SEJENAK terasa hampa, kosong. Itulah pengalaman “ditinggal” pergi orang yang dicintai.
Tidak ada lagi kegembiraan, sukacita, gelak tawa. Harapan pun pupus. Belum lagi rasa sedih, kadang menyayat.
Langkah gontai tak terarah. Kembali pada kesunyian, kesendirian. Kepala tertunduk terasa berat; tak berani memandang apa yang terjadi di sekitar.
Mungkin itulah yang dialami para murid di hari Sabtu Sepi. Sabath.
Semua menjadi kenangan akan Tuhan Yesus. Kenangan terindah dari seseorang yang mencintai, menyentuh dan mengubah hidup mereka.
Persahabatan, kedekatan, perjumpaan yang mengubah; ajaran-ajaran-Nya menggugah hati; tindakan kasih, dan mukjizat-Nya menghadirkan Allah sebagai Bapa.
Betulkah hanya tinggal kenangan?
Wait…
“Mo, dia itu dulu Katolik. Sekarang sudah pindah.”
“Kenapa?”
Katanya, “Membosankan. Tidak semangat. Tidak ada perasaan sukacita. Ngantuk, tidak bisa merasakan mendapat apa-apa”.
“Maksudnya?”
“Di Gereja Katolik, dia merasa kurang bertumbuh. Doanya monoton dan membosankan. Formal dan tidak ada partisipasi. Semua sudah diatur: datang, duduk, dan mendengarkan.”
“Lagu-lagunya pun begitu-begitu saja. Tidak mengobarkan gairah bersukacita; tidak mendorong orang bertepuk tangan dengan gegap gempita sebagai ungkapan kegembiraan.”
“Oh begitu ya. Ada lagi kah?”
“Iya. Pernah dengar ulasan Kitab Sucinya kadang kurang mendarat. Pembawaannya monoton kurang menyapa. Interaksi pun jarang. Masih banyak sih alasannya, Mo”.
“Tetapi kok saya tidak mengalami begitu ya. Justru saya betah di dalam Gereja. Doa-doanya merupakan ungkapan kebersamaan syukur atas kebaikan Tuhan. Semua ditata dengan baik, diatur serasi, dengan kesadaran dan berpusat pada pengudusan lewat Ekaristi.”
“Apakah kamu bertumbuh dalam iman?”.
“Ya pastilah Mo. Walaupun saya tidak bisa singing of the Spirit. Apalagi kalau diberi anugerah itu. Saya percaya, Tuhan menyertai hidup kami.”
“Opa, oma, orangtua, seluruh keluarga kami dibaptis dalam Gereja Katolik. Kamilah yang harus mengusahakan apa yang dia ‘keluhkan. Kami juga turut bertanggungjawab dan berperan dengan berpartisipasi semampu kami.”
Kataku, “Wow kalian banget”.
“Biasa kale,” sahutnya.
Bukan urusan perasaan semata
Liturgi Gereja bukan hanya urusan rasa-perasaan terpuaskan atau tidak. Liturgi Gereja merupakan ungkapan kesadaran dan syukur atas tindak kasih Allah yang menyertai hidup.
Tidak hanya tergantung dan menjadi urusan pribadi lepas pribadi.
Liturgi Gereja merupakan ungkapan partisipasitif atas karya Penebusan Kristus.
Dalam kesadaran bersama sebagai umat Allah, semua diundang berpartisipasi dan melibatkan diri!
Hari Sabtu di dalam Pekan Suci adalah saat di mana kita merenungkan siapa diriku di hadapan Yesus yang tersalib; yang kini berada di dalam makam.
Hari di mana kita menyadari bahwa kebenaran, ketulusan, kesucian manusia sedang dirusak oleh kebohongan.
Diri manusia sebagai citra Allah dihapus dari wajah manusia dengan kekerasan.
Sabtu ini ini kita ingin mengobarkan kembali kesadaran dan rasa simpati akan sengsara Yesus .
Ia memasuki kegelapan dan sengsara karena dosaku. Ia membagikan sengsara dan wafat-Nya kepada kita.
Ia bersolider dengan masuk kedalam kegelapan; memeluk kematian kita dengan kasih sepenuhnya.
Siapakah yang dapat menemukan Allah dalam timbunan kebencian, kebengisan, hujatan, kepalsuan, kebohongan dan kekerasan?
“Betul Romo… Jos gandhos ..,” katanya sambil pamitan.
Tuhan, Engkau tersalib di Kalvari, biarkan aku berada di dalam-Mu. Amin??⚘