DESEMBER 2021 ini, setelah dua tahun pandemi Covid-19 berlangsung, kita diajak berubah total. Dalam hayatan nilai-nilai yang dulu merangkul, mendekap dan menyapa penuh hangat dengan tangan atau yang lain.
Kini diputar balik 180 derajad. Bahkan semua itu tidak bisa dilakukan lagi.
Rumah ibadah dengan puja-puji peluhuran nama-Nya “ditutup”. Namun, kemudian boleh dibuka kembali. Secara terbatas dengan protokol kesehatan ketat dan berjarak plus bermasker.
Apa itu artinya?
Sepi malam Natal, saat Yesus (baca: kasih Allah yang begitu besar dan tanpa hitung-hitung) mau lahir di gua kandang domba karena tidak menemukan inapan, seakan menjadi ikon sepinya suasana pandemi kita.
Ini yang harus direnungi dengan hening pada dua hal ini.
Pertama, semesta batinlah menjadi tempat sujud syukur pada Tuhan dengan tulus, dan bukan pertama-tama gedung atau rumah fisik gereja atau rumah doa.
Pandemi mengajak kita untuk bergerak sentripetal, yaitu: bertobat dari rame-rame ritual agamis dan ‘pesta upacara’ serba ‘material pasar’ menuju ke hening batin semesta hati.
Juga menuju ketulusan uji peduli kita pada yang paling dekat. Yaitu keluarga, plus yang tak mendapat “penginapan” karena mereka itu miskin, karena dikucilkan, karena ditinggalkan.
Kedua, rebutan kuota barcode untuk bisa masuk terbatas berdoa di gereja, dan keluhan-keluhan ribet karena umur 60 tahun ke atas dan komorbit, harus diheningi untuk tanya batin.
Kita ini berdoa dan beribadat demi kuota masuk gereja dan kemudian ngomel-ngomel atas munculnya “rezim selektor” untuk panitia ibadat terbatas. Dan lalu minta perlakuan khusus.
Ataukah laku iman sejati doa kita, ya jujur kembali ke ruang batin bernyanyi dan bersyukur dalam bisik puisi dan gumam doa syukur.
Karena Allah sudah mau menjadi manusia, bahkan rela mati disalib untuk memanggul yang paling kita jauhi, yaitu kematian.
Dengan iklas belajar rendah hati untuk proses pemuridan tetap bersyukur dan doa dalam duka dan pahitnya pandemi?
Menutup tulisan ini, saya ambilkan Natal meriah dalam renung sebelum pandemi, namun berlangsung di Roma tahun 2009 silam.
Puisi ini saya beri judul Ingin Kukabari …
Ingin Kukabari …
ingin kukabari
langkahku manapak
sambil berbagi
receh sebelum pergi
ingin kulukis wajah ceria
anak dengan mamanya
mengagumi gua-gua natal
penuh sembah sujud
kehidupan
berdentang lonceng gereja
gemercik air jeram kecil
bernyanyi malaikat
serta gembala
menunjuk misteri
telah jadi manusia
berwajah papa
menangis duka
namun ketawa ria
di tengah senyapnya malam
di padang
ingin kukirim pandang mata
dan rengkuh erat
jari jemari yang tiap kali
kau olah adonan kue
buat hari-hari raya
seperti ini
dan lihatlah ada gua natal
dari ‘pasta’ zutta keju itali
bercampur mie spaghetti
ini wajah ria
Allah jadi bayi
di antara kita
untuk melebur dengki jadi peduli
dan kesalahan jadi pertumbuhan
ingin aku kirimkan kabar
awal desember ini
buat jadi berkah besar
natal tahun ini.
tatkala wajah-MU
di jalan siang
diusap para perempuan peduli:
apa yang muncul
dalam gerak komat kamit
mulut-MU
Tuhan?
ketika kemelaratan
bertindih kemewahan
tanpa ada jalan penyambung
siang maupun
lempang
akan sia-siakah
hadir-MU berwajah
manusia?
(Selesai)