Tempora mutatur et nos mutatur in illis. Guratan waktu itu meniscayakan kita untuk ikut menoreh kisah.
Kisah yang terus berlanjut …
Peziarahan Percetakan-Penerbit Kanisius menapak jejak pada langkah ke-95 dalam tarikh Masehi. Berakar dalam kehendak kuat untuk berwarta, Rama J. Hoeberechts, SJ melayangkan surat kepada pemimpin Bruder FIC, untuk membantu karya misi di Jawa.
Beliau menulis, “Jika Bruder menunggu sampai ada tanda dari surga, maka sudah ada. Tanpa Bruder, kami tidak dapat melanjutkan karya misi di Jawa” (Dunum Desursum hlm. 9).
Berdirinya Percetakan-Penerbit Kanisius 95 tahun yang lalu tidak bisa dilepaskan dari sejarah Gereja Indonesia, khususnya dalam perkembangan misi di Jawa. Rama Hoeberechts menulis surat kepada pemimpin bruder-bruder FIC di Maastricht karena benih yang ditabur di Tanah Jawa sudah mulai bertunas. Tunas kecil itu membutuhkan per-hati-an supaya mampu berkembang dan berbuah limpah.
Berlokasi di bekas pabrik besi di Jalan Panembahan Senopati 16, Yogyakarta, sebuah percetakan yang diberi nama Canisius Drukkerij didirikan. Percetakan ini untuk mendukung geliat pendidikan yang berada di bawah Yayasan Kanisius, terutama untuk mendukung kebutuhan buku tulis dan buku-buku bacaan lainnya.
Pada tahun 1926, percetakan di Jalan Senopati ini bertumbuh sebagai embrio penerbit untuk memenuhi kebutuhan buku-buku pelajaran agama Katolik dan buku-buku doa. Salah satu buku doa yang paling fenomenal adalah Padoepan Kentjana. Buku yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1926 dan masih dicetak ulang sampai sekarang, tentu dengan beberapa revisi.
Sejarah Kanisius sudah panjang.
Ada ragam pengalaman yang mendewasakan untuk bisa berdiri sampai sekarang. Berawal dari dua mesin dan tiga karyawan, Canisius Drukkerij kini hadir dalam badan hukum yang baru: PT Kanisius. Yang patut disyukuri, apa pun badan hukum yang menaungi, kehadiran Kanisius tidak akan pernah lepas dari tugas perutusannya sebagai pewarta Kabar, bagian tak terpisahkan dari karya kerasulan Gereja. Semangat yang dihidupi para pendiri pada abad yang lalu terus diwariskan dan dihidupi oleh generasi zaman ini.
Berlibat dalam Sejarah Keselamatan
Sejarah panjang Kanisius adalah sejarah panjang komunikasi yang bertaut erat dengan tugas mengkomunikasikan Diri Allah. Sebagai bagian dari karya Gereja, Kanisius dipanggil dan diutus untuk melanjutkan komunikasi Allah Tritunggal dalam pewahyuan dan penjelmaan kini dan di sini. Perutusan ini didasarkan pada Injil Matius, “Pergilah… wartakanlah, komunikasikanlah …, jadikan semua bangsa murid-Ku…” (bdk. Mat 28:19).
Tugas perutusan ini pula yang ditegaskan oleh para Bapa Konsili dalam dokumen tentang misi Ad Gentes no 2:“Pada hakikatnya Gereja peziarah bersifat misioner sebab berasal dari perutusan Putra dan perutusan Roh Kudus menurut rencana Allah Bapa. Adapun rencana itu bersumber pada cinta atau kasih asali Allah Bapa; dari Dialah Putra lahir dan Roh Kudus berasal dari Putra.”
Pada hakikatnya, seluruh sejarah keselamatan adalah sejarah komunikasi Allah yang bermula sejak penciptaan manusia sesuai “gambar dan rupa-Nya” dan berpuncak pada Yesus Kristus sebagai kepenuhan komunikasi Allah. Dalam Pribadi Yesus Kristus, Allah mengkomunikasikan Diri-Nya secara penuh kepada seluruh ciptaan. Komunikasi ini dilanjutkan oleh Gereja sampai pada zaman ini dalam terang Roh.
