Ikatan kasih bisa terputus karena pengkhianatan. Tidak terhitung keluarga yang hancur gara-gara pengkhianatan. Logika manusia menciptakan solusi bahwa mengkhianati kasih berarti mengakhiri ikatan; selesai dalam “sad ending“.
Keputusan itu pasti menyisakan rasa pedih mendalam.
Dua hari berturut-turut, liturgi Minggu Suci mewartakan firman Tuhan tentang pengkhianatan (Yohanes 13: 21-33.36-38 dan Matius 26: 14-25).
Mengapa tema itu muncul dua kali? Apa relevansinya bagi hidup manusia?
Pertama, kasih sejati dari Allah tidak menyerah. Pengkhiantan pun tak membuatnya patah. Dahulu, Adam dan Hawa mengkhianati kasih Tuhan di Taman Eden. Kini, manusia terus mengkhianati kasih penciptanya dalam taman kehidupan.
Namun, Tuhan membalasnya dengan kasih yang tiada batasnya. Melalui Putera-Nya, Dia mengasihi manusia sampai pada kesudahannya (Yohanes 13: 1). Kasih yang murni tak pernah menyerah.
Kedua, kasih menundukkan pengkhianatan; bukan sebaliknya. Itulah “logika” ilahi. Meski berulang kali manusia mengkhianati, Tuhan tidak berhenti mengasihi. Berhenti mengasihi itu di luar jadwal kegiatan Tuhan.
Ketiga, setiap orang berpotensi dalam berkhianat. Tidak perlu menunjuk orang lain, tetapi mesti menunjuk diri sendiri.
Menarik, setelah mendengar dari Yesus bahwa satu dari mereka akan mengkhianati Dia, tidak seorang mengarahkan telunjuknya kepada yang lain.
Mereka malah berkata, “Bukan aku, ya Tuhan?” (Matius 26: 22). Namun, di tengah krisis gurunya, mereka semua lari tercerai berai. Berkhianat?
Bukankah setiap orang pernah mengkhianati kasih Tuhan? Bukankah banyak orang Kristen yang karena uang, harta, jabatan, popularitas, dan kerakusan menjual Tuhan Yesus?
Apakah Dia berhenti mengasihi mereka?
Dia bersabda, “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23: 34).
Rabu, 5 April 2023