SAYA datang ke Kamboja sebagai relawan pada tahun 1995, lima tahun setelah Gereja Katolik mendapat izin Pemerintah untuk melakukan ibadat, dua tahun setelah pemilu pertama kali di Kamboja yang digelar pada tahun 1993. Pada tahun 1990, perayaan ekaristi pertama dipimpin oleh Romo Emile Destombes, seorang romo oraja Perancis untuk misi (Missions Etrangères de Paris/MEP), dan diikuti oleh ribuan orang Katolik dan pemeluk Kristen lainnya pada saat tahun baru Khmer.
Saat itu jumlah imam masih sangat terbatas. Baru satu imam asli Kamboja ditahbiskan pada tahun 1995, yakni Romo Tonlop Sophal, Pr. Beliau adalah imam asli Kamboja pertama sejak tahun 1970. Romo Sophal sebelumnya berada di Kanada namun dipanggil pulang untuk melayani masyarakat Katolik Kamboja.
Sebagian besar uskup, imam, biarawan, biarawati asli Kamboja telah kehilangan nyawa pada saat Pemerintahan Komunis Khmer Merah tahun 1975-1978. Mereka wafat karena dibunuh, meninggal karena kerja paksa dan kelaparan, atau sebab lain. Sejumlah besar orang Katolik Kamboja juga wafat dengan sebab yang kurang lebih sama. Hampir semua bangunan gereja dihancurkan.
Membangun dari Tahun Nol
Setelah zaman Khmer Merah, peperangan, serta perselisihan yang tiada henti antara tahun 1976-1990, Gereja Katolik mulai mengeliat lagi pada tahun 1990. Gereja Katolik mulai lagi dari “Tahun Nol” setelah krisis yang berkepanjangan. Krisis oleh karena Pemerintahan Khmer Merah diakhiri pada bulan November 1978 saat Vietnam menyerbu Kamboja. Sejak awal tahun 1979 sampai 1989 Vietnam menguasai Kamboja dan menciptakan “pemerintahan boneka.” Namun demikian, krisis tidak segera berakhir karena selama kurun waktu tersebut terjadi ketegangan dan perlawanan bersenjata.
Kesepakatan perdamaian antara faksi yang bertikai baru terjadi pada tahun 1989 di Paris, Perancis. Sejak invasi Vietnam dan berakhirnya kekuasaan Khmer Merah, masyarakat Kamboja berbondong-bondong mengungsi ke perbatasan Thailand.
Setelah perjanjian perdamaian di Paris, pasukan Vietnam berangsur-angsur mundur dari Kamboja. Pada tahun 1991 PBB diberi kekuasaan penuh untuk mengawasi gencatan senjata, melucuti senjata faksi-faksi yang bertikai, membawa kembali masyarakat Kamboja yang mengungsi di perbatasan Thailand ke tanah air mereka, dan mempersiapkan pemilu. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 16 Maret 1992, Pemerintah Sementara PBB untuk Kamboja (UNTAC – United Nations Transitional Authority in Cambodia) datang ke Kamboja untuk melaksanakan mandat tersebut di atas. Sejak itulah, masyarakat Kamboja berangsur-angsur pulang ke tanah air mereka dari perbatasan Thailand.
Hampir bersamaan dengan kepulangan masyarakat Kamboja dari pengungsian, Gereja Katolik mulai “hidup” lagi di awal dekade tahun 1990. Konon, pada tahun 1993 Monsinyur Lesouef dari Perancis datang ke Kompong Cham. Beliau berdiri sehari penuh di depan Pasar Kompong Cham sambil berharap bertemu dengan orang Katolik. Namun gagal. Setelah kembali ke Phnom Penh, ia menerima surat dari seorang wanita muda Katolik dari Kompong Cham. Beliau segera menemuinya dan dari situ ia mulai membangun karya Gereja di situ.
Gereja Kamboja Saat Ini
Saat ini Gereja Kamboja sudah jauh berkembang. Terdapat satu Vikariat Apostolik yakni Phnom Penh, dan dua Prefektur Apostolik, Battambang, dan Kompong Cham. Mgr. Enrique Figaredo Alvargonzales SJ, teman saya waktu saya bekerja di Kamboja, diangkat sebagai Prefek Apostolik (setingkat Uskup) Battambang pada tanggal 1 April 2000. Selanjutnya, pada tanggal 27 Mei 2000, Mgr. Antonysamy Susairaj diangkat sebagai Prefek Apostolik Kompong Cham.
Vikariat Apostolik Phnom Penh saat ini dipimpin oleh Romo Olivier Schmitthaeslur MEP yang ditahiskan sebagai Uskup pada tanggal 20 Maret 2010, menggantikan Mgr. Emile Destombes MEP.
Prefektur apostolik merupakan suatu otoritas di daerah misi Gereja Katolik yang belum cukup kuat untuk menjadi sebuah Keuskupan. Jika sudah berkembang, Prefektur apostolik berubah menjadi Vikariat apostolik yang dipimpin oleh Uskup tituler. Secara singkat, tahapan otoritas wilayah dalam Gereja Katolik adalah dari daerah misi, menjadi prefektur apostolik, vikariat apostolik, dan kemudian meningkat sebagai keuskupan.
Jumlah imam asli Kamboja juga semakin meningkat. Pada bulan Desember 2001, empat pemuda asli Kamboja ditahbiskan sebagai imam. Saya masih ingat mereka saat masih sebagai seminaris di Battambang pada tahun 1996-1997. Pentahbisan empat imam itu sangat meriah, dihadiri 3.000-5.000 umat Katolik Kamboja, sekitar 20% dari keseluruhan umat Katolik di Kamboja. Konon, beberapa orang harus menempuh perjalanan 12-15 jam ke Phnom Penh untuk menghadiri peristiwa bersejarah ini.
Pada saat ini jumlah penganut Katolik berjumlah sekitar 20.000 orang, atau 0,15% dari total penduduk Kamboja yang berkisar sekitar 13.8 juta.
Berita tentang Gereja Kamboja antara lain dapat diikuti di www.catholiccambodia.org, Facebook/CatholicCambodia Csc. (Bersambung)
Photo credit: Kamboja (Mispan Indarjo, Mathias Hariyadi)
Artikel terkait: