Actions speak louder than words, kata pepatah. Karakter orang jauh lebih objektif bisa dilihat dari pola-pola perilakunya daripada wacana omongannya. Dalam konteks Pemilihan Umum, pepatah ini bisa diterapkan untuk menelisik kualitas kelompok/partai maupun para calon.
a. Menyangkut para calon
Dari pengalaman kita tahu bahwa janji-janji kampanye kadang berhenti pada janji. Ketika janji ditagih, acapkali tidak ada tanggapan yang berarti dari sang pemimpin terpilih. Omongan memang bisa memerdaya orang. Janji-janji kampanye pun bisa mengelabui para calon konstituen.
Surat Gembala KWI (Konperensi Waligereja Indonesia) yang berjudul “Carilah Keadilan dan Kebenaran” (mengenai Pemilu Legislatif 2004) kiranya tetap relevan. KWI mengajak kita pertama-tama untuk mencari dan memilih calon yang terbukti memiliki integritas. Lain kata, bukan pertama-tama soal janji tetapi soal rekam-jejak para calon.
Misalnya, dengan tegas ditekankan oleh KWI: “… pilihlah orang-orang yang dapat dipercaya untuk memimpin […] dan menjalankan pemerintahan demi kesejahteraan umum. Cermatilah, apakah mereka memang dapat dikatakan orang baik. Layakkah mereka dijadikan pemimpin? Jujurkah mereka? Mana yang mereka utamakan: kepentingan pribadi, golongan sendiri atau kepentingan umum? Pilihlah mereka yang benar-benar mengutamakan kepentingan umum dan tidak korup.”
Bahkan seandainya dari antara yang kita kenal ternyata tidak ada yang dipilih, KWI masih mendorong kita untuk mencari “di kalangan orang-orang baru, bukan mantan pejabat yang bermasalah dan bukan mereka yang mempergunakan kekerasan untuk memenangkan diri; bukan pula mereka yang menyalahgunakan senjata yang mematikan atau memanipulasi media massa demi kepentingan sendiri atau golongannya saja […] orang-orang muda yang cerdas, masih segar, mempunyai pendirian tegas, mandiri dan tanpa pamrih untuk benar-benar terlibat dalam mengusahakan kesejahteraan umum.”
Lebih lanjut kita diajak oleh KWI untuk memilih calon “yang mengembangkan sikap toleran dalam kehidupan antarumat beragama, mereka yang mengamalkan nilai-nilai luhur agamanya sehingga dengan nyata menghargai orang-orang di luar agamanya sendiri. Pilihan kita tidak pandang agama. Kita utamakan mutu moral dan kemampuan pribadi.
Kita tidak memberikan suara kepada mereka yang tidak memberi perhatian pada pelestarian lingkungan, yang menganggap diri kebal hukum dan yang tidak menghormati hak serta martabat perempuan […] yang betul-betul cakap dan mampu. Jangan memilih orang yang malas, ingkar janji, tidak disiplin, tidak mempunyai hati untuk rakyat kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Mari kita cari dan pilih orang yang memiliki integritas moral yang tinggi.”
Butir-butir yang disampaikan oleh KWI di atas di satu sisi adalah kriteria ideal (artinya, yang seharusnya); tetapi di sisi lain adalah kisi-kisi yang bisa digunakan untuk menyermati kualitas real para calon dengan melihat bukti dalam rekam-jejak mereka, bukan janji-kampanye.
Konsekuensinya adalah bahwa kita mesti lebih pro-aktif mencari tahu mengenai siapa para calon tersebut. Dengan orang-orang yang bisa kita percayai dan relatif netral kita bahkan bisa bertukar informasi dan berdiskusi. Semakin memadai, lengkap dan objektif informasi yang kita peroleh, semakin baik.
Mengapa rekam-jejak menjadi penting? Karena akan diperoleh gambaran mengenai pola-pola perilaku apa saja yang konsisten: apakah konsisten dekat dengan rakyat kecil atau hanya dekat semasa kampanye saja? apakah konsisten dalam hal transparansi manajemen keuangan atau banyak wilayah abu-abunya? apakah konsisten mengedepankan kepentingan umum atau demi kelompok tertentu saja? dst.
Karakter orang tidak bisa berubah drastis dalam hitungan jam atau hari –apalagi kalau hanya dibedaki dengan politik pencitraan. Maka pola-pola konsisten tersebut membantu kita mengenali karakter para calon yang sebenarnya. Jika dalam rekam-jejak terbukti bahwa si calon, umpama saja, konsisten dekat dan memerjuangkan rakyat kecil, transparan dalam manajemen keuangan, bebas dari indikasi korupsi, dan juga mengutamakan kepentingan umum; maka kita lebih memiliki harapan (atau keyakinan) bahwa ke depannya apabila yang bersangkutan terpilih pola-pola tersebut akan berulang. Bagaimana kalau perilaku yang konsisten adalah justru pola ketidak-pedulian kepada rakyat kecil, kecurangan, korupsi, dst? Bisa diramalkan sendiri.
b.Menyangkut kelompok dan/atau partai
Tanpa visi jelas, kelompok apa pun akan mudah kehilangan arah. Tanpa misi yang cerdas, organisasi apa pun hanya sekedar menjadi gerombolan. Visi yang jelas dan misi yang cerdas adalah keharusan.
