Jika Manusia Menutup Pintu, Allah Tetap Membuka Jalan

0
25 views
Mengampuni-untuk-diampuni
Mengampuni untuk diampuni. (Ist)

Minggu, 30 Maret 2025

Yos. 5:9a,10-12.
Mzm. 34:2-3,4-5,6-7.
2Kor. 5:17-21.
Luk. 15:1-3,11-32

DALAM kehidupan, ada kalanya seseorang jatuh ke dalam kesalahan yang berat, membuatnya tersingkir dari komunitas yang dulu menjadi rumahnya.

Ketika ia ingin kembali, ingin bertobat, tetapi yang kadang ia temui bukanlah pelukan penerimaan, melainkan tatapan penuh penghakiman. Luka di hatinya semakin dalam, bukan hanya karena kesalahannya sendiri, tetapi juga karena ditolaknya kesempatan untuk memperbaiki diri.

Masa lalu tak akan pernah menjadi masa depan kita. Betapa pun buruk dan berdosanya kita di masa lalu, asal ada penyesalan dan pertobatan, hidup kita akan berubah. Namun jalan pertobatan seringkali harus kita jalani dalam duri dan luka.

“Saat saya mengumpulkan keberanian untuk kembali, setiap langkahku terasa berat,” kata seorang sahabat.

“Rasa bersalah masih melekat di hatiku, namun yang lebih menyakitkan adalah ketakutan akan penolakan.

Ketika akhirnya saya tiba di komunitas yang pernah saya anggap sebagai keluargaku, saya berharap ada tangan yang terulur, kata-kata penghiburan, atau sekadar senyuman yang menandakan bahwa masih ada tempat bagiku.

Namun, yang saya dapati adalah bisikan-bisikan lirih, tatapan mencemooh, dan sikap dingin yang seakan berkata, “Kamu tidak lagi termasuk di sini.”

Hatiku hancur. Saya tahu bahwa saya telah berbuat salah, namun apakah kesalahan itu membuatku kehilangan hak untuk dicintai?

Apakah kesalahan itu menjadikanku manusia yang tak pantas mendapat kesempatan kedua? Dalam keheningan, aku bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan ini.

Aku merasa seperti orang kusta di zaman Yesus, dihindari, dijauhi, dan seakan-akan keberadaanku sendiri menjadi sumber najis bagi yang lain,” ujar sahabatku itu.

Perasaan ini barangkali mirip dengan pengalaman anak bungsu dalam perumpamaan Yesus tentang anak yang hilang.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan.

Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.”

Anak bungsu itu, menyadari dosanya, mengakui keadaannya yang menyedihkan, dan bertekad untuk pulang. Namun, bagaimana jika sang Bapa menolak kehadirannya? Bagaimana jika bukan pelukan kasih yang ia dapatkan, melainkan pintu yang tertutup rapat?

Banyak orang dan bahkan komunitas rohani yang tanpa sadar bersikap seperti anak sulung dalam perumpamaan yang kita baca hari ini.

Mereka merasa memiliki hak atas rumah Bapa dan menilai orang lain tidak layak untuk kembali. Mereka lupa bahwa Gereja bukan hanya untuk orang benar, tetapi justru tempat bagi yang berdosa untuk menemukan pengampunan.

Bagi siapa pun yang merasa tertolak, ingatlah bahwa kasih Allah tidak tergantung pada penerimaan manusia. Jika manusia menutup pintu, Allah tetap membuka jalan.

Yesus sendiri mendekati para pendosa, berbicara dengan mereka, bahkan makan bersama mereka. Ia menunjukkan bahwa setiap orang berharga di mata Allah, terlepas dari masa lalunya.

Bagi kita semua dan juga komunitas iman, tantangannya adalah belajar mencerminkan kasih Bapa, bukan sikap anak sulung. Menerima seseorang kembali bukan berarti membenarkan kesalahannya, tetapi memberi kesempatan bagi rahmat Allah untuk bekerja dalam dirinya.

Sebab, siapa di antara kita yang tidak pernah jatuh? Jika kita menghendaki belas kasihan Tuhan, mengapa kita sulit menyalurkannya kepada orang lain?

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku mau menerima saudaraku yang telah jatuh dalam kesalahan dan dosa?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here