BUKU I Remember Flores (1957) ini ditulis oleh Kapten Tasuku Sato. Bku ini hadiah dari Mgr. Jos Suwawan untuk penulis dan isinya sungguh menarik.
Buku ini bercerita tentang pengalaman Tasuku Sato sebagai Komandan Perang Jepang di Flores, tetapi isinya tentang sejarah Gereja Katolik.
Ketika Kapten Sato naik pesawat dari Tokyo menuju Indonesia di musim panas tahun 1943, ia berada dalam satu pesawat dengan tiga orang yang berbusana jubah. Sato tidak mengenal Gereja Katolik dan tidak pernah melihat imam. Sebagai orang penting di Jepang yang mempunyai tugas khusus di Flores, ia hanya merasa heran mengapa ada tiga orang dengan pakaian rohani itu ikut satu pesawat dengannya.
Dalam perjalanan ke Flores, ternyata pesawat yang ditumpanginya itu singgah–singgah, termasuk singgah di Langowan dan Makassar. Saya pribadi heran, apakah pada waktu itu sudah ada landasan pesawat di Langowan yang bisa didarati? Atau dengan pesawat amfibi mendarat di Danau Tondano? Karena ketika sampai di Flores pun, ia harus mendarat di laut yang waktu itu belum ada landasan yang bisa didarati pesawat.
Yang sangat menarik adalah bagaimana Kapten Sato terheran–heran melihat tiga orang berjubah itu kemudian bertemu dengan umat katolik di Langowan. Mereka mencium tangannya dan semakin lama semakin banyak orang datang dan mengerumuninya dan kemudian mengadakan doa bersama (Misa).
Kapten Sato menyebutkan nama ketiga orang itu yang adalah ternyata Mgr. Ogihara, Uskup Hiroshima; Mgr. Yamaguchi, Uskup Nagasaki dan sekretarisnya Pastor Iwanaga.
Kapten Sato belum tahu siapa itu Uskup bagi umat katolik dan seperti apa Gereja Katolik. Ia hanya melihat kejadian yang mengagumkan bagaimana seorang asing dan penjajah seperti Uskup Yamaguchi itu diterima dengan baik oleh umat katolik di Langowan, diciumi tangannya dan diajak bercerita walaupun tidak mengerti bahasanya.
Setelah mereka naik pesawat kembali untuk menuju Makassar, Kapten Sato bertanya, bagaimana hal itu bisa terjadi? Uskup dengan tersenyum menjawab: Itulah Gereja Katolik. Dan kami tadi merayakan Ekaristi dalam bahasa Latin yang mereka tahu sehingga kami bersatu dalam Tuhan sebagai umat Katolik.
Tentu pada tahun 1943 itu, semua pastor Belanda di Manado juga ditawan oleh Jepang di Penjara Tuminting. Tahun 1999, ketika saya bertemu Pastor Petit di Tilburg dan berjalan jalan di taman setelah makan siang, Pastor Petit berkata: “Saya mestinya sudah mati di Penjara Tumiting tahun 1943, ketika Jepang bilang akan menghukum mati kami- semua orang Belanda. Ternyata sampai sekarang tahun 1999 ini saya masih hidup di sini.”
Pastor Petit pulang ke Belanda sekitar tahun 1986 atau 87 dan dalam keadaan sakit serius. Ternyata, ia masih hidup sampai tahun 1999 itu.
Tentang kedatangan tentara Jepang di Manado, Pastor M. Stigter MSC menulis demikian: “Tanggal 10 Januari 1942, tentara Jepang masuk ke Kema, Manado, dan Langowan dengan kekuatan 12.000 pasukan, sehigga kekalahan tentara Belanda perkara kecil saja. Para pastor, suster, bruder dan orang-orang Belanda ditawan. Kamp tawanan di Manado adalah salah satu yang terburuk di seluruh Indonesia. 50 % (setengah) dari tawahan mati. Dua dipotong kepalanya dan satu didera sampai mati.” (Buku Sejarah Indonesia 3a hlm 486.)
Diutus oleh Pemerintah Jepang
Perjalanan ketiga Uskup dan seorang imam ke Flores itu dalam rangka diutus oleh Pemerintah Jepang untuk melayani umat Katolik di Flores. Pengalaman kontak pertama Kapten Tasuku Sato dengan para uskup dan imam di pesawat menuju Flores itu nantinya akan mempengaruhi kebijakannya dalam mempimpin Flores.
Ketika mereka tiba di Flores, Uskup Yamaguchi dikalungi bunga oleh anak–anak Flores. Sebagai orang Jepang yang cinta kepada anak–anak, Kapten Sato merasa terharu. Padahal, Kapten Sato menganggap bahwa Uskup Yamaguchi adalah bagian dari penjajah Jepang yang ditugaskan oleh pemerintah Jepang untuk menjamin ketertiban dan keamanan dengan memberikan pelayanan rohani kepada umat.
Pemerintah pendudukan Jepang mengambil kesimpulan untuk mengutus Uskup dan imam ke Flores, karena melihat iman katolik di Froles merupakan bagian esensial dari masyarakat. Kalau mereka tidak mendapatkan pelayanan karena uskup dan para imamnya dipenjarakan, maka umat bisa memberontak dan kekuatan Jepang tidak akan mampu menjaga ketertiban.
