KRL sedang meluncur ke arah Bogor siang itu. Gerbongku cukup sepi. Aku kembali tenggelam dalam bacaan dan beralih ke dunia yang lain. Aku duduk di situ tapi seluruh budiku sedang bersenda gurau dengan kata-kata di buku itu. Aku menikmati duniaku, sebuah dunia kata-kata. Suara-suara melengking pengamen terdengar jelas, tapi aku tidak mendengarkannya. Begitu pula pekikan penjaja melon dan jeruk. Aku sedang mencoba untuk tidak terganggu dengan suara-suara seperti itu.
Di sampingku duduk seorang perempuan muda yang manis. Ia menenteng tas kecil warna cokelat. Rambutnya tergerai dan jatuh pada bahunya. Sebagian menutup pipinya yang subur. Kacamata itu membuatnya tampak menjadi lebih tua daripada umur yang sesungguhnya. Aku hanya menduga begitu.
Kedua tangannya hampir tidak berhenti sibuk di keyboard Blackberry. Aku tidak bisa mengenali jenisnya. Kadang ia jeda sebentar untuk membaca pesan yang baru tiba. Lalu, ia lekas menuliskan pesannya. Ia tampaknya tidak terganggu dengan pekikan para penjaja. Jangan-jangan ia pun tidak sadar dengan kehadiran orang-orang bergerobak kecil itu.
Aku melirik dan melihatnya beberapa kali tersenyum. Senyum yang tidak dialamatkan kepadaku atau kepada semua orang di dalam gerbong itu. Lagipula, ia menyumpal telinganya sejak awal. Ia tersenyum tidak untuk siapa-siapa, tapi untuk dirinya sendiri.
Muncullah di depan perempuan ini seorang anak kecil sambil menengadahkan telapak tangan yang amat dekil. Ujung-ujung kukunya sudah panjang dan menghitam. Rambutnya sangat kusam. Kaus kuning mudanya tidak lagi cerah. Entah untuk berapa lama ia tidak berganti busana. Pikirku, seandainya kaus ini dicuci, air rendamannya akan segera berubah cokelat. Mata anak itu sayu. Ia memamerkan mata yang tidak bersorot dan tulang pipi yang mulai menonjol. Barangkali umurnya belum lewat jauh dari sepuluh tahun.
Pandangan sayu itu mencoba menetesi benteng bisu perempuan itu untuk beberapa detik. Seperti tetes air yang jatuh selama sekitar 30 detik pada cadas yang keras. Tanpa sepatah kata pun diucapkan anak kecil itu. Perempuan manis itu tidak membalas tatapan redup anak kecil itu. Tapi anak itu pun tidak lekas beranjak. Ia diam di sana dengan setia.
Tanda-tanda kebaikan sedang bergerak: perempuan itu membuka tas cokelatnya. Ia mengambil dari salah satu saku selembar uang seribu rupiah. Tanpa kata, ia memberikan uang itu pada anak yang mendamba belas kasihan.
Aku menyaksikan dengan sudut mata dan menyadari dalam hati. “Mereka berkomunikasi tanpa kata, tanpa tatap mata, tanpa sentuhan fisik, tapi cukup dengan seribu rupiah,” batinku. Barangkali seribu rupiah itu memang berarti, tapi memerhatikan anak kecil itu kian membuatnya berarti.