Meletakkan jari pada mulut memiliki macam-macam makna. Pertama, menyuruh orang diam alias tak bicara. Kedua, meminta orang menjaga ketenangan. Ketiga, tertegun amat mendalam hingga terdiam.
Dalam dialognya dengan Tuhan yang menyampaikan pertanyaan-pertanyaan mendasar kepadanya, Ayub tidak mampu menjawab. Nyaris terdiam.
”Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu? Mulutku kututup dengan tangan. Satu kali aku berbicara, tetapi tidak akan kuulangi; bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan.” (Ayub 39: 37-38).
Bacaan hari ini (Ayub 38: 1.12-21; 39: 36-38) diambil dari bagian jawaban Tuhan kepada Ayub (Ayub 38-42).
Jawaban itu membuat Ayub kehabisan kata-kata dan meletakkan jari pada mulutnya. Yang dilakukan Ayub mengingatkan bahwa manusia tidak mungkin berargumen dengan Tuhan.
Menghadapi misteri hidup, baik yang positif serba mengagumkan maupun yang negatif menyedihkan tidak perlu membuat manusia mempertanyakannya. Sebaliknya, manusia diajak untuk merenungkan misteri karya-Nya.
Bersama pemazmur kita dapat belajar tentang hal itu. “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku,
menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat.” (Mazmur 139: 13-14).
Harus diakui bahwa berkat ilmu pengetahuan dan teknologi manusia dapat mengetahui sebagian kecil dari misteri kehidupan ini. Sisanya nyaris belum terpahami dan terlacak oleh teknologi. Mereka tetap berada dalam genggaman kebijaksanaan ilahi.
Jawaban atas pertanyaan mengenai hidup ini memberikan rasa damai ketika didasari keyakinan bahwa Tuhan kita itu sumber kebenaran, cinta kasih, belas kasihan, dan keadilan.
Di samping bencana, kekacauan, dan kekerasan, dunia kita juga diwarnai dengan Kebenaran, Kasih, Keindahan. Marilah mengaguminya dengan posisi jari menutup mulut.
Jumat 30 September 2022
PW Santo Hieronimus, imam dan pujangga Gereja