ADA dua catatan di awal tulisan ini.
Pertama, susah ditahan, untuk tidak ikut-ikutan menulis sesuatu dengan nuansa politik. Tapi ini bukan soal politik. Lebih banyak soal sikap no tolerance terhadap potensi penyimpangan. Bahwa mungkin bisa dianggap “nyerempet” politik, ya terserah para pembaca saja. Mohon maaf kalau ada selip sana, keliru sini. Maklum, pemula.
Kedua, ilustrasi renungan ini, adalah “keluarga”. Lebih spesifik lagi, tentang kasih ayah (dan ibu) kepada anak-anaknya. Abstrak, unik dan sering “tricky”.
Saya buka dengan peristiwa lama yang sudah viral dimana-mana. Pesannya masih sangat inspiratif.
Ini kisah tentang Almarhum Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso dengan anak keduanya, Aditya Soetanto Hoegeng (Adit).
Saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), Adit berniat mendaftar ke Akabri. (https://www.inews.id/news/nasional/kisah-jenderal-hoegeng-tak-izinkan-anak-daftar-akabri-ternyata-ini-penyebabnya)
Salah satu persyaratan pendaftaran adalah surat izin dari orangtua.
Dengan penuh percaya diri, Adit datang ke Markas Besar (Mabes) Polri untuk meminta surat izin itu.
Tak usah dikisahkan (lagi) ternyata Adit justru merasakan ketidaknyamanan.
Di rumah, suasana tetap hangat seperti biasa. tetapi begitu ikhwal surat izin disinggung, situasi berubah seratus delapan puluh derajat.
Adit masih merasa baik-baik saja dengan sikap ayahnya.
Anggapannya, surat izin orangtua untuk masuk pendidikan militer, bukan sesuatu yang aneh.
Sampai suatu ketika Adit diminta oleh ajudan untuk menghadap ke kantor. Meski diwarnai berjuta rasa, segala daya dan raga disiapkan untuk menerima kabar baik dari sang ayah.
Setelah terjadi diskusi, Adit menanyakan perihal surat izin yang dimintanya. Sang ayah tak juga memberikannya, malahan dia diminta pulang.
Adit menduga, ayahnya tinggal mengirimkan radiogram untuk syarat pendaftaran.
Setelah keluar dari kantor, dia baru menyadari pendaftaran masuk Akabri sudah tutup dua hari lalu.
Wajar, kalau kemudian Adit “marah besar”. Kuas-kuas alat untuk melukis, hobi ayahnya, digunduli. Ketegangan ayah-anak memuncak.
Saat pertemuan rekonsiliasi digelar, sang ayah menutupnya dengan ungkapan yang membuat hati trenyuh.
“Dalam hatiku yang paling dalam, jangan ada lagi yang mengikuti jejak saya di angkatan. Cukup saya saja yang merasakan itu semua.”
Sang ayah juga menjelaskan kenapa tidak mengizinkan anaknya bergabung di Akabri. Dia sama sekali tidak ingin jabatan yang disandangnya sebagai Kapolri bisa memudahkan atau setidaknya mempengaruhi anaknya masuk Akabri.
Pertemuan keluarga ditutup dengan dengan suasana keluarga dengan penuh kerendahan hati. Sang ayah berdiri dari kursinya dan menghampiri Adit sembari meminta maaf.
Cerita selesai sampai di situ. Tapi pesan moral yang dikirim sungguh sangat luar biasa.
Sesudah kisah itu, rasanya tak pernah terdengar ada pejabat, apalagi pejabat tinggi atau pejabat tertinggi, yang bersikap sangat tegas dalam menegakkan rambu kejujuran. Lebih-lebih bila godaannya adalah keluarga inti.
Mungkin sikap Pak Hoegeng (dianggap) berlebihan. Tapi yang pasti dia bertindak sangat hati-hati bila itu berkenaan dengan integritas. Tak boleh ada celah sedikit pun yang bisa membuat dia dan keluarganya terjerumus menikmati fasilitas tak semestinya yang berasal dari jabatan yang disandangnya.
Meski sedikit, memberi fasilitas baik harta, posisi atau bahkan hanya membuka kesempatan atas nama jabatan, langsung atau tidak, bisa tergolong masuk dalam pepatah “sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit”.
Boleh saja sejuta kali disebutkan agar Panitia Pendaftaran Akabri harus memperlakukan Adit secara fair. Tetapi, hidup dalam budaya timur, apalagi di Indonesia, hampir mustahil untuk tidak mengistimewakan anak seorang Kapolri saat mendaftar di sebuah akademi angkatan, meski pun berbeda matra. Budaya ewuh-pakewuh begitu kental dan merajalela. Pak Hoegeng berkeputusan untuk tidak menyentuh area yang berpotensi “membahayakan”.
Pak Hoegeng memasang ”safety factor” yang sangat tinggi meski pun dia tahu persis bahwa itu akan mengecewakan anaknya. Bisa jadi juga seluruh keluarganya. Tetapi prinsip adalah prinsip. Bila prinsip “ditekuk-tekuk” meski ringan, maka tinggal tunggu waktu, keruntuhannya.
Seorang ayah sering menghadapi dilema yang sangat sulit. “Mencinta” dan “memanja” sangat kabur batasnya. Kata pertama penuh dengan edukasi dan pengembangan, yang kedua dikelilingi oleh jurang menganga yang siap menjerumuskan anaknya yang dicinta.
Pak Hoegeng bisa dianggap tidak mencintai anaknya. Sesungguhnya, yang terjadi adalah, dia sedang menunjukkan apa sejatinya makna dari kata “cinta”.
“A father doesn’t tell you that he loves you. He shows you.” (Dimitri the Stoneheart)
@pmsusbandono
9 Oktober 2023