Dalam konteks perutusan di zaman inilah Kanisius mengambil peran aktifnya. Dalam terang Roh, kehadiran Kanisius tidak melulu sebagai badan usaha yang bergerak dalam bidang percetakan, penerbitan, dan perdagangan, melainkan sungguh hadir sebagai bagian dari sejarah keselamatan. Atas kesadaran akan kehadiran ini, Kanisius tidak perlu menjadi jumawa, tetapi perlu menjalani dengan segala kerendahan hati dalam melayani. Bicara tentang sejarah keselamatan, bukan perkara omong suci atau persoalan janji surga, melainkan tindakan konkret-implementatif dalam konteks.
Pelayanan yang dilakukan Kanisius dalam bidang percetakan-penerbitan dan penyebarluasan informasi dalam konteks pewartaan saat ini sudah dimulai sejak zaman Gereja Perdana ketika Kitab Suci dan tulisan para pujangga Gereja disalin-gandakan. Aktivitas itu mendapatkan daya dorong yang amat kuat ketika Bapak Gutenberg menemukan mesin cetak.
Temuan teknologi ini tentu menjadi alasan kuat untuk bersyukur karena upaya-upaya pewartaan relatif menjadi lebih mudah. Temuan-temuan teknologi “canggih” selanjutnya, kiranya juga memberi daya dukung dalam pewartaan dalam konteksnya masing-masing. Hal ini sejalan dengan dekret Inter Mirifica no. 13:“Hendaklah semua putra putri Gereja serentak dan secara sukarela mengusahakan agar upaya-upaya komunikasi sosial dengan cekatan dan seintensif mungkin dimanfaatkan secara efektif dalam aneka karya kerasulan, menanggapi tuntutan situasi setempat dan semasa ….”
Sinergi bakti untuk Negeri
Membaca kembali penggalan surat Rama Hoeberechts, SJ di atas, kita dapat memahami bahwa sejak awal didirikan, kiranya Kanisius tidak bisa terlepas dari paradigma bersinergi. Sinergi awal antara Serikat Yesus, FIC, dan kaum awam. Sinergi ini mendesak untuk dilakukan karena parameter keberhasilan misi di Jawa tidak ditunjukkan pada berapa banyaknya anggota Serikat Yesus membaptis orang, melainkan pada kepedulian Gereja dalam persoalan paling mendasar yang dihadapi.
Salah satu persoalan besar yang dilihat oleh Rama Van Lith kala itu adalah pendidikan kaum pribumi. Membangun sinergi dengan beragam pihak, upaya pencerdasan tersebut dimulai dengan mendirikan Sekolah Pendidikan Guru di Muntilan pada tahun 1908. Setelah tenaga pendidik tersedia, langkah selanjutnya, pada 1912, diselenggarakan aktivitas pengajaran pada sekolah-sekolah rakyat di Jawa Tengah. Perkembangan selanjutnya, pada 1918, untuk menghimpun sekolah-sekolah tersebut dalam satu perkumpulan, didirikanlah Canisius Vereeniging. Dan untuk mendukung aktivitas pembelajaran, bersinergi dengan bruder-bruder FIC dan para awam, pada 1922, didirikanlah Canisius Drukkerij.
Dalam penggalan-penggalan sejarah selanjutnya, sinergitas mampu membawa Kanisius pada usia ini. Ambillah kisah tahun 1981 ketika krisis keuangan menimpa sehingga Serikat Yesus berniat menjual percetakan. Sinergitas seluruh karyawan zaman itu mampu membebaskan Kanisius dari ancaman. Atau, kisah beberapa tahun lalu ketika transformasi menjadi Perseroan Terbatas harus dilalui. Restorasi perusahaan dengan perubahan tata kelola organisasi menjadi lebih profesional menghardik kenyaman-mapanan yang selama ini dirasakan. Pengembangan penerapan ISO 9001:2008 ke seluruh divisi juga menimbulkan ragam bentuk keberatan. Segala perubahan itu memicu terjadinya guncangan-guncangan internal dan surutnya kepercayaan para pemangku kepentingan yang menjadi tantangan tersendiri. Namun sekali lagi sinergi, baik ke dalam maupun ke luar menjadi pilihan yang paling baik untuk diambil. Salam sinergi.
Kesadaran sebagai bagian dari sejarah keselamatan tidak akan menemukan wujud konkretnya jika tidak dibarengi dengan tata kelola yang unggul. Sinergi – sun-energes, aktif bekerja bersama-sama, berdaya guna, menyatupadukan daya upaya untuk mencapai tujuan bersama menjadi warisan para pendiri yang hendak dihidupi. Di dalamnya, terkandung pengakuan dan pemberian kesempatan seluas-luasnya kelebihan yang satu untuk menutup kekurangan yang lain. Kesatupaduan itu menghasilkan produktivitas.
