Senin, 25 April 2022
Pesta St. Markus, Penulis Injil
Bacaan I: 1Ptr. 5: 6b-14
Injil: Mrk. 16: 15-20
“ROMO, sejak kecil ajaran orangtua yang keras dan selalu saya ingat sampai sekarang adalah jujur. Sejauh saya ingat, saat saya masih kecil, rasanya tidak ada masalah dan tidak menjadi beban. Saya mulai merasakan bahwa jujur adalah sesuatu yang sulit dan menyakitkan saat saya sudah mulai SMP.
Saat saya mulai sekolah hal yang ditekankan orangtua sebagai wujud jujur adalah disiplin, dan di sekolah tidak boleh mencontek dan apa pun dikerjakan sendiri.
Nah, saat saya mulai SMP, banyak teman-teman yang mencontek atau berbagai jawaban. Hal itu seolah-olah menjadi pemandangan yang biasa di kelas. Sering kali terjadi bahwa nilai teman-teman saya yang mencontek itu tinggi, bisa 9 atau bahkan ada yang 10, sedang saya hanya dapat 8.
Saat itu saya mulai merasa ini tidak adil.
Teman-teman saya yang suka mencontek dan dapat nilai-nilai bagus selalu bercerita bahwa mereka tidak pernah belajar, bahkan banyak yang tidak tahu kalau besok ada ulangan.
Di samping itu, mereka tidak pernah mengerjakan PR di rumah, mereka selalu meminjam jawaban dari teman. Tidak jarang mereka memaksa untuk meminjam.
Saya semakin merasakan ada yang tidak adil adalah teman-teman saya yang mencontek itu dipuji-puji oleh para guru karena nilainya bagus dan seperti mendapatkan keistimewaan dari guru-guru.
Teman-teman saya ini selalu dianggap sebagai siswa teladan, karena PR selalu bagus, dan ulangan-ulangan maupun ujian nilainya bagus.
Suatu ketika, saya pernah bercerita kepada orangtua tentang apa yang terjadi di sekolah. Tetapi orangtua selalu mengatakan, biarkan saja mereka; yang penting saya selalu jujur.
Romo, pada masa itu rasanya saya ingin menjadi seperti mereka. Tidak usah belajar, tetapi mendapat nilai yang bagus.
Romo, saya seringkali menjadi iri dengan teman-teman saya itu karena mereka selalu menjadi juara di kelas dan selalu mendapatkan penghargaan atas nilai-nilai mereka yang bagus.
Romo, apa yang saya alami sewaktu saya masih SMP, merasakan adanya ketidak adilan ternyata belum seberapa dibanding dengan saat saya mulai bekerja.
Jujur bukanlah tindakan yang populer dan menguntungkan.
Sikap jujur saya yang sudah tertanam sejak kecil membuat saya sering menghadapi banyak kesulitan dan tantangan yang tidak mudah.
Sikap jujur sering kali membuat saya diajuhi oleh rekan-rekan kerja, membuat saya sering “dibuli” dengan sebutan orang sok suci dan macam-macam.
Situasi itu membuat saya sering kali mempertanyakan untuk apa saya bersikap seperti ini. Saya merasa sikap jujur membuat hidup menjadi lebih susah.
Belum lagi bila bicara tentang uang. Saya merasakan sikap jujur membuat saya jauh dari rezeki. Banyak teman-teman secara ekonomi lebih mapan karena keberanian mereka untuk tidak jujur.
Sedangkan saya, karena mempertahankan kejujuran, ekonominya Senin–Kamis. Situasi-situasi itu sungguh-sungguh menjadi pergulatan yang luar biasa bagi hidup saya.
Berkali-kali saya sudah membuat keputusan untuk ikut saja arus sebagaimana dihidupi oleh teman-teman saya.
Puji Tuhan saya tidak punya keberanian untuk itu sehingga saya tidak jatuh dalam pilihan itu.
Kalau sekarang melihat semua itu, saya bersyukur bahwa saya berani bertahan untuk selalu mengedepankan kejujuran, walaupun ada banyak hal yang tidak saya dapatkan dengan bersikap seperti itu.
Namun hidup saya lebih damai dan tenteram.
Romo, godaan itu ternyata selalu membayangi saya hingga saat ini. Meski sudah pensiun ternyata godaan untuk bersikap tidak jujur selalu menjadi bayangan yang mengikuti saya,” seorang bapak menyeringkan pengalamannya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Surat St. Petrus:
“Lawanmu, si iblis, berjalan berkeliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh.”