ALMARHUM Fr. Richie Fernando, SJ adalah teman saya di Kamboja. Richie ini asli dari Filipina. Saya sempat tinggal bersamanya dalam satu rumah selama 6 bulan sebelum saya pindah ke Battambang, Kamboja Utara. Saat saya datang ke Kamboja pada bulan Juni 1995, Richie sudah berada di Kamboja. Dia ikut menjemput saya di Bandara Pochentong, Phnom Penh.
Ketika saya kembali lagi ke Phnom Penh tahun lalu, saya hanya bisa menemukan monumen di Banteay Prieb, tempat dikuburkannya ceceran darah Richie akibat ledakan granat. Saya juga masih melihat lubang besar bekas ledakan granat tahun 1996 tersebut.
Richie Fernando adalah calon imam Yesuit Pilipina yang ditugaskan untuk melayani masyarakat Kamboja. Ia bekerja sebagai guru dan pendamping siswa cacat yang belajar dan tinggal di Banteay Prieb. Ia dikenal sebagai “lu kru” (guru) yang baik oleh para siswa dampingannya. Banyak siswa yang mencintai dan menaruh hormat padanya. Beberapa kali saya juga diajak Richie untuk datang ke asrama para siswa tersebut.
Kisah Alm. Fr. Richie SJ
Kisah wafat Richie terbilang tragis. Kejadian itu sudah berlangsung sekitar 17 tahun yang lalu. Saya tidak berada di tempat saat kejadian berlangsung karena sedang cuti dua minggu di Indonesia. Oleh karena internet, smart phone, HP, dsb belum seperti sekarang, informasi wafat Richie baru saya dapat beberapa hari setelah kejadian itu.
Cerita wafat Richie kurang lebih sebagai berikut.
Ada seorang murid sekolah, 16 tahun, bernama Sarom, korban ranjau darat. Dia ingin menyelesaikan kursus di sekolah Banteay Prieb namun diminta mundur dari sekolah karena perilakunya yang merugikan sekolah dan siswa lain. Richie pun mengakui bahwa Sarom termasuk siswa yang bandel, namun dia tetap masih punya tempat di hati Richie. Bersama dengan siswa yang lain, Richie pernah makan bersama di asrama para siswa Banteay Prieb.
Pada tanggal 17 Oktober 1996 Sarom datang ke sekolah untuk sebuah pertemuan. Dipicu oleh kemarahannya, ia mengambil granat yang ia sembunyikan di tas dan siap melemparkannya ke ruangan kelas yang penuh dengan para siswa yang baru belajar. Jendela ruang kelas berteralis sehingga para siswa tidak bisa keluar ruangan.
Richie yang datang di bawah Sarom segera memeluk dari belakang untuk mencegah Sarom melempar granat. Sarom berusaha minta Richie untuk pergi tetapi Richie tetap memegang Sarom agar dia tidak bisa melempar granat ke kelas. Malang tak dapat ditolak, granat itu jatuh di depan Sarom tetapi menggelinding ke belakang melewati kedua kakinya. Granat meledak di belakang Richie. Sarom dan seluruh siswa di kelas selamat tetapi Richie wafat karena ledakan granat tersebut. Richie sempat dibawa ke rumah sakit terdekat, namun rupanya dia sudah meninggal saat kejadian itu.
Jenazah Richie dibawa dan dimakamkan ke Manila.
Sarom dipenjara namun ia sangat menyesal atas kejadian itu. Pada bulan Maret 1997 orang tua Richie menulis surat kepada Raja Sihanouk untuk memaafkan Sarom.
Beberapa tulisan Richie, entah dalam surat kepada sahabatnya di Filipina atau catatan dalam buku hariannya mengungkapkan betapa ia sungguh menjadi utusan Tuhan bagi mereka yang membutuhkan. Empat hari sebelum ia meninggal, ia menulis surat kepada seorang temanya di Filipina sebagai berikkut:
”Saya tahu dimana hatiku berada. Hatiku bersama Yesus Kristus yang memberikan semuanya bagi orang miskin, orang sakit, yatim piatu… Saya yakin bahwa Tuhan tidak pernah melupakan umatnya : saudaraku laki-laki dan perempuan yang cacat dan difabel. Dan saya bahwagia bahwa Tuhan menggunakanku untuk memastikan bahwa para saudaraku mengetahui hal ini (bahwa Tuhan mencintai mereka). Saya yakin bahwa ini adalah panggilan hidup saya.”
Beberapa tahun sebelum ia meninggal ia juga pernah menulis:
”Saya berharap bahwa ketika saya mati, orang mengingat saya bukan karena saya hebat, kuat, atau berbakat, tetapi saya diingat karena saya mengabdi dan berbicara untuk kebenaran. Saya diingat karena bersaksi atas apa yang benar, jujur dalam segala pekerjaan dan tindakan saya. Dengan kata lain saya mencintai dan mengikuti Kristus.”
Seorang Yesuit Filipina, yang menjadi salah satu pemeran utama film “Fransiskus Xaverius”, Johnny Go SJ, dalam peringatan 15 tahun wafat Richie Fernando menulis:
”Jika Richie tidak mencegah Sarom melempar granat, seluruh kelas yang berisi para siswa difabel yang sudah dia anggap sebagai teman akan terkena akibat buruk . Ini menandakan dalamnya komitmen dan cintanya pada kaum difabel dan orang lain. Cinta dan komitmen itulah yang mendorongnya mengurbankan hidupnya untuk menyelamatkan banyak orang.”
Johnny Go, yang juga presiden Sekolah Yesuit Xaverius di Greenhills, San Juan mengatakan:
”Pada saat ini teknologi cenderung mendoroing budaya superfisial: komitmen dan hubungan yang datangkal.”
Lanjutnya, ”Saya pikir Richie mengingatkan kita bahwa sahabat sejati tidaklah hanya seseorang yang fotonya bisa anda akses di facebook, tetapi seseorang yang sungguh-sungguh berkomitmen mencintaimu, bahkan sampai di suatu titik bahwa dia menghorbankan hidupnya bagi anda.”
Photo credit: Mispan Indarjo
Artikel terkait: