YESUS menyampaikan perumpamaan yang sangat indah tentang kasih bapa kepada dua anaknya (Lukas 15:11-32). Kisahnya memberikan inspirasi kepada pelukis terkenal dari Belanda, Rembrandt. Lukisan itu menginspirasi Henri Nouwen, pastor Belanda, yang menulis buku The Return of the Prodigal Son“
Hari ini, kita membaca kisah itu dalam kaitan dengan kitab nabi Mikha yang mewartakan tentang kasih Tuhan (Mikha 7:14-15.18-20). Dia mengampuni dosa-dosa dan berkenan kepada kasih setia (Mikha 7:18). Dia menghapuskan kesalahan dan melemparkannya ke dalam tubir-tubir (Mikha 7:19).
Bacaan pertama itu membantu kita dalam membaca dan merenungkan injil hari ini. Intinya, bahwa kasih Allah itu tiada batas; berlimpah-limpah. Namun, manusia kerap kali gagal merasakannya. Mengapa? Minimal ada dua penyebab.
Pertama, orang mengira bahwa tinggal dalam kasih-Nya itu mengekang. Orang ingin menikmati kebebasan di luar kasih-Nya. Anak bungsu yang pergi meninggalkan ayahnya itu mewakili orang-orang demikian.
Kedua, orang menyangka bahwa kasih Allah itu merupakan hak dari mereka yang telah melakukan kewajiban, hukum, atau aturan agama. Mereka berpikir bahwa kasih Allah bisa diperoleh karena jasanya. Karena itu, mereka bisa menuntutnya. Itulah sikap anak sulung yang merasa berjasa telah melayani ayahnya dengan taat.
Siapa di antara keduanya itu benar? Kedua-duanya keliru. Kasih Allah yang berlimpah-limpah itu tidak mengenal batas waktu, tempat, dan penerima. Di mana saja dan kapan saja, orang bisa menerimanya.
Baik anak bungsu yang sudah menjual harta warisannya maupun anak sulung yang melayani ayahnya dengan mental budak sama-sama dapat menikmati kasih itu. Kalau kasih Allah berlimpah-limpah, mengapa banyak orang seperti tidak merasakannya?
Bisa jadi mereka itu seperti anak bungsu yang menikmatinya di luar rumah. Jadi anak, tetapi “kluyuran” di luar rumah. Bisa juga seperti anak sulung yang berada bersama bapanya, tetapi hatinya tidak berada di sana. Jauh dari hati bapanya yang penuh kasih.
Sabtu, 2 Maret 2024
Albherwanta O.Carm