukan pula mantranya.
Tongkat Elder
Pada bagian akhir film Harry digambarkan mematahkan dan membuang tongkat Elder, tongkat yang dipercaya para penyihir sebagai yang terkuat dari semua tongkat.
Harry juga merasa tumbuhnya keyakinan dalam dirinya bahwa dia tidak sendiri. Banyak orang yang mengasihinya dan selalu menemaninya, termasuk pertemuannya dengan arwah ibunya Lily Potter.
Ada benarnya kisah itu. Karena ketika kita merenungkan hidup kita sebagai orang beriman: sering kita dikuasi oleh ketakutan tak beralasan yang membuat kita curiga kepada sesama. Bahkan membuat kita lari dari tantangan dan masalah. Kita menjadi pengecut dengan tantangan hidup.
Tetapi Yesus menunjukkan dalam kisah Petrus tenggelam pada kita sekalian bahwa dalam menghadapi tantangan hidup kita harus percaya bahwa Yesus ada di depan dan menanti kita melewati gelombang seraya berkata: Jangan Takut!
Tuhan Yesus senantiasa melihat dan tahu kapan harus bertindak, itupun kalau kita dengan rendah hati berseru, “Tuhan tolonglah aku!”
Romo Wahyu Tri Haryadi SCJ, Direktur Karya Kepausan Provinsi Sumatra Selatan.