Namun demikian, hendaknya kita tidak terkecoh oleh rumusan visi-misi kelompok atau organisasi apa pun. Rumusan kata bisa dirangkai dan dipoles. Praxis atau perilakulah yang seharusnya dijadikan acuan untuk melihat sejauh mana visi-misi yang dirumuskan juga telah menjiwai suatu kelompok/organisasi/partai.
Masih merunut kepada Surat Gembala tersebut di atas, kita diajak untuk memelajari Anggaran Dasar partai-partai peserta Pemilu. Konkritnya, kita mesti dengan cerdas mengritisi platform partai-partai. Ditegaskan oleh KWI bahwa Pancasila harus menjadi acuan gerak-juang partai.
Kita pun didorong untuk memelajari praxis partai-partai tersebut, antara lain mengenai “cara mereka berkampanye dan bagaimana mendapatkan dana untuk itu” dan juga mana saja “partai yang rencana kerjanya berpihak kepada rakyat dan bukan pada uang.” Politik uang kita tolak, demikian ditegaskan oleh Surat Gembala tersebut.
Ketika sikap dan perilaku suatu partai menjadi plin-plan, kita meragukan sejauh mana visi-misi partai telah menjiwai para kader partai. Tadi pagi bilang A, sorenya koq sudah bilang B. Kita memertanyakan ketulusan mereka. Kita mencurigai agenda-tersembunyi (hidden agenda) mereka. Kita sulit memercayai kredibilitas partai yang semacam itu.
Visi harus jelas, misi mesti cerdas. Tetapi itu belum cukup. Praxis (perilaku) partai ternyata juga harus konsisten secara tegas. Ada keutuhan antara yang diyakini (ideologi, Pancasila!), diwacanakan dan dilakukan.
c. Individu si calon dan kelompoknya
Akhirnya, perlu ditambahkan peringatan dari KWI bahwa “pribadi tidak bisa dilepaskan dari lingkungannya. Maka, cermatilah juga lingkungan hidup mereka. Mungkin Anda merasa telah memperoleh calon yang pantas dipilih. Lanjutkanlah dengan meneliti lingkungannya: dengan siapa dia bergaul, dengan siapa dia membentuk jaringan dan kerjasama. Kalau calon pilihan Anda ternyata berada di dalam jaringan orang-orang yang sebetulnya tidak berniat untuk melibatkan diri dalam pengembangan negeri ini, jangan jatuhkan pilihan kepadanya. Dekat-dekat dengan kerbau yang sedang berkubang, kotor juga jadinya.”
Pada Putaran I Pilgub DKI yang lalu (11 Juli 2012) ada dua pasangan calon independen dan empat pasangan calon yang diusung oleh partai-partai. Pada Putaran II (20 September 2012) ini nanti tidak ada pasangan calon independen karena dua pasangan calon yang akan maju adalah yang diusung oleh partai-partai.
Seraya memelajari rekam-jejak para calon yang akan maju pada Putaran II nanti, kiranya juga bijaksana untuk melihat partai-partai yang mengusung kedua pasangan calon: pola-pola macam apa yang konsisten ada?
Jika karakter individu maupun kelompok lebih objektif bisa dilihat melalui pola-pola perilaku daripada wacana verbal, betapa kita mesti lebih pro-aktif dalam memelajari seluk-beluk para calon maupun partai-partai pendukungnya. Nyoblos memang penting. Tetapi proses untuk bisa nyoblos dengan nurani cerdas (tidak asal nyoblos) ternyata juga sangat diperlukan.
Tim GSC Community
Dalam konteks penguatan sistem kepartaian dan memperkuat daya tahan stabilitas demokrasi presidensial, pemberlakuan ambang batas legislatif (electoral thresold dan electoral parlementary) 20-25% pada Pemilu 2009 berpotensi positif, apabila dibarengi konsistensi yang koheren. Dengan demikian, pengembangan institusionalisasi (kelembagaan) partai politik senantiasa menjadi bahasan yang serius dari para ilmuan politik di tanah air. Pasalnya sampai saat ini pengembangan institusionalisasi partai politik oleh partai-partai politik belum maksimal. Sehingga dari waktu ke waktu, para ilmuan politik ditanah air, sering mencari formula yang tepat bagi maksimalisasi pengembangan institusionalisasi partai politik di tanah air. Salah satu problematika partai politik di Indonesia dewasa ini adalah belum terlembaganya partai sebagai organisasi modern. Secara akal sehat, tak ada demokrasi yang bisa bekerja efektif jika tingkat polarisasi dan fragmentasi partai terlalu tinggi seperti dianut sistem kepartaian bangsa kita. Energi partai-partai di parlemen acap kali hanya tersedot untuk memperdebatkan soal-soal elementer seperti tata bahasa dan istilah dalam berbagai rancangan kebijakan (Cetro, 2007; 8).