RATUSAN mahasiswa yang berasal dari delapan fakultas hukum swasta di Jakarta memadati Aula Yustinus Kampus Unika Atma Jaya di Semanggi, Jaksel, pada Jumat pagi (27/1) pekan lalu. Mereka menghadiri acara Kuliah Umum bersama Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian.
Kegiatan ini hasil kerja sama Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (UAJ) dengan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) guna mengawali semester genap 2016/2017.
Memuji bersihnya UAJ
Tito yang tiba pada pukul 09.45 WIB di kampus Semanggi UAJ mengaku terkesan dengan kerapian dan kebersihan kampus swasta katolik di kawasn Semanggi tersebut dan membuatnya teringat dengan pengalaman hidupnya selama kuliah doktoral di Singapura.
“Memang di Indonesia jauh lebih banyak tempat yang alami dan indah, tetapi nuansa amannya belum sebaik di sana,” demikian kisah Tito menceritakan perdebatannya saat itu dengan kawan polisi Indonesia yang kala itu dengan sengit memprotes pendapatnya memuji salah satu tempat jalan-jalan alami di Singapura.
Indonesia: Negara hukum bukan negara agama
Jenderal Tito juga bicara tentang berbagai sistem politik dalam konteks tatacara penyelenggaraa negara. Supremasi hukum merupakan salah satu tanda sistem politik demokrasi liberal yang dianut Indonesia sejak era reformasi 1998. Selain itu, terlihat juga pada menguatnya peran legislatif dan peran media sebagai pilar keempat, serta kesadaran masyarakat akan haknya di muka hukum. “Dalam bentuk ekstrim kesadaran masyarakat tersebut bisa memunculkan ligitation hungry society. Untunglah di Indonesia belum terjadi,” demikian papar jenderal polisi kelahiran Palembang 26 Oktober 1964 tersebut.
Menurut Tito, untuk menegakkan hukum tersebut, diperlukan empat syarat: hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat, penegak hukum yang kompeten, sarana prasarana memadai, dan budaya masyarakat yang mendukung.
Tipologi masyarakat Indonesia
Jenderal Tito menjabarkan adanya empat tipologi masyarakat di dunia yaitu informative society, yaitu masyarakat yang tergantung gadget dan IT minded. Kemudian ada industrial society dimana industri berkembang dengan para buruhnya, agricultural society, dan pra-agricultural society.
Menurut jenderal polisi bintang empat dan alumnus Akpol tahun 1987 sebagai lulusan terbaik ini, masyarakat Indonesia merupakan kombinasi dari keempat tipologi tersebut, tidak homogen seperti umumnya di negara lain. Hal itu tentunya membawa tantangan tersendiri dalam pengelolaan negara.
Tito yang pernah dua tahun menjabat Kapolda Papua (2012-2014) juga sempat menceritakan kisah-kisah unik selama di sana. “Pengalaman dua tahun di Papua memberikan lebih banyak kesan unik kepada saya dibanding bekerja selama 18 tahun saya di Jakarta,” tutur Kapolri termuda sepanjang sejarah di Indonesia tersebut.
Zero sum games
Sistem politik demokrasi membuka lebar pintu kebebasan berpendapat dan berkumpul, memungkinkan berkembangnya ideologi radikal transnasional. “Hal ini menjadi persoalan ketika atas nama kebebasan mereka masuk tapi dengan topeng kebebasan membatasi kebebasan yang lain,” tukas Tito di depan para mahasiswa yang tampak atentif mendengarkan kuliahnya.
“Aturan yang jelas dan kebijakan yang dinamis dibutuhkan untuk mengatasi masalah sekarang ini. Karena antara keamanan nasional dan kebebasan masyarakat berlaku zero sum games,” demikian jelas Tito.
Zero sum games dikenal antara lain dalam teori pengambilan keputusan dimana keuntungan/kerugian satu pihak sama dengan keuntungan/kerugian pihak lain.
Tito juga menyinggung mengenai kebebasan dalam media yang bisa kebablasan dan tidak bertanggung jawab. Info-info berseliweran di sosial media kadang diedit demi kepentingan tertentu dan tidak menjelaskan konteks situasi ketika pesan tersebut dibuat.
“Maka sekarang terjadi publik kadang teropini oleh media,” kata jenderal yang beberapa kali mendapat kenaikan pangkat luar biasa karena kinerjanya dianggap gemilang.
Tito mencontohkan bagaimana ucapannya di masa lalu dimunculkan sebagai pembenaran oleh salah satu ormas saat ini. Padahal situasi dan kondisi sudah tidak relevan lagi.
Penegak hukum perlu kompeten
Penegakkan hukum tentu memerlukan petugas hukum yang berkualitas secara keilmuan dan integritas. “Faktor pendidikan juga berpengaruh terhadap kompetensi mereka,” ujar Tito dengan mengambil contoh nyata seorang polisi yang menerima laporan pencurian mobil di kantor polisi lalu terlibat perdebatan dengan pelapor.
Karena sang polisi beranggapan semua kolom laporan yang tersedia perlu dilengkapi termasuk kolom ‘pelaku’, sedangkan sang pelapor menjawab dia tidak tahu. “Kalau bapak yang punya mobil saja tidak tahu, bagaimana saya bisa tahu? Begitu argumen si polisi,” cerita Tito tentang pengalaman yang pernah dilihatnya di awal tugasnya tersebut mengundang tawa yang hadir.
Tito menjelaskan bahwa para bintara yang lulusan SMA dibekali pendidikan tentang hukum hanya beberapa bulan.
Selesaikan secara adat
Penegakkan hukum juga tak lepas dari sarana pendukungnya. Misalnya jumlah kantor kejaksaan dan kantor kehakiman perlu sesuai dengan cakupan wilayah yang ada. Di Papua, misalnya, terdapat 42 kabupaten diimbangi oleh 32 Polres, tetapi hanya memiliki 10 Kejaksaan dan Kehakiman.
Ketika ada kasus yang mau diselesaikan di pengadilan, timbul masalah baru karena biaya transportasi di Papua sangat tinggi. Sulit sekali kalau mau menghadirkan semua saksi dalam suatu sidang. Maka muncul istilah ‘diselesaikan secara adat’ sebagai solusinya.
Kebebasan yang tahu batas
Tito berpesan di akhir kuliahnya agar para mahasiswa memahami kebebasan jangan diartikan sebebas-bebasnya. Kebebasan itu boleh dilakukan jika memenuhi hal berikut:
- Tidak mengganggu hak orang lain.
- Tidak boleh melanggar public security.
- Mengindahkan etika dan moral.
- Tidak boleh mengamcam keamanan nasional.
Melihat respon positif dari para mahasiswa yang hadir, pihak APPTHI berharap Kapolri bisa melakukan kuliah umum di perguruan tinggi yang berada di area lain Indonesia.