Sebulan sebelum kedatangan Kapten Sato, pendahulunya bersama komite sudah memutuskan untuk membuat kebijakan yang intinya anti agama Katolik dan anti misionaris Belanda dengan apriori bahwa mereka itu membahayakan Pendudukan Jepang. Kapten Sato yang mengenal langsung siapakah itu Uskup dan umat katolik tidak percaya pada keputusan pendahulunya itu.Bahkan ia juga mencari tahu bagaimana hal itu telah diputuskan yaitu dengan prasangka dan apriori mengenai umat Katolik yang dianggap sebagai agama aneh dan para misionaris sebagai bagian dari penjajah Belanda.
Bukan mengganti Uskup Belanda
Pengalaman kontak langsung Kapten Sato dengan para uskup di imam di pesawat membuatnya tidak melaksanakan kebijakan sama seperti pendahulunya.
Kapten Sato menjadi lebih mengerti, ketika Uskup Yamaguchi sendiri mengungkapkan perasaannya yang tidak mungkin menerima penugasan pemerintah Jepang untuk menjadi Uskup di Flores mengantikan Uskup Mgr. Leven, Uskup Flores berdarah Belanda.
Jejak Allah dalam Sejarah: Para Misionaris Praja dari Belanda (2)
Uskup Yamaguchi menjelaskan kepada Kapten Sato seperti ini:
“Gereja Katolik itu tidak seperti itu. Kita, Pemerintah Jepang yang sedang menjajah Indonesia ini tidak punya kuasa untuk mengganti Uskup Flores yang orang Belanda dengan Uskup Jepang. Uskup itu dipilih dan diangkap oleh Paus di Roma. Kalau kita Pemerintah Jepang melakukan hal itu, maka hal itu adalah sangat memalukan di dunia internasional dan kita dianggap tidak mengerti apa artinya Gereja Katolik. Kami para uskup dan para pastor datang ke Flores hanya untuk membantu melayani umat di sini, karena para uskup dan pastor kamu penjarakan. Jadi bukan untuk mengganti mereka dengan pengangkatan dari Pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang tidak bisa mengangkat saya menjadi Uskup Flores menggantikan Mgr. Leven.”
Kapten Sato menjadi tahu dari penjelasan Mgr. Yamaguchi bahwa orang–orang katolik itu tunduk kepada pemerintah seperti kepada Tuhan. Mereka bukan pemberotak kepada penguasa. Kamu bisa lihat sendiri bagaimana orang–orang katolik di Jepang berani mati membela negara kita. Dan orangorang katolik itu adalah orang orang yang berani membela imannya sampai mati.
Ingat para martir di Nagasaki yang dianiaya oleh para Shogun supaya murtad dan penguasa Jepang menganggap agama Katolik berbahaya untuk masyarakat Jepang. Mereka lebih baik mati dari pada menyangkal Yesus Kristus yang mereka imani.”
Jepang juga mengutus seorang imam di Manado untuk melayani seluruh umat ketika para pastor ada dalam tawanan. Selama Pendudukan Jepang, ada tiga imam yang bisa melayani umat di Manado yaitu dua orang Minahasa dan satu imam dari Jepang.
Pastor M. Stigter menjelaskan tentang Zaman Jepang itu sebagai berikut:
“Tanggal 24 Pebruari 1944, Pastor Simon Lengkong dan Wens Lengkong, kakak beradik yang ditahbiskan imam di Yogyakarta, tiba di Manado dan berkeliling melayani umat. Mereka dilarang oleh Jepang untuk mengunjungi para pastor dan rohaniwan yang ditawan dan karena itu mereka dilarang berkontak dengan musuh.”
Tanggal 3 Desember 1944 tibalah seorang pastor Jepang, Pastor Kanagawa. Imam sejatilah ia.
Ia membanting tulang untuk memelihara kawanan yang menjadi yatim piatu. Kegiatannya tidak tahu batas. Cintanya kepada umat tidak terhingga. Para umat katolik tidak lain memberikan kesaksiannya tentang “Pastor istimewa”.
Sekedar menambahkan, kalau saya tidak salah, pada masa pendudukan Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi dua bagian. Wilayah Jawa, Madura, Sumatra (dan sekitar Semenanjung Melayu) dikuasai oleh Angkatan Darat (Rikugun). Sementara itu, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil (sekaran Nusa Tenggara), Maluku dan Papua dikuasai oleh Angkatan Laut (Kaigun). Waktu itu Kaigun termasuk salah satu angkatan laut terkuat di dunia dengan persenjataan terbesar dan termodern di wilayah sekitar Samudra Pasifik. Ben Mboi (mantan gubernur NTT) yang mengalami masa pendudukan Jepang memberi kesaksian bahwa saat itu di Flores ditempatkan pasukan Jepang dalam jumlah yang banyak, kuat dan lengkap persenjataannya. Hal ini cocok dengan pengakuan Tasuku Sato yang memang menyatakan bahwa selama pendudukan Jepang, Kaigun menetapkan pasukan terbanyak, terkuat dan terlengkap persenjataannya HANYA DI FLORES demi menjaga stabilitas masyarakat, khususnya untuk mencegah pergolakan dan pemberontakan. Ternyata setelah ditelusuri, dijalani dan dirasakan oleh Sato sendiri, semua ini ternyata adalah akibat dari informasi intelejen Jepang yang kurang akurat. Dalam pandangan intelejen Jepang saat itu, golongan Katolik dipandang sebagai golongan radikal. Para martir Jepang adalah contoh konkretnya. Penyiksaan yang kejam ternyata tak membuat mereka meninggalkan imannya. Praduga ini ternyata meleset saat diterapkan di Flores, karena sekalipun mayoritas penduduknya adalah golongan Katolik, ternyata mereka bukanlah kaum pemberontak seperti yang dicurigai.
Salam hangat dari Flores
RP. Albertus Indra Rahadian, OCD
copy paste