BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.
Kamis, 9 September 2021.
Tema: Memenangkan kehidupan.
- Kol. 3: 12-17.
- Luk. 6: 27-38.
KASIH. Ya, tidak hanya jadi ciri khas agama kristiani. Jauh dari itu, kasih adalah cara hidup kristiani. Dan itu dapat dilatih setiap harinya di dalam keluarga.
Keluarga merupakan komunitas kecil, kongkrit. Juga dapat melatih diri bagaimana kasih itu dikembang-suburkan sebagai kekuatan dalam menghadapi tantangan hidup.
Selain martabat luhur keluarga, kiranya keluarga juga perlu belajar menghidupinya. Mimimal diperlukan kemampuan untuk bersabar dan menunggu, tidak cepat putus asa.
Ngap.
“Saya bingung dan tidak tahu harus gimana lagi. Saya sudah kehilangan ide, bagaimana memberitahu anak-anak bahwa terlalu lama bermain HP itu tidak baik.
Saya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tuntutan sekolah. Streaming. Kadang para guru juga memberi soal di luar jam sekolah.
Itu mengganggu.
Saya tahu, itu salah satu dampak sekolah daring. Tidak ada tatap muka. Tidak ada lagi kesempatan bertemu dengan teman-teman, bermain, dan bersendau-gurau dengan teman-teman.
Anak merasa terkurung, jenuh dan bertingkah dalam rumah.
Sementara kami sendiri sebagai orang tua tidak menguasai betul dunia digital.
Tidak tahu lagi bagaimana menyadarkan dan melatih anak-anak untuk bisa mengerti kapan harus main, kapan tidak. Sulit.
Kadang malah bertengkar.
Kebosanan di dalam rumah, tidak berjumpa dan bermain, bersenda gurau dengan teman-temannya membuat HP menjadi satu-satunya sarana penghiburan. Kehilangan momen gembira bersama.
Kadang harus bertindak keras,” demikian kisah panjangnya.
“Maksudnya?”
“Kalau sudah tidak bisa diomongn, saya menjadi temperamental. Terlebih ada gejala malas mandi, tidak mau makan, mengurung diri di kamar, goleran main HP. Kamar berantakan, dipanggil mbudegi (pura-pura tak dengar). Dimintai tolong, malah menjawab sengak dengan membentak.
Saya pernah mendengar bahwa masa depan mereka adalah masa depan digital. Tetapi sebagai orangtua, kami ingin mereka belajar berani memikirkan mana yang baik, mana yang berguna, mana yang bermanfaat atau tidak.
Belum lagi bahaya-bahaya iklan atau rayuan-rayuan tertentu yang bagi anak seumur anak saya belum bisa memilah-milah. Maka sebagai orangtua, saya kadang keras hati.
Kadang saya rampas HP-nya. Ia memberontak dan melakukan tindakan yang tidak baik sebagai anak.
Saya bicara agak keras, malah membentak. Terbawa emosi, tanpa sadar, saya cubit pantatnya. Ia melawan bahkan memukul saya, ya saya lebih keras.
Tidak boleh ada anak berani melawan orangtua.
Hal kecil saja tidak mau mendengar nasihat orangtua bahkan melawan. Bagaimana nanti kalau dia sudah besar dan saya renta?
Orangtua tidak boleh kalah dengan anak. Itu prinsip saya, Mo,” keluhnya.
“Lalu, apakah anak sadar dengan demikian?”
“Saya harap sadar. Kadang saya diamkan beberapa saat. Kemudian dia seperti mencari perhatian, ingin dimanja.
Pada saat seperti itu, saya panggil dan peluk dia bicara. Saya tanya, “Kamu tahu kenapa mama marah?”
Sebagai pembelaannya dijawab, “Ngak tahu.”
Saya yakin dia tahu. Ya, itulah kecenderungan anak-anak zaman sekarang. Kalau ditanya, jawabnya, tidak tahu.
Ketika dia mengakui kesalahannya, hati keibuan saya muncul. Saya peluk sambil dibelai mesra.
Mama papamu, sayang kamu. Kalau kamu sakit, semua berantakan. Mama tidak bisa bekerja. Kamu sendiri yang rugi. Ketinggalan pelajaran, tidak bisa bermain dengan teman-temanmu.
Kadang setelah itu, kami bersendau gurau. Bermain bersama, lelucon. Membuat ia ketawa lagi dan merasa dicintai,” demikian ibu muda ini mengakhiri kisahnya.
Paulus memenangkan hidup dengan pengalamannya, “Sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran.” ay 12.
“Murah hatilah,” demikian perintah Yesus, ay 36a.
Tuhan, ajari aku memandang dan bertindak dengan belas kasihmu terutama dalam keluargaku. Amin.