Tentu akan muncul ragam penjelasan tentang apa dan bagaimana sinergi itu. Misalnya, Pak Stephen Covey yang menjelaskan sinergi secara matematis dengan perhitungan 1 + 1 = 3. Namun demikian, tulisan ini bukan ulasan tentang sinergi. Dalam konteks sejarah panjang Kanisius sebagai agen pewarta, sinergi berarti kita; bukan aku atau kamu. Dalam pembacaan ulang atas sejarah panjang Kanisius inilah yang kemudian menggerakkan kami untuk memilih tema ulang tahun ke-95 dalam rangka menyongsong 1 abad Kanisius “Sinergi Bakti untuk Negeri”.
Ribuan pulau imaji inilah yang menjadi locus di mana medan karya pewartaan pertama-tama menemukan konteksnya. Pewartaan tidak pernah an sich. Ia akan selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu.
Bakti Kanisius kepada Negeri sudah dilakukan sejak didirikan 95 tahun lalu, dan akan terus berlanjut sampai zaman yang akan datang. Bakti untuk Negeri bukan sekadar jargon atau slogan romantis yang hendak menggoyang emosi sesaat. Sejarah panjang Kanisius memberi bukti baktinya. Bakti bagi pendidikan kaum pribumi dan penumbuhkembangan iman Gereja awal, bakti bagi perjuangan pergerakan dengan mencetak majalah-majalah pergerakan, bakti bagi perjuangan eksistensi Negara Konstitusi dengan mencetak ORI dan perangko, dan seluruh bakti bagi Gereja dan pendidikan yang memanusiakan dalam ribuan judul buku dan multimedia yang pernah, sedang, dan akan dilakukan. Dalam seluruh bakti itu, Kanisius mengambil bagian dalam membangun watak dan kecerdasan bangsa. Di situlah sejarah keselamatan mendapatkan konteks empirisnya.
Lima tahun mendatang
Di Indonesia, Kanisius hadir sebagai penerbit berusia paling lama setelah penerbit plat merah, Balai Pustaka. Rentang antar keduanya terpaut lima tahun. Kemampuan bertahan selama hampir satu abad itu didukung oleh ragam hal yang terangkum dalam sinergitas. Dan, hal ini pulalah yang kiranya hendak dipertahankan sampai zaman yang akan datang.
Proses menuju satu abad Kanisius, diiringi perubahan hiperbesar di masyarakat yang niscaya berimbas pada penerbitan buku cetak. Revolusi digital membawa perubahan besar dalam kebiasaan di masyarakat. Budaya baca di Indonesia yang belum kuat tertanam dan tercatat menempati urutan nomor 60 dari 61 negara semakin tergerus. Dengan demikian, memboyong begitu saja buku ke dalam bentuk digital, belum menjadi pilihan utama karena sekali lagi hal mendasar yang menjadi persoalan –jika boleh disebut demikian– adalah habitus membaca. Salah satu yang mungkin perlu dikhawatirkan dari persoalan ini adalah lunturnya daya kritis ketika banjir informasi melanda. Obesitas informasi mungkin terjadi ketika ia begitu cepat tersaji.
Tidak untuk menjadi jumawa, usia 95 tahun tentu boleh menjadi kebanggaan. Dalam tapak-tapak menuju satu abad, kiranya kemampuan untuk bersesuai dengan perubahan zaman dalam prinsip creative fidelity menjadi tuntutan yang tak terhindarkan. Usia 95 tahun membuktikan bahwa Kanisius bukan sekadar sekoci atau kapal besar. Ia adalah bahtera yang mengarungi samudra zaman.
Untuk menutup tulisan ini, saya teringat sepenggal kisah runtuhnya Nokia yang semula begitu meraja. Menjelang akuisisi Nokia oleh Microsoft, Stephen Elop, menuliskan sebuah catatan, “Kami tidak melakukan kesalahan, tetapi nyatanya kami kalah.”
Kiranya kisah Nokia itu menjadi peringatan bagi penerbit, entah besar entah kecil, bahwa memang senyatanya penerbitan buku cetak sudah berada di persimpangan maut. Terlambat berubah, akan punah. Namun, dalam kacamata iman, bersama penulis Surat Filipi, bolehlah kita selalu menaruh pengharapan bahwa Dia yang memulai pekerjaan baik di antara kita yang akan menyelesaikannya.
Proficiat untuk kisah selama 95 tahun ini.
Catatan: Tulisan ini tertuang dalam prolog Sinergi Bakti untuk Negeri, buku persembahan 95 tahun Kanisius berkarya.