“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” (1 Yoh 4, 18)
DALAM sebuah perjalanan, saya pernah mampir ke sebuah komunitas religius wanita atau susteran. Saya diterima dengan baik, diajak minum dan menikmati makanan kecil sambil ngobrol dengan beberapa suster. Kami ngobrol dengan enak dan dalam suasana gembira dengan banyak ketawa.
Saat kami ngobrol, datang seorang suster senior yang menjadi pimpinan komunitas. Suster tersebut ikut bergabung dan duduk bersama, sambil minum. Namun suasana nampak berubah. Beberapa suster yang semula crita dan ngobrol enak terus diam, sambil minum dan menikmati makanan kecil. Mereka hanya omong satu dua kata dengan berbisik kepada teman yang ada di dekatnya. Suasana nampak begitu formal. Tinggal saya yang berbicara dengan suster senior tersebut. Satu dua suster malahan pamit, meninggalkan kami dengan alasan ada tugas lain.
Pada saat lain, seorang suster berkata, “Maaf ya romo. Waktu itu saya trus pergi. Saya sungkan dan gak enak karena ada piko. Kami gak bisa ngobrol dengan bebas kalau beliau duduk bersama. Banyak yang sungkan dan takut.”
Rasa takut bisa dialami oleh siapa saja, baik anak-anak atau orang dewasa, baik awam maupun religius. Rasa takut bisa terjadi dimana saja, entah di rumah, dalam komunitas religius, di tempat kerja atau tempat lain. Seseorang bisa merasa takut terhadap pimpinan, orang tua, teman, tetangga, penjahat, musuh, hantu atau roh jahat. Bahkan orang bisa takut terhadap dirinya sendiri.
Betulkah rasa takut atau suasana yang menakutkan itu menjadi tanda tidak adanya kasih? Ketakutan dan kasih merupakan dua hal yang tidak bisa disatukan. Mana yang dominan dalam diriku: ketakutan atau kasih? Teman-teman selamat pagi dan selamat berkarya. Berkah Dalem.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)