TAHUN 2018 ini, Keuskupan Manado akan merayakan 150 tahun kembalinya Gereja Katolik di wilayah yang di kemudian hari menjadi Keuskupan Manado. Tahun 2017 lalu, saya ingat Keuskupan Agung Jakarta telah merayakan 210 peringataan Gereja Katolik Keuskupan Agung Jakarta.
Dalam rangka peringatan itu, baiklah kita belajar dari sejarah tentang peristiwa–peristiwa yang memungkinkan Pastor Jan de Vries SJ bisa sampai di Minahasa pada tanggal 14 September 1868.
Louis Napoleon Bonaparte – Raja Belanda
Gereja Katolik Indonesia yang tumbuh dan berkembang tak terbendung sejak 1808
Tanggal 5 Juni 1806, Raja Louis Napoleon Bonaparte, seorang Katolik, naik tahta menjadi Raja Belanda. Ia terlahir dengan nama Luigi Buonaparte di Ajaccio, Pulau Corsica, sebagai adik dari Joseph Bonaparte, Napoleon I, Raja Perancis.
Sebagai Raja Belanda, ia lalu mengambil nama ‘bercitarasa’ khas Belanda; menjadi bernama Lodewijk. Raja Perancis, kakak kandungnya, menghendaki agar Lodewijk ini tetap menjadi bawahannya yang diberi kewenangan berkuasa di Belanda. Namun, ternyata Lodewijk berusaha menjadi Raja Belanda dalam arti yang sesungguhnya.
Bahasa Belanda dengan aksen Perancis-nya jelek, sehingga ketika ia mau memperkenalkan diri sebagai Koning van Holland (Raja Belanda) ia mengucapnya dengan “Konijn van ‘Olland” (Kelinci dari Belanda).
![](http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2018/02/katedral.jpg)
Ia menjadi Raja Belanda kurun waktu 5 Juni 1806 – 1 Juli 1810 (hanya empat tahun saja). Naik tahtanya Raja Lodewijk yang beragama katolik ini mematahkan dominasi dan monopoli Protestan di Hindia Belanda (Indonesia) dan memungkinkan misionaris katolik masuk ke wilayah Nusantara.
Almarhum Romo Rudolp Kurris SJ menulis dalam bukunya Sejarah Katedral Jakarta pada halaman 9 antara lain sebagai berikut:
“Pada tanggal 8 Mei 1807, pimpinan Gereja Katolik di Roma dengan persetujuan Raja Louis Napoleon dapat mendirikan Praefektur Apostolik untuk Hindia Belanda. Sebagai Praefek Pastolik pertama diangkat Pastor Jakobus Nelissen Pr (umur 55 tahun). Ia datang ke Batavia ditemani oleh Pastor Lambertus Prinsen Pr (umur 29 tahun).
Mereka berangkat tanggal 22 Juli 1807 dari Pantai Texel di Holland Utara dan keadaan perang memaksa mereka menempuh jalan memutar melalui New York, dan baru tiba di Batavia sembilan bulan kemudian, yaitu tanggal 4 April 1808. Kedua imam praja dari daerah Limburg (Belanda Selatan) inilah yang bertugas melayani umat katolik di seluruh Praefektuorat Apostolik Hindia Belanda (dari Sabang sampai Merauke saat itu).
![](http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2018/02/herman-willem-daendels_20171018_072543-1.jpg)
Kedatangan Praefek Apostolik J. Nelissen Pr itu hanya terpaut tiga bulan lebih kemudian dari kedatangan Gubernur Jenderal Batavia yang baru, tanggal 5 Januari 1808, Herman Willem Daendels yang sudah disebutkan tadi. [1] Dan ternyata Herman Daendels itu adalah seorang Perancis dan seorang katolik. [2]”
“Nama Gubernur Jenderal itu terkenal sebagai nama jalan Daendels dari Anyer di Jawa Barat – Panarukan di Jawa Timur itu yang juga disebut Jalan Raya Pos. Karena jarak antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa itu disingkat menjadi 7 hari. Ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat yang oleh Daendels kemudian dikelola dalam Dinas Pos. Untuk mengerjakan jalan itu, Daendels dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai pemimpin yang mempraktikkan sistem kerja paksa yang mengakibatkan banyak pekerja inlander (pribumi) meninggal.
Tetapi dari sudut pandang Gereja Katolik, Daendels adalah seorang pendukung Politik Etis dan saksi mata Revolusi Perancis yang menekankan liberté, egalité et fraternité, (kebebasan, kesamaan, persaudaraan) sehingga ia memberikan kesempatan yang sama baik kepada Misi Katolik dan Zending Protestan untuk berkarya di Hindia Belanda. Apalagi ia diangkat oleh Raja Belanda yang beragama Katolik, Lodewijk itu pulalah yang juga memungkinkan Pastor J. Nelissen dan L. Prinsen bisa sampai ke Batavia.
Pastor Nellisen dan Prinsen tiba di Batavia dan sebulan kemudian, tanggal 16 Mei 1808, sebagai pastor Paroki di Batavia ia lalu menunjuk enam orang berpangkat tinggi sebagai Dewan Pastoral, empat orang mempunyai kedudukan tinggi dalam politik dan dua orang Letnan kolonel. Dan ada nama lain yang ditunjuk sebagai Komisaris Jenderal Koloni Belanda bernama Leonard du Bus de Gisignies. Yang terakhir ini adalah seorang bangsawan Belgia, yang kalau pas dia ikut misa, maka seluruh stafnya, juga yang bukan beragama katolik, harus hadir untuk menjaga keamanannya.
Karel Steenbrink juga mencatat bahwa sebelum kedatangan dua imam Belanda bulan April 1808 itu, sebenarnya sudah ada kegiatan misi di Pulau Bangka sejak tahun 1780-an. Di sana sudah ada komunitas katolik peninggalan dari karya misi zaman para misionaris Portugis dari Malaka.
Dari pulau Penang yang sudah menjadi pusat perdagangan penting waktu itu, terdapat sejumlah migran katolik bangsa Tionghoa yang pergi ke Pulau Bangka, juga Kalimantan, dan Sumatera bagian Timur. Mereka membentuk komunitas katolik yang hidup, hampir tanpa kehadiran imam.[3]” (Berlanjut)
Catatan kaki:
- Herman Willem Daendels served as the 36th Governor General of the Dutch East Indies between 1808 and 1811. His best-known achievement was the construction of the Great Post Road (Indonesian: Jalan Raya Pos) across northern Java. The road now serves as the main road in the island of Java, called Jalur Pantura. The thousand-kilometre road was completed in only one year, during which thousands of Javanese forced labourers died.
- Lihat Karel Steenbrink, Catholics in Indonesia, bagian Preface, hlm XVI.
- Steenbrink, hlm 10.