“Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (1 Yoh 4, 10)
SEBUAH lembaga pendidikan katolik mempunyai motto, “In Omnibus Caritas”, atau kasih dalam segala-galanya. Motto tersebut ditulis dengan jelas, dengan huruf kapital, di pajang di dinding, dan juga tertera dalam cap lembaga. Sebuah motto yang sungguh biblis dan kristiani, karena bersumber dari Kitab Suci dan merupakan ajaran pokok Kristus.
Belum lama berlalu, ketua yayasan memberhentikan dua guru dan satu karyawan. Mereka dinilai melakukan pelanggaran berat karena satu karyawan menolong seorang guru yang sakit dengan ‘ngeroki’; kemudian ada guru lain yang datang dan juga membantu untuk menolong guru yang sakit itu.
Peristiwa menolong orang sakit rupanya bisa dilihat dan dinilai secara berbeda-beda oleh setiap orang dari berbagai sudut atau kepentingan. Menolong orang sakit, umumnya, dinilai sebagai perwujudan kasih seseorang terhadap sesama, khususnya yang menderita.
Sang Guru sendiri telah memberikan banyak contoh dan teladan. Betapa banyak orang sakit diperhatikan, ditolong dan disembuhkan. Orang yang kerasukan setan pun dibebaskan. Bahkan Lazarus yang sudah mati juga dibangkitkan. Mereka dibebaskan dari sakit dan penderitaan serta dipulihkan lagi kehidupannya yang tidak sempurna. Dia tidak hanya mengajarkan kasih kepada para murid, tetapi juga memberikan contoh, bagaimana kasih itu harus diwujudkan secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari.
Kasih memang mudah diucapkan dan mudah untuk dituliskan sebagai motto serta dipajang dalam banyak tempat; namun betapa sulitnya kasih itu diwujudkan secara nyata oleh banyak murid pada jaman ini. Memang benar kata Yohanes, “Bukan kita yang mengasihi Allah; tetapi Allah yang mengasihi kita.”
Mengasihi sesama yang nampak saja sulit, bagaimana mungkin mengasihi Allah yang tidak nampak? Teman-teman selamat pagi dan selamat berkarya. Berkah Dalem.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)
