NAMA ‘Jenderal Soedirman’ begitu terkenal dan mahsyur di Indonesia. Banyak jalan-jalan di kota-kota besar di Indonesia memakai nama beliau. Bahkan namanya pun dipakai untuk nama gedung, universitas, sekolah, monumen perjuangan hingga komplek perumahan.
Jenderal Soedirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem. Sebagai seseorang yang dikemudian hari dikenal sebagai Panglima Besar, Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan.
Di masa kecilnya, ia juga mendapatkan pelajaran etika dan tata krama ala priyayi Jawa, serta etos kerja dan kesederhanaan sebagai wong cilik (rakyat jelata). Soedirman dikenal pula sebagai seorang anak yang taat menjalankan perintah agama dan rajin shalat.
Untuk menggelorakan kembali semangat juang Panglima Besar ini, sutradara Viva Westi mengangkatnya dalam film biopic berjudul Jenderal Soedirman (2015) produksi Padma Pictures.
Gerilya tujuh bulan
Beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, tepatnya pada tanggal 19 Desember 1948, pasukan Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Pada masa itu Yogyakarta ditetapkan sebagai Ibukota Republik Indonesia.
Di saat para pemimpin politik berlindung di keraton Sultan, Soedirman beserta pasukan kecil dan dokter pribadinya memilih melakukan perjalanan ke arah selatan dan mulai melakukan perlawanan gerilya terhadap Belanda selama tujuh bulan lamanya.
Semangat perjuangan Panglima Besar Soedirman senantiasa berkobar-kobar. Dalam sebuah perjumpaan dengan Tan Malaka (Mathias Muchus), ia berucap demikian, “Saya tentara, saya membela pemerintah untuk merdeka seratus persen. Jika Tuan Malaka mempunyai cara lain, silahkan. Terima kasih,” ucap Jenderal Soedirman (Adipati Dolken) dengan semangat berkobar.
Pada kesempatan lain, saat menghadap Bung Karno (Baim Wong) dan Bung Hatta (Nugie), Jenderal Soedirman pun berani mengajak kedua tokoh itu untuk bergerilya bersamanya, “Dan saya mohon dengan sangat, ikutlah bergerilya bersama kami,” ajaknya. Meskipun keduanya memilih jalan perjuangan yang berbeda (diplomasi), Jenderal Soedirman tidak patah semangat. Dengan penuh hormat ia tetap meminta restu keduanya untuk bergerilya bersama pasukan kecilnya.
Semangat dan dedikasi Jenderal Soedirman berhasil memotivasi pasukan yang dipimpinnya untuk terus bergerak melawan pasukan Belanda yang dijumpainya di sepanjang perjalanan.
Dalam sebuah adegan, tampak sejumlah tentara Indonesia bersorak-sorak sembari mengepalkan tangan mereka dan mengelu-elukan nama Soedirman, “Hidup Soedirman, hidup Soedirman, hidup Soedirman!”
Di atas podium, Jenderal Soedirman kemudian menyampaikan pidato singkatnya, “Tentara tidak boleh dijadikan alat oleh golongan manapun, atau orang – siapapun itu. Tunduk kepada perintah pimpinan merupakan kekuatan dari seorang tentara. Merdeka, merdeka, merdeka!!!”
Pada awalnya Jenderal Soedirman beserta pasukannya terus-menerus dibuntuti oleh pasukan Belanda. Namun Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, dekat Gunung Lawu. Dari tempat inilah Soedirman mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Biopic tak pernah mati
Jika dihitung dengan jari, cukup banyak tokoh-tokoh atau pahlawan nasional Indonesia yang kisah hidupnya diangkat ke layar lebar. Beberapa diantaranya adalah Tjoet Nya’ Dhien (1988) karya Eros Djarot, Soegija (Mgr. Alb. Soegijapranata, SJ, 2012) karya Garin Nugroho, Habibie & Ainun (2012) karya Faozan Rizal, Soekarno (2013) karya Hanung Brahmantyo, Sang Kiai (K.H. Hasyim Asyari-2013) karya Rako Prijanto, dan Jokowi (2013) sutradara Azhar Kinoi Lubis.
Bahkan menurut kabar yang sudah beredar, tokoh proklamator Drs. Muhammad Hatta pun akan dibuatkan film biopic-nya dengan judul sementara “Bung Hatta “ yang kini sedang dalam proses penggarapan.
Film Jenderal Soedirman adalah salah satu biopic yang berusaha menggambarkan bagaimana perjuangan seorang panglima TKR (Tentara Keamanan Rakyat-cikal bakal TNI) di medan gerilya. Perjuangan Soedirman tak pernah surut meski didera sakit TBC.
Dalam suatu adegan, dokter Soewondo (dokter pribadi Jenderal Soedirman, diperankan oleh Anton Galon) berujar, “Baru kali ini saya bertemu dengan pasien TBC sekuat Anda!”.
Dengan tatapan optimis Jenderal Soedirman menjawab, “Mas Wondo, saya tidak pernah memikirkan penyakit saya, yang sakit boleh Soedirman, tapi Panglima Besar ndak boleh sakit.
Jenderal Soedirman diangkat sebagai seorang Panglima Besar di usia 29 tahun. Keikhlasan pribadinya tiada dua. Karena rasa cintanya yang begitu besar terhadap Republik Indonesia, ia rela mengorbankan dirinya hingga mencapai kemerdekaan seratus persen.
Salah satu orang terdekatnya bernama Tjokropranolo (Ibnu Jamil) yang selalu menemani Jenderal Soedirman kemana pun ia pergi bergerilya. Tjokropranolo dulunya adalah tentara anggota kesatuan yang dipimpin oleh Jenderal Gatot Soebroto. Ia diutus untuk bergerilya bersama Jenderal Soedirman.
Selain itu, dalam film ini kita saksikan beberapa tokoh pejuang yang ikut mendukung perjalanan gerilya sang Panglima Besar, antara lain: Kapten Soepardjo Roestam (Surawan Atmodjo), Utoyo Kolopaking (Abdusamad) dan Sersan Kusno (Ahmad Ramadhan Al-Rasyid).
Untuk melengkapi epik sejarah nan apik ini, dimunculkan beberapa tokoh fiktif yang hendak mewakili berbagai kalangan yang hidup pada jaman itu, diantaranya: Bismo (Gregorius Andika), Rotosoewarno (Ahmad Andara Tetuko), Kunto (Anintriyoga Panuntun) dan Karsani (Gogot Suryanto).
Secara finansial, film ini didukung penuh oleh Markas Besar TNI Angkatan Darat melalui Yayasan Kartika Eka Paksi, Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat dan Artha Graha Network, dengan menggelontorkan dana menyokong produksi film berbudget 10 hingga 15 miliar rupiah.
Para pemain sebagian diambil langsung dari anggota militer, diantaranya dari Komando Pasukan Khusus TNI-AD. Executive Produser Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri berujar, “Misi film ini adalah memperkenalkan kembali Jenderal Soedirman terutama perannya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.”
Terlepas dari kelebihan maupun kekurangan film ini, Jenderal Soedirman sangat direkomendasikan untuk ditonton oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia, demi menumbuhkan sekaligus terus menggelorakan semangat cinta Tanah Air Indonesia. Jasmerah, jangan sampai melupakan sejarah!
Selamat menonton! Salam Pustaka Sesawi.