TAHUN lalu saya mengadakan perjalanan nostalgia ke Kamboja, setelah hampir 16 tahun meninggalkan negara tersebut. Saya pernah tinggal dan bekerja sebagai relawan untuk Jesuit Service Cambodia (JSC) di Kamboja kurun waktu tahun 1995-1997. Setelah tinggal selama setengah tahun di Phnom Penh, Ibukota Kamboja, saya lalu bertugas di Battambang, Kamboja Utara sekitar satu setengah tahun, awal 1996 sampai pertengahan 1997.
Di Phnom Penh saya kursus bahasa Khmer (Kamboja) selama tiga bulan, diteruskan dengan orientasi program kerja pembangunan masyarakat desa, sambil melancarkan kemampuan berbicara dalam bahasa Khmer. Selama itu saya tinggal di sekolah keterampilan “Banteay Prieb”, Trapeang Weng, Ang Snuoul, 22 kilometer sebelah selatan Phnom Penh.
Catatan perjalanan in tidak akan berkisah tentang “tempat-tempat terkenal” yang biasanya disebut orang saat berwisata ke Kamboja, seperti kompleks Candi Angkor Watt dan sekitarnya di Siem Reap, “monumen” pembantaian Khmer merah di Tuol Sleng, Danau Tonle Sap, Istana Raja Kamboja di tepi Sungai Mekong, Phsa Thmei (Pasar Baru), Bon Om Teg (Water Festival), dsb.
Saya hendak menulis secara singkat apa yang saya ketahui tentang Gereja Kamboja, Yesuit dan Jesuit Service Cambodia, sekolah keterampilan bagi kaum cacat korban Perang “Banteay Prieb”. Saya juga akan bercerita sekilas tentang Richie Fernando, teman relawan yang terbunuh karena granat pada tahun 1996, perjalanan dari Phnom Penh ke Battambang, pengungsi Kamboja ketika Khmer Merah belum menyerah pada tahun 1996 di Battambang, dan beberapa hal lain.
Itu semua coba lihat dalam sebuah perbandingan antara apa yang saya alami enam belas tahun lalu dan apa yang saya lihat dalam perjalanan nostalgia tersebut.
Kamboja berubah
Setelah 16 tahun, saya melihat perkembangan yang begitu dahsyat di Kamboja, entah dalam hal pembangunan infrastruktur, perkembangan Gereja, dan kehidupan masyarakat. Begitu keluar dari Bandara Pochentong, Phnom Penh, saya melihat bagaimana Phnom Penh sudah sangat berubah. Enam belas tahun lalu, sangat jarang menemukan bangunan bertingkat lebih dari empat lantai. Saat itu, hanya Universitas Phnom Penh dan Hotel Sofitel Cambodiana yang mempunyai bangunan tinggi.
Sekarang ini sudah banyak bangunan bertingkat dimana-mana. Jalan-jalan sudah halus dan tertata rapi. Investor dari Korea, China, Thailand, Jepang, dan negara-negara lain sudah menanamkan modal di Kamboja. Perumahan baru, termasuk kota satelit yang sedang dipersiapkan oleh seorang investor Indonesia, juga bertebaran di banyak tempat.
Pertengahan tahun 2012 yang lalu, di sela-sela pertemuan ke-44 Menteri-Menteri Ekonomi ASEAN di Siem Reap, Pemerintah Indonesia menandatangani kesepakatan untuk membeli beras dari Kamboja dengan volume 100.000 ton per tahun untuk jangka waktu lima tahun ke depan. Sebaliknya, Kamboja akan mengimpor pupuk dan peralatan pertanian seperti traktor dan mesin penggiling gabah dari Indonesia.
Kamboja memroduksi 8,25 juta ton beras tahun 2011. Pada tahun 2012, Kamboja mentargetkan eskpor beras sebanyak 180.000 ton, dan sampai dengan tahun 2015 Kamboja mematok target ekspor beras sedikitnya 1 juta ton. Kenyataan di atas merupakan sebuah kemajuan besar, sebuah hal yang tidak pernah saya bayangkan 16 tahun yang lalu.
Di balik gemerlap pembangunan Kamboja, memang masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Kamboja. Dengan jumlah penduduk 13,8 juta saat ini, yang 75% penduduknya berusia di bawah 25 tahun, sekitar 36% masih berada di bawah garis kemiskinan. Itu berarti bahwa empat dari sepuluh keluarga tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar.
Selain itu, angka-angka berikut menunjukkan perlunya usaha lebih keras lagi ke arah Kamboja yang lebih sejahtera, seperti angka kekurangan gizi (45%), masyarakat tanpa / keterbatasan akses ke air bersih (70%), dan kematian bayi (57%). Hanya sekitar 51% penduduk Kamboja dilaporkan memperoleh akses rutin pada kesehatan dasar.
Namun demikian, dari pandangan sekilas mata, dibandingkan dengan 16 tahun yang lalu, Kamboja sudah banyak berubah. (Bersambung)
Photo credit: Kamboja (Mispan Indarjo, Mathias Hariyadi)
Artikel terkait:
Daripada memberikan komentar, saya pikir, lebih baik bertanya kepada Pak Mispan Indarjo: apakah ada alamat e-mail dan juga, alamat fisik yang bisa dikunjungi jika ingin mengetahui lebih banyak mengenai ‘katolik’ di Kerajaan Komboja?
Terima kasih,
Sahat
silakan kontak mispan.indarjo@gmail.com