KONON, Yesuit pertama masuk ke Kamboja pada awal tahun 1600, tidak lama setelah Ignatius Loyola mendirikan Serikat Yesus. Namun keterlibatan Yesuit pada jaman modern saat ini dengan pelayanan bagi para pengungsi Kamboja di perbatasan Thailand pada awal tahun 1980-an lewat organisasinya Jesuit Refugee Service (JRS).
Masuk ke Kamboja pada tahun 1990 dengan mengikuti pengungsi Kamboja yang kembali ke negaranya, JRS memulai tiga program besar, yakni sekolah keterampilan bagi kaum difabel akibat perang, pembangunan desa yang terintegrasi di Ang Snuoul (22 Km sebelah selatan Phnom Penh), yakni di sekitar sekolah keterampilan tersebut, dan berbagai kegiatan yang mendorong rekonsiliasi serta perdamaian, misalnya kampanye pelarangan ranjau darat (landmine).
Pada bulan September 1994, nama resmi karya Yesuit di Kamboja disebut “Jesuit Service Cambodia (JSC).” Satu tahun sesudahnya saya masuk ke Kamboja. Selama dua tahun di Kamboja, yakni antara tahun 1995 – 1997, hanya ada 8 Yesuit yang bekerja di seluruh Kamboja. Dari 8 Yesuit, empat imam dari empat negara yang berbeda (Spanyol, Luxemburg, Belgia, dan Irlandia), sedangkan 4 lainnya adalah calon imam yang sedang mengadakan tahun orientasi karya selama dua tahun. Keempat frater itu dari Asia tenggara, 2 dari Indonesia, dan kedua yang lain berasal dari Filipina dan Singapura.
Dari delapan Yesuit tersebut, yang masih bekerja di Kamboja saat saya berkunjung tahun lalu hanya dua imam. Seorang ditunjuk sebagai Praefektur Apostolik (seperti Uskup) di Propinsi Battambang, Kamboja Utara dan seorang lagi masih sebagai dosen di Universitas di Phnom Penh.
Seorang relawan JSC berkebangsaan Thailand yang pernah tinggal bersama saya dalam satu komunitas pada tahun 1995 memutuskan menjadi Yesuit. Jub Phoktavi, SJ, nama teman relawan tersebut, ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 12 Juni 2009 dalam usia 53 tahun. Sekarang dia menjadi pastor Paroki di sebuah Paroki di Propinsi Kompong Thom.
Berbeda dengan komunitas Yesuit pada umumnya. Komunitas Yesuit pada waktu itu cukup unik. Para Yesuit hidup bersama dalam satu atap dengan para relawan (pria dan wanita) dan biarawati dari berbagai negara. Pada saat ini, kendati masih ada komunitas yang bercampur namun juga ada komunitas khusus Yesuit, misalnya rumah Yesuit di Phnom Penh.
Sekarang sudah ada lebih dari 20 Yesuit bekerja di berbagai tempat di Kamboja dan berasal dari berbagai bangsa, di antaranya dari Spanyol, Irlandia, Korea, Philiphina, Indonesia, Vietnam, China, Thailand, India. Kamboja sendiri baru mempunyai satu calon imam Yesuit. Kamboja menjadi daerah misi di bawah Provinsi Korea, namun ada cukup banyak Yesuit Indonesia yang saat ini berada di Kamboja. Saat saya diundang untuk datang pada penutupan pertemuan rutin Yesuit Kamboja di rumah pusat Yesuit di Phnom Penh, saya bertemu dengan tiga imam dan dua frater Yesuit Indonesia.
Karya Yesuit tersebar di Phnom Penh, Kandal, Siem Reap, Banteay Meanchey, dan Battambang, dan Kandal. Saat ini JSC dipimpin oleh Romo Gregorius Priyadi, SJ sebagai direktur. JSC banyak bergerak dalam program pengembangan masyarakat, pendidikan, dan pelayanan bagi kaum cacat. Sedangkan Jesuit Refugee Service dipimpin oleh Sr. Denise Coghlan RSM, yang banyak berurusan dengan pencari suaka dan pengungsi. Para Yesuit juga berkarya di Paroki, pengembangan sumber daya manusia, dan pendidikan tinggi (universitas).
Untuk pertama kalinya, pertemuan skolastik (para calon imam dan bruder yang baru dalam tahap pendidikan) Yesuit se Asia Tenggara dan Oceania, diselenggarakan di Siem Reap, Kamboja tahun lalu. Enam belas tahun yang lalu, Ketika jumlah skolastik di Kamboja hanya empat – itupun semuanya dari luar Kamboja – saya tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan itu akan terjadi.
Informasi tentang Jesuit Service Cambodia dapat dilihat di http://www.jrscambodia.org/
(Bersambung)