ABSTRAK
“Hakasuk” adalah sebuah ritual tradisional di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ritual ini bertujuan untuk melepaskan atau meringankan beban (sebagai bentuk redempcao, penebusan atas darah orang-orang terluka dan terbunuh), memulihkan tubuh (ketika disiksa di penjara), dan menyembuhkan “ailimahoras” atau “Maromak niakan oe dikit” (secara leksikal berarti sakit yang dianggap sebagai rotan Tuhan dan leluhur).
Ritual Hakasuk ini memiliki sebait doa yang dipercaya sebagai kekuatan atau memiliki Roh. Rumusan bait doa dalam ritual Hakasuk sebenarnya dapat merepresentasikan penyebaran ajaran agama Katolik di Pulau Timor.
Hal ini tertuang dalam satu setiap baris doa ritual Hakasuk yang sama dengan doa Bapa Kami dalam ajaran Katolik (misalnya: ‘Bapa kami yang ada di Sorga; bebaskan kami dari yang jahat’).
Rumusan doa yang sama juga tertuang dalam sebait doa ritual Hakasuk (misalnya: Ama No Bei Sia Iha Kukun No Kalan; Niabe Ami Keta Kona Ailimahoras No Susar Ida).
Keterkaitan Inilah yang menegaskan bahwa bahasa tidak sekedar berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan faktor krusial dalam membangun relasi antarsesama sebagai kominitas.
Pendahuluan
Sejak antropolinguistik lahir di Amerika Serikat sekitar abad 19 sebagai interdisipliner (mengkaji antropologi dan linguistik).
Adalah Franz Boas yang memainkan peran sentral dalam mendokumentasikan bahasa Indian di Amerika Utara dan membangunnya melalui sudut pandang antropologi sebagai disiplin ilmu yang didedikasikan untuk aneka studi holistik terkait perbedaan kodracti antara manusia dan makhluk ciptaan lainnya.
Hal senada diungkapkan oleh Hymes (dalam Duranty, 1963: 277).
Hymes mengungkapkan bahwa antropologi adalah studi tentang pidato dan bahasa dalam konteks antropologi. Definisi ini menegaskan bahwa kajian antropolinguistik memuat aneka bahasa yang terdapat dalam suatu kelompok dalam kurung waktu tertentu dan dikemas dari koridor antropologi.
Berangkat dari sejarah kemunculan antropolinguistik dan di bawah naungan ilmu antropologi dan linguistik, peneliti tertarik mengkaji makna doa ritual “Hakasuk” sebagai representasi religius Suku Lokes Mauhalek, di Kabupaten Belu.
Dalam kerangka ini, bahasa menjadi sumber daya yang bersifat konvensional untuk mengetahui dan berinteraksi dengan dunia lain. Dunia lain dianggap sebagai epistemologi. Selain itu, dalam konteks suku, kata, identitas, agensi, bahkan kehadiran partisipan berpotensi menciptakan masalah. Hal ini berhubungan dengan sakralnya ritual-ritual suku di Belu.
Terlepas dari histori panjang penyebaran agama oleh para biarawan-biarawati di Pulau Timor sekitar akhir tahun 1890, peneliti berusaha melihat bahwa kemunculan ritual di Belu adalah bentuk perlawanan terhadap skeptisme dalam melahirkan postitivisme.
Adanya skeptis terhadap eksistensi hakikat manusia. Kesadaran ini mendorong manusia untuk mengatasi aneka kesulitan manusiawi. Kesadaran ini pula yang menimbulkan positivisme terhadap ritual-ritual.
Ritual “Hakasuk” Suku Lokes Mauhalek membuktikan asumsi yang diungkapkan oleh Tylor bahwa doa dimulai dengan ujaran spontan dan merosot menjadi sebuah formula tradisional (1873:371). Ritual “Hakasuk” di Kabupaten Belu adalah sebuah rangkaian ritus sakral yang akan memberikan pengalaman dan keyakinan dalam membunuh skeptis akan kesulitan yang mengerogoti hidup.
Ritual “Hakasuk” memiliki sebait doa sebagai wujud representasi dari pemahaman dan epistemologi Suku Lokes Mauhalek terhadap kekuatan Maha. Meskipun ada rumusan doa-doa yang disebarkan dan diajarkan oleh para biarawan-biarawati, Suku Lokes Mauhalek percaya bahwa sebait doa dalam ritual “Hakasuk” adalah bentuk tradisional dari epistemologi.
Sederhananya, semua rumusan doa baik dalam ritual maupun ritus-ritus agama senantiasa memberikan pengalaman dan keyakinan terhadap adanya kekuatan Maha dalam merajam kesulitan dan skeptis.
Ketika berkaca pada paradigma bahasa, ritual apaun pasti memiliki sebuah rumusan matra yang sarat makna, kekuatan, dan keyakinan. Hal ini berarti bahwa bahasa tidak hanya menjadi media komunikasi, malainkan pemersatu komunitas. Sama seperti definisi yang diungkapkan oleh Bakhtin (dalam Duranty, 1981:294).
Bakthin megngungkapkan bahwa bahasa bukan medium netral yang secara bebas masuk ke dalam pribadi seseorang, bahasa itu intensionalitas dan populatif. Merampas bahasa, memaksanya tunduk pada intensionalitas seseorang adalah sebuah proses yang sulit dan rumit.
Secara jelas dapatlah dipahami bahwa bahasa menghuni populasi tertentu. Dan efek penggunaan bahasa dalam doa ritual “Hakasuk” adalah wujud konvensional keyakinan dan intensionalitas Suku Lokes Mauhalek.
Hakasuk adalah sebuah ritual tradisional di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ritual ini bertujuan untuk melepaskan atau meringankan beban (sebagai bentuk redempcao, penebusan atas darah orang-orang terluka dan terbunuh), memulihkan tubuh (ketika disiksa di penjara), dan menyembuhkan ailimahoras (sakit yang disebut sebagai Maromak niakan oe dikit atau rotan Tuhan dan leluhur). (Berlanjut)