KAKIKU baru menjenjakan lantai gereja di masa kecilku ini. Sejuta rasa mendadak menghambur begitu kubuat tanda salib setelah mencelupkan jemariku ke air suci di depan gereja.
Bangunan tua ini memang akan terus kokoh meski tergerus zaman dan waktu. Beberapa sudut nampak sudah menunjukkan usia bangunan ini meski ada juga yang kurasa diperbarui. Sesaat mataku menyapu semua sudut. Tapi, sebentar mulutku seperti mengeluh pelan.
Sejauh mata memandang, aku tak melihat umat yang kukenal. Kebanyakan umat yang sudah ada di dalam gereja ini adalah umat yang wajahnya asing. Padahal aku ingin sekali bertemu dengan teman-teman lama terutama teman-teman masa kecil di gereja ini. Nampaknya mereka tidak sedang bertujuan sama kemari.
Tak apalah, meski niatku tak kesampaian, aku pastikan melangkahkan kaki ke dalam lalu mencari tempat duduk yang cukup dekat dengan altar, tapi tidak di depan. Kebetulan sekali, satu deret bangku ini masih kosong. Aku satu-stunya yang duduk di sana. Paling sebentar lagi juga penuh.
Dalam hening, aku berlutut. Berdoa pembuka sembari menunggu misa dimulai.
Kurasakan ada seseorang di sebelahku baru duduk. Dalam hati, aku ingin sekali dia adalah salah satu teman lamaku. Aku benar-benar ingin tidak sendiri di gereja penuh kenangan ini.
Ketika aku hendak duduk, sementara orang di sebelahku masih berlutut berdoa, senyumku berkembang lebar. Aku senang sekali melihat orang lama yang kali ini mengenakan stelan jins dan kaos oblong putih. Masih dengan rambut panjang, gondrong dan brewoknya.
“Apa kabar, anakKu? Sampai juga ke kampung halamanmu ya?” tegurNya ramah. Ia pun duduk di sebelahku.
“Ah, aku senang sekali bisa bertemu orang lama, Kang… Kukira aku sendiri yang ada di sini… Maklum kan sudah lama nggak mudik,” cerocosku senang.
“Aku kan selalu ada bersamamu. Dimana pun kamu berada, di tempat lama atau baru”
SenyumNya tidak berkesudahan. Aku bertambah senang. Merasa ada teman di gereja ini. Satu-satu umat lain pun datang. Di antara mereka juga ada yang kukenal ternyata. Kami saling mengangguk dan berkode setelah misa akan bertemu.
Tak lama misa pun dimulai.
Lagi-lagi keningku berkenyit. Aku rada mendesah pelan.
“Kenapa lagi? Pasturnya tidak kamu kenal?” tanya Kang Je sembari menyeringai.
Kepalaku mengangguk.
“Hehe… Biar Pastur berganti, teman-teman lamamu entah dimana, tetapi Aku kan tidak berubah. Tetap ada di sini dan di dekatmu. Coba kamu perhatikan semua hal yang ada, nyaris tidak ada yang membuatmu pangling lagi selain orang-orangnya.”
Kuturuti saran dariNya itu. Dengan tekun pula kuikuti satu demi satu ritual misa kali ini. Beberapa kali aku tersenyum sendiri. Bukan karena apa-apa. Ingat saja segala kejadian masa lalu, ketika aku masih bocah bersama kedua orang tuaku di gereja ini. Menjadi kenangan indah, tak terlupa.
Tiba giliran persembahan, semacam kantong kolekte hendak diedarkan. Dari depan ke belakang. Ketika bangku depanku sedang mendapat giliran, kulihat satu keluarga sedang bersiap hendak memberi persembahannya ke dalam kantong tersebut. Anak yang paling kecil nampak merengek ingin memasukkan uang juga ke kantong itu. Ibunya meminta dia diam, tetapi tidak memberikan. Malah ia yang sibuk mencari-cari di dompet lalu cepat memasukkan sejumlah rupiah ke kantong tersebut.
“Kamu ingat dengan apa yang dibilang Pasturmu masa kecil dulu?” tanya Kang Je sembari ikut mengedarkan kantong kolekte itu di deretan kami. Ia pun memasukkan sejumlah rupiah ke dalam kantong itu. Hmm…
Sembari memasukkan beberapa rupiah, aku mencoba mengingat apa yang dikatakan Kang Je barusan. Tak lama aku baru ingat.
Dulu, Pastur Parokiku yang sudah almarhum pernah bilang begini kepada umatnya, “Kolekte itu bukan sekadar persembahan dari dana Anda saja, tetapi juga cara mengajarkan Anda berbagi kepada keluarga terutama anak-anak. Caranya? Mudah saja. Kalau Anda mau mempersembahkan lima ratus rupiah, jangan masukkan lima ratusnya ke kantong persembahan. Tapi, akan baik kalau itu dibagi menjadi berapa pecahan sesuai jumlah keluarga Anda. Jadi, ketika kantong persembahan beredar, Ibu memasukkan uang, Bapak juga, anak-anak juga demikian. Dengan begitu persembahan itu memang berasal dari keluarga Anda sekaligus memberikan pengajaran berbagi yang adil kepada anak-anak Anda.”
Aku menangguk-angguk sendiri.
“Ingatkah kamu akan perumpamaan seorang janda yang memberikan dari kekurangannya, bukan kelebihannya?” Kang Je berbisik padaku. “Janda itu hendak berbagi, apa pun keadaannya. Demikian juga yang dimaksudkan Pasturmu dulu. Saling berbagi dalam keluarga dan sesama meski sedikit lebih penting ketimbang pamer untuk diri sendiri.”
Aku tersenyum sendiri. Satu pelajaran berharga dari masa kecil yang tidak akan lekang oleh waktu.
Sampailah pada saat konsekrasi. Semua hening.
Sesaat Pastur di depan altar hendak mengangkat hosti, orang di sebelah kiri nampak begitu kusyu dan menghormati tubuh Kristus itu dengan membuat tanda salib. Setelah selesai, ia kembali membuat tanda salib. Demikian juga ketika darah Kristus diangkat dan dimuliakan, umat di sebelah saya kembali sibuk dengan tanda salib.
“Ssstt… sibuk sekali dia ya?” bisik Kang Je lagi sedikit usil.
Kuangguk-anggukkan kepala.
“Padahal Bapaku sudah senang ketika kau memulai dan mengakhiri perayaan ekaristi ini dengan tanda salib. Tidak perlu berlebihan…,” ujar Kang Je pelan. Aku diam saja. Selanjutnya kami berdua sama-sama kembali khusuk meneruskan ritual. Umat di sebelahku hingga akhir misa, tetap sibuk dengan tanda salibnya.
Ah… Kembali terngiang Pastur masa kecil saya untuk tidak membuat tanda salib berlebihan. Saat Pembuka dan Penutup perayaan Ekaristi sudah cukup. Keskralan tanda salib itu sendiri akan berkurang maknanya kalau terus menerus kita disibukkan membuat tanda salib.
Sekali lagi aku tersenyum senang. Tersenyum untuk semua kenangan yang ternyata begitu indah dikenang.
“Biarkan gedung ini berkembang atau sebagian menghilang. Teman-teman lamamu mulai pergi dari kota ini atau sekitar seperti padat merayap. Hati dan kenanganmu masih tetap ada di sini,” Kang Je menepuk pahaku seolah hendak menguatkan. “Tapi, lebih dari itu… Imanmu kepada Bapa tidak akan luntur sampai kapan pun, itulah yang selalu menguatkan hidupmu hingga kini dan menemanimu untuk kembali ke sini…”
Senyum panjangku ini mengakhiri doa penutup pribadi di misa kali ini. Sesudahnya Kang Je mempersilahkanku untuk kangen-kangenan dengan seorang teman lama yang tak sengaja aku temukan tadi. Tak lupa, sekadar bertegur sapa kepada pastur paroki yang sekarang.
Terima kasih kenangan lama…
Terima kasih untuk selalu menyertaiku Kang Je…
(pulkam setelah lama memendam rasa, januari 2012)