Karena Covid-19, Natal Kita Berubah Total (2)

0
256 views
Ilustrasi: Masker anti covid-19. (Ist)

DESEMBER 2021 ini, setelah dua tahun pandemi Covid-19 berlangsung, kita diajak berubah total. Dalam hayatan nilai-nilai yang dulu merangkul, mendekap dan menyapa penuh hangat dengan tangan atau yang lain.

Kini diputar balik 180 derajad. Bahkan semua itu tidak bisa dilakukan lagi.

Rumah ibadah dengan puja-puji peluhuran nama-Nya “ditutup”. Namun, kemudian boleh dibuka kembali. Secara terbatas dengan protokol kesehatan ketat dan berjarak plus bermasker.

Apa itu artinya?

Sepi malam Natal, saat Yesus (baca: kasih Allah yang begitu besar dan tanpa hitung-hitung) mau lahir di gua kandang domba karena tidak menemukan inapan, seakan menjadi ikon sepinya suasana pandemi kita.

Ini yang harus direnungi dengan hening pada dua hal ini.

Ilustrasi: Bayi Yesus.

Pertama, semesta batinlah menjadi tempat sujud syukur pada Tuhan dengan tulus, dan bukan pertama-tama gedung atau rumah fisik gereja atau rumah doa.

Pandemi mengajak kita untuk bergerak sentripetal, yaitu: bertobat dari rame-rame ritual agamis dan ‘pesta upacara’ serba ‘material pasar’ menuju ke hening batin semesta hati.

Juga menuju ketulusan uji peduli kita pada yang paling dekat. Yaitu keluarga, plus yang tak mendapat “penginapan” karena mereka itu miskin, karena dikucilkan, karena ditinggalkan.

Kedua, rebutan kuota barcode untuk bisa masuk terbatas berdoa di gereja, dan keluhan-keluhan ribet karena umur 60 tahun ke atas dan komorbit, harus diheningi untuk tanya batin.

Kita ini berdoa dan beribadat demi kuota masuk gereja dan kemudian ngomel-ngomel atas munculnya “rezim selektor” untuk panitia ibadat terbatas. Dan lalu minta perlakuan khusus.

Ataukah laku iman sejati doa kita, ya jujur kembali ke ruang batin bernyanyi dan bersyukur dalam bisik puisi dan gumam doa syukur.

Karena Allah sudah mau menjadi manusia, bahkan rela mati disalib untuk memanggul yang paling kita jauhi, yaitu kematian.

Dengan iklas belajar rendah hati untuk proses pemuridan tetap bersyukur dan doa dalam duka dan pahitnya pandemi?

Menutup tulisan ini, saya ambilkan Natal meriah dalam renung sebelum pandemi, namun berlangsung di Roma tahun 2009 silam.

Puisi ini saya beri judul Ingin Kukabari

Ingin Kukabari …

ingin kukabari

langkahku manapak

sambil berbagi

receh sebelum pergi

ingin kulukis wajah ceria

anak dengan mamanya

mengagumi gua-gua natal

penuh sembah sujud

kehidupan

berdentang lonceng gereja

gemercik air jeram kecil

bernyanyi malaikat

serta gembala

menunjuk misteri

telah jadi manusia

berwajah papa

menangis duka

namun ketawa ria

di tengah senyapnya malam

di padang

ingin kukirim pandang mata

dan rengkuh erat

jari jemari yang tiap kali

kau olah adonan kue

buat hari-hari raya

seperti ini

dan lihatlah ada gua natal

dari ‘pasta’ zutta keju itali

bercampur mie spaghetti

ini wajah ria

Allah jadi bayi

di antara kita

untuk melebur dengki jadi peduli

dan kesalahan jadi pertumbuhan

ingin aku kirimkan kabar

awal desember ini

buat jadi berkah besar

natal tahun ini.

tatkala wajah-MU

di jalan siang

diusap para perempuan peduli:

apa yang muncul

dalam gerak komat kamit

mulut-MU

Tuhan?

ketika kemelaratan

bertindih kemewahan

tanpa ada jalan penyambung

siang maupun

lempang

akan sia-siakah

hadir-MU berwajah

manusia?

(Selesai)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here