Renungan Harian
Kamis, 19 Mei 2022
Bacaan I: Kis. 15: 7-21
Injil: Yoh. 15: 9-11
DULU saya merasa bahwa saya selalu jengkel dengan ibu, dan merasa tidak disayang oleh ibu. Pada masa itu waktu saya masih SD atau awal SMP, sepulang dari Rumah Sakit saya tidak boleh makan yang mengandung minyak, dan santan semua dimasak dengan direbus atau dibakar dan tidak boleh kelelahan karena suatu penyakit yang hampir merenggut nyawa, (kata dokter yang ditirukan oleh bapak).
Saat itu ibu mengawasi saya dengan luar biasa dan dijaga sedemikian rupa.
Saat-saat makan adalah saat yang paling menjengkelkan, karena makanan yang disediakan menurut saya sama sekali tidak enak. Ibu selalu membujuk agar saya makan apa yang ada agar sehat.
Ibu berjanji kalau sudah sehat boleh makan apa saja tetapi itu tidak menjadi hiburan bagi saya. Apalagi pada saat yang sama adik-adik makan makanan yang lain yang menurut saya lebih menggiurkan.
Maka tidak jarang ibu menjadi jengkel dengan saya yang menurut ibu tidak bisa diatur dan tidak bisa diarahkan.
Sementara saya merasa lebih jengkel karena merasa saya dibedakan dengan adik-adik. Saat itu rasanya saya tidak disayang oleh ibu.
Setiap siang saya dikeloni ibu agar bisa istirahat tetapi saat tidur siang adalah saat yang menjengkelkan karena pada saat itu teman-teman dan adik-adik sedang seru-serunya bermain.
Maka saya sering menangis apabila disuruh cuci kaki dan cuci muka untuk tidur siang.
Suatu hari, hari itu sedang hujan cukup deras, sebagaimana biasa saya harus tidur siang dan karena hujan adik-adik juga ikut tidur siang. Sementara di luar saya mendengar suara teman-teman tertawa riang bermain bola di bawah guyuran hujan.
Saya sama sekali tidak bisa tidur karena ingin ikut teman-teman yang sedang bermain.
Mungkin karena lelah dan cuaca mendukung, ibu tertidur pulas demikian pula adik-adik. Saya yang tidak bisa tidur, karena dorongan kuat untuk ikut main bola di bawah guyuran hujan, saya bangun pelan-pelan, keluar rumah dan ikut main bola.
Saat itu saya amat senang bisa main bola dan main hujan-hujanan, namun belum berapa lama saya dijemput ibu dan dimarahi ibu luar biasa.
Saya lupa apa yang dikatakan ibu tetapi ibu merasa tidak sanggup lagi menjaga saya. Untunglah ada simbah yang menengahi lebih tepatnya mengingatkan ibu, karena melihat muka saya mulai membiru entah karena kedinginan atau karena kelelahan.
Saya dimandikan, dibalur dengan minyak kayu putih dan dihangatkan dengan bara api di dekat saya. Sambil menemani saya, ibu bicara bahwa apa yang ibu lakukan karena ibu sayang sama saya. Ibu tidak ingin kehilangan saya maka ibu menjaga saya dan membuat banyak larangan. Itu semua ibu lakukan agar saya bisa sembuh dan sehat seperti anak-anak lain.
Ibu mengatakan bahwa ibu juga sedih melihat saya makan seperti itu dan tidak bisa bermain seperti teman-teman lain.
Saya lupa bagaimana perasaan saya pada saat itu. Tetapi saat mengenang pengalaman itu, saya mengerti dan sedih, karena tidak tahu bahwa saya amat dicintai. Andai saya menurut sama ibu mungkin saya akan lebih cepat sembuh dan mengalami cinta ibu yang luar biasa.
Dalam hubungan saya dengan Tuhan sering juga seperti pengalaman saya dengan ibu.
Saya sering mencari kesenangan pribadi dan lupa bahwa banyak hal yang menjadi “perintah” Tuhan adalah agar saya bisa mengalami cinta-Nya yang luar biasa.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Yohanes: “Jikalau kamu menuruti perintahKu, